(Tutur dalam
Kisah Seri kedua dari Aku Bukan Kyai)
Shubuh jum’at
pagi ini mushola di pekarangan rumah Kyai Semar penuh dengan jama’ah hingga
shof paling belakang , teras depan mushola. Selain pada hari jum’at adalah hari
libur di kampung itu dari segala aktipitas pekerjaan rutin, pada setiap hari
juma’at shubuh Kyai Semar selalu memberikan pencerahan dengan pengajian dan tanya
jawab tentang agama dan penerapannya dalam hidup bermasyarakat dan berumah
tangga. Yang juga istimewa di pagi itu disediakan pula kopi panas dan jajanan,
kadang singkong atau telo rebu, kadang juga jagung atau piSang rebus yang di
sediakan oleh jamaah secara bergiliran untuk menemani pengajian dan Tanya jawab
setelah sholat. Dan karena kepiawian Kyai Semar pengajian itu lebih terkesan
seperti sekumpulan orang yang sedang lesehan, duduk santai bersama teman dan
keluarga. Mengalir dan gayeng. Dan karena barokah dari ngopi shubuh inilah
sholat lima waktu berjamaah di mushola Kyai Semar ini hampir selalu penuh meski
tidak sepenuh saat ini.
”Silahkan sambil di seruput kopinya, Para dhulur semuanya, pagi ini siapa yag
hendak berbagi pengalaman dan menyampaikan uneg-uneg agar pemahaman dan
penghayatan beragama kita menjadi lebih baik, silahkan …” Kyai Semar yang duduk
di depan imaman menghadap jamaah menghentikan ucapanya dan matanya dilayangkan
keseluruh jamaah. Beberapa jamaah mengacungkan tangan, Kyai Semar tersenyum
lalu menunjuk seoarang pemuda yang tadi turut mengacungkan tangan. Pemuda yang
umurnya kira-kira 20 tahun itu berdiri. Tak ada seorangpun selain Mbah Padlan
yang duduk di sampingnya yang mengenal pemuda itu. Pemuda itupun maklum tatapan
puluhan paSang mata heran penuh selidik yang ditujukan kepadanya karena dia
bukan orang kampung itu. Pemuda itu tersenyum sambil menundukkan kepala memberi
hormat kepada Kyai Semar.
“Terima kasih Kyai, Saya Ahmad Kusnul Kuluk cucu Mbah Padlan, sudah dua kali
ini ikut pengajian Kyai, dan kali ini ijinkan saya mengajukan beberapa
pertanyaan….. “
“ Sebentar Cah Bagus,…. Kalau kamu cucu Mbah Padlan sipapakah Ibumu, sebab
setahuku Mbah padlan hanya mempunyai dua anak perempuan, Winarni dan Wigati
yang dulu waktu mudanya juga mengaji di mushola ini “ Kata Kyai Semar memotong.
Agaknya Kyai Semar tertarik dengan dedeg pengadek pemuda ini yang memancarkan
aura tenang dan terang di wajah ganteng dan gagah seperti pemuda yang berilmu
dan sholih.
“Ibuku Winarni,.. “ Jawab cucu Mbah Padlan itu. Serentak terdengar banyak suara
bergumam. Siapa yang tidak mengenal Winarni kembang desa di kampung itu yang
dua puluh tahun silam menghilang dan sampai sekarang tiada seorang pun yang
tahu bagaimana nasibya. Dan sekarang anaknya muncul di tengah-tengah mereka.
“Hmmm……….” Kyai Semar mengangguk anggukkan kepala sambil tanganya kanannya
mengelus-elus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang dan jarang. Lalu
berkata,
“Cucuku, silahkan masalah apa yang hendak kamu sampaikan dalam pengajian shubuh
kali ini “
“ Apakah Gusti Allah memandang bahwa perbuatan manusia yang angkara adalah hal
yang biasa saja sehingga Dia diam membiarkanya, karena Dia berselendang Maha
Pengampun dan Pemaaf? Apakah selendang keadilanya hanya berlaku di akhirat saja
dan tidak berlaku di dunia ini Kyai? Ataukah memang demikian irodatNya, Terima
kasih Kyai mohon bimbingan?” Pemuda itu kemudian duduk diikuti puluhan paSang
mata tercengang atas pertanyaanya. Ki Semar mengusp kepalanya sambil menarki
nafas dalam-dalam. Raut mukanya sejenak berubah gusar namun tak seorangpun tahu
perubahan sekilas wajah Kyai itu karena semua mata tertuju ke ahmad kusnul
kuluk, pemuda yang pertanyaannya mengagumkan itu. Bukankah pertanyaan itu
selain dari jalan ilmu, adalah juga bagian dari ukuran tingginya ilmu
seseorang?
Kyai Semar memandang Mbah Padlan yang juga sedang memandangnya, kedua paSang
mata mereka beradu. Mbah Padlan mengangguk yang segera dibalas oleh Kyai Semar.
Agaknya kedua kakek itu telah menyepakati sesuatu.
“ Baiklah,.. pengajian kