Senin, 14 Agustus 2017

AKU BUKAN KYAI Episode: Rahasia Ilmu Laquwah



AKU BUKAN KYAI
Episode: Rahasia Ilmu Laquwah




Masih pagi, jam delapan Ratna sudah nongol di depan pintu. Setelah mengucapkan salam, dia langsung masuk ke ruang tengah di mana aku dan isteriku sedang menggelar kain tile untuk kebaya.
"Punyaku dah jadi nte?"
"Dua hari lagi, lagian kan pakenya masih bulan depan"
"Mau promosi ke kakak angkatan, kan mereka mau Wisuda, Ntar aku di kasih komisi ya Nte"
 " Beres...., kok kamu gak kuliah?"
"Ini kan sabtu, Nte... Oh ya Pak, kok di gang gak ada penjual penthol bakar, dia sudah gak tugas ya Pak?"
Aku hanya teresnyum.
"Senyum bapak itu gak enak banget.." Kata Ratna dengan muka manyun.
"Hahahahaha ...Itulah perempuan, Kalau dekat diomelin, kalau gak ada dicariin"
"Siapa yang cari dia, aku cuma tanya"
"Tugas Dimas sudah di gantikan sama yang lain, dia ditugaskan Kyai di tempat lain,"
"Dimana Pak?"
"Lha kan?.... Siapa yang cari, aku cuman tanya" Kataku menirukan Ratna. Isteriku sampai tertawa.
"Denger ya, aku tu cuman kuatir karena yang dihadapi Dimas itu bukan preman kacangn, di Jalan Gula kemarin saja Ratna sampai Pake Walet lima,.. sejak itu Dimas tidak t ampak batang hidungnya dikampus, maupun di pesantren."
"Dari mana kamu tahu di pesantren tidak ada" Tanyaku kuatir.
"Jaiz, kemarin di kampus. Dia kan satu kamar dengan Dimas" Jawab Ratna.
"Apakah temanmu Jaiz itu juga tidak tahu dimana Dimas?" Tanyaku
"Tidak"
"Cobalah tanya Kyai Zuhdi, Yah" Saran isteriku.
"Baiklah, nanti setelah sholat Dluhur aku ke sana"
"Sekrang aja Pak, Ratna ikut"
"Ini anak kalau ada maunya,.. Sekarang kan waktunya kerja, ya nanti kalau mau ikut" Kataku sambil memasang mal di atas kain.
"Bener ya, jangan ditinggal, aku mau pulang dulu, ganti baju yang lebih pantas untuk ke pesantren "Kata Ratna sambil memeluk dan mencium isteriku, pamit.
Tidak lama setelah Ratna pulang ada tamu mengetuk pintu dan memberi salam. Aku pun segera menjawab dan bergegas ke ruang tamu. Seseorang berdiri di depan pintu.
"Dimas? Panjang umurmu ....ayo cepetan masuk" Aku mengenalinya meskipun sebgian wajahnya tertutup topi. Dimas menyalamiku lalu duduk.
"KataRatna beberapa hari kamu tidak nongol di kampus maupun di pesatren"
"Benar Pak, saya ke Pasuruan"
"Pasuruan?"
"Tiga hari yang lalu saya duduk di warung Pak Parlan ada tiga orang naik dua sepada motor tanya rumah Pak Hanif kepada Pak Parlan, tapi ketika aku ikuti ternyata mereka hanya lewat saja di depan rumah ini, aku jadi curiga, maka aku ikuti mereka, ternyata menju ke suatu rumah di Asemrowo gang tiga nomor xx. Sepuluh menit kemudian dua orang keluar, aku ikuti mereka sampai pasuruan. Ternyata mereka ke sebuah rumah besar dan di pintu gerbangnya bertuliskan Padepokan Mbah Sastro, aku tanya masyarakat sekitar, ternyata Mbah Sastro adalah guru silat dan pranomal, sudah meninggal di asurabaya, itu yang saya dapat selama dua hari disana, tapi sepertinya tidak ada hubunganya dengan Kyai,..dan aku coba cari tahu tentang orang Asemrowo itu, dia orang biasa saja, bukan premen tapi agak tertutp dan jarang bergaul dengan tetangga, apakah Pak Hanif mengenal Padepokan Mbah Satro?"
Aku menggelengkn kepala. Tetapi aku yakin pasti itu adalah anak buah Pak Tua alias Mbah Sasto.
"Hati Pak, sepertinya mereka bermaksud jahat"
"Terima kasih Dimas, sebaiknya cepat kembali ke pesantren, teman-temanmu cemas. Dan hubungi Ratna agar dia tidak cemas pula.”
"Tolong sampaikan ke Ratna Pak, untuk tidak ikutan masaalah ini, mereka berbahaya, kalau saya yang bilang gak pernah nurut, saya kuatir dan tidak ingin Ratna celaka"
Aku menganggukkn kepala. Ternyata mereka saling menguatirkan, saling perhatian. Padahal kalau ketemu mereka seperti Tommy and Jerry. Gak pernah akur. Tapi aku tidak begitu mengkuatirkn Ratna.. Aku yakin kemampuan bela diri Ratna jauh di atas Dimas. Apalagi sekarang dia sedang mempelajari kitab walet dari Mbah Sastro.
"Baiklah Pak Hanif, saya pamit ke pesanteren, Assalamualaikum" Kata Dimas lalu keluar menuju CBRnya.
"Hati-hati Dimas " Kataku sebelum sepedanya meluncur. Aku kembali masuk ke ruang tengah. Tampak isteriku keluar dari dapur membawa dua gelas teh hangat.
"Untuk siapa Ma?"
"Lha tamunya mana?"
"Kasep,.. Dah pulang, berarti rejekinya Ayah" Kataku sambil mengambil gelas teh hangat itu dari baki.
Belum sempat teh itu aku minum dari pintu depan terdengar salam. Masih pagi sudah banyak tamu. Berarti banyak rejeki, hiburku dalam hati. Kuletakkan kembali gelas itu. Kujawab salamnya dan berjalan menuju ruang tamu.
"Oh Pak Haji Jakfar dan Kyai Mustofa, Subhanallah... monggo Pak silahkan masuk. Beginilah keadaanya, morat marit, maklum penjahat, eh penjahit... monggo lenggah Pak Kyai" Kataku setelah menyalami mereka dan memprsilakan mereka duduk.
"Trima kasih Pak Hanif, maaf jangan panggil Kyai. Lagi pula Pak Hanif masih termasuk paman guruku, karena abahku juga Santri dari guru Pak haniefKyai Shofi Pekalongan, dan kakekku juga seperguruan dengan guru Pak Hanief, Kyai Sepuh, Mbah Kyai Sulaiman" Kata Kyai Musthofa setelah duduk disamping Pak Haji Jakfar. Kyai muda itu menghentikan ucapannya sejenak lalu katanya,
"Maaf Pak Hanief, kemarin saya tidak tahu kalau Pak Hanif adalah orangnya, orang yang harus saya temui untuk menyampaikan pesan dari Abah saya, karena Abah bilang yang tahu orangnya hanya Kyai Zuhdi, makanya saya menemui beliau dulu"
"Sama-sam Kyai,.. Eh Dimas Thofa, maaf,.. pesan apakah kiranya dari Kyai Jenggot Putih Demak untuk saya Dimas?" Tanyaku agak gugup.
"Aku kuatir ada yang salah denganku sehingga Kyai berkenan menegurku" Kataku selanjutnya.
"Tidak ada yang salah dengan panjenengan Pak Hanief, Abah hanya titip salam, Assalamualaikum warakmatullahi wabarakatuh..."
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh" Jawabku
"Abah titip pesan, kalau ada waktu, Pak Hanief diminta untuk datang ke Pesantren, untuk menyambung silaturahmi dan hormat Abah kepada Kyai Sepuh, yang kedua Abah minta Pak Hanif supaya bisa membantu Abah di pesantren meneruskan ilmu dari Kyai Shofi untuk menyempurnakn ajaran beliau"
"Terima Kasih Dimas, atas segala kehormatan dari Kyai,... Jka boleh saya bertanya, darimana Kyai tahu tentang saya, padahal saya belum pernah ketemu beliau "
"Kyai Blekok Pak Hanief, semua atas saran beliau,.. Menurut beliau, ilmu Kyai Shofi Rohimahullah harus diajarkan agar tidak hilang dan satu-satunya yang mengusai dari Kyai Shofi hanya panjenengan"
Aku terdiam mendengar penjelasan Kyai muda itu. Memang benar ilmu tidak boleh disembunyikan, tapi ilmu apakah yang harus aku ajarkan, menjahit? Lagi pula  aku merasa tidak biasa hidup di pesantren. Bahkan dulu pun aku di pesantren karena tempat tinggalku disamping pesantren. Bukan mondok. Kyai Shofi adalah tetanggaku dan teman al marhum ayahku.
Selain ikut mengaji dengan para santrinya, aku juga sering bermain di rumahnya karena satu-satunya putri Kyai adalah teman sekelasku di Tsanawiyah dan juga di MAN dan aku sering membantu pekerjaan rumah Kyai. Karena aku bukan santri mondok, aku tidak banyak mengenal santri beliau, termasuk Kyai janggut putih ketika nyantri dan juga Kyai blekok.
"Bagaimana Pak Hanif?" Tanya Kyai muda, putra Kyai Jenggot Putih Demak itu.
"Maaf Dimas, saya rasa hidup saya sudah kadung bukan di pesantren, tapi saran Kyai Blekok dan Kyai Jenggot Putih untuk mengajarkan ajaran Kyai Shofi akan saya lakukan, Insaya Allah saya akan menyebarkn ajaran Kyai Shofi dengan cara saya hidup berbaur dengan masayarakat... Terima kasih untuk menyampaikan jawaban saya ini kepada beliau juga kepada Kyai Blekok dan Insaya Allah saya akan sowan ke pesantren memenuhi undangn Kyai, karena ini adalah kehormatan bagi saya" Jawabku dengan hati mantap.
"Baiklah, akan saya sampaikan tanpa kurang maupun melebihi,... Sungguh saya sangat kagum Pak Hanief, banyak santri ingn jadi Kyai, tapi Pak Hanif malah menolak..."
"Maaf, saya bukan menolak Dimas..!" Kataku memotong,
"Saya hanya merasa sangat tidak pantas menyandang gelar agung itu,..saya kira jawabanku sudah jelas, saya mengucapkan terima kasih"
"Maaf Pak Hanief, saya tidak bermksud menyinggung perasaan panjenengn, mohon maafkan saya,.. Saya hanya benar-benar kagum, dan saya benar-benar mendapatkan pelajaran yang sangat berharga,.. Saya juga insyaf  Pak Hanief, kalau saya bukan keturunan Kyai Jenggot Putih, saya juga bukan siapa-siapa... Apalagi dihadapan panjenengn..."
"Dimas Tofa,.. Semua orang punya tugas dan tanggung jawab, Dimas tidak bisa lari dari tanggung jawab Dimas atas amanat masyarakat yang menitipkan putra-putrinya di pesantren Dimas, Dimas tidak harus seperti saya, dan saya juga tidak harus seperti Dimas, jika dipaksakan itu akan salah, merusak tatanan, bukankah demikian Pak Haji Jakfar?" Tanyaku kepada Pak Haji Jakfar yang sejak tadi hanya diam mendangarkan keponakanya.
"Leres, Pak Hanief,.. " Jawab Pak Haji Jakfar sambil menganggukanggukkan kepala.
" Dimas, saya ingin Dimas tahu alasan saya sebenarnya,... Janganakan gelar, apapun gelarnya termasuk maaf gelar Kyai, ilmu semua itu bisa menggelincirkan manusia ke dalam dosa yang besar, Dimas tentu paham ayat dan hadisnya, bahwa tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sekecil biji sawi dari sifat sombong, karena sombong itu hanya Allah sajalah yang pantas,... saya takut akan hal itu Dimas, dan saya tiada berhenti belajar untuk menghindarinya."
"Terima kasih Pak Hanief atas wejangannya, insya Allah saya akan selalu mengingatnya" Kata Kyai muda itu.
"Pemisi, .." Isteriku datang membawa teh hangat serta dua piring pisang goreng. "Monggo Pak Kyai, Abah.. " Kata isteriku sambil maletakkan di atas meja.
"Terima kasih Bu Hanif," Jawab Pak Haji Jakfar.
Isteriku kembali ke ruang tengah.
"Pak hanif, terima kasih,... rupanya inilah rahasia dari ilmu laquah, pantas saja ribuan laquah saya baca tapi tidak ada pengaruhnya apa-apa,.. Rupanya saya harus belajar menghilangkan ujub dan takabur,.. Astagfirullahal 'adziem" Kata Kyai muda itu. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku kagum terhadap kecerdasan Kyai muda ini dalam memahami ilmu.
"Alhamdulillah, kalau saja saya tidak ikut kemari, saya tidak akan mengetahui ilmu berharga ini, terima kasih Pak Hanif" Kata Pak Haji Jakfar.
"Subhanaka laa 'ilma lana illa ma 'alamtana innaka antal 'alimul hakiem” Jawabku. Sejenak kami terdiam.
“Mari diminum tehnya" Kataku sambil meraih gelas teh hangat, dikuti Kyai Musthofa dan Pak Haji Jakfar.
Sepulang Kyai dan Abah Jakfar aku jadi berpikir ternyata yang dijarkan Kyai Shofi dengan cara santai disela-sala menanam singkong, menjemur kayu bakar, mengisi kolah untuk mandi adalah ajaran yang sangat tinggi. yang selalu aku ingat, jangan sombong, riya' senang dipuji. Karena semua itu yang menghancurkan amal baik, menghanguskan pahala sebagaimana api menghanguskan kayu bakar, sombong membuat Allah murka, karena sombong pula sehingga iblis di usir dari surga dan dikutuk sepanjang masa.
Aku juga ingat, Kyai Shofi mengajarkan bahwa semua orang bisa sholat, si kaya bisa haji dan zakat. Orang terpelajar, santri, guru, Ustadz Kyai dapat membaca kitab... menjadi pandai dan berilmu, tetapi semua itu tidak dapat mengantarkannya kepada kemulian, karena Tuhan hanya memulyakan hambanya yang paling takut kepadanya,., tidak kuatir dan sakit hati direndahkan orang. Bukanakah jika Tuhan mengangkat dan mencintainya siapa yang mampu merendahkannya?

*****

0 komentar:

Posting Komentar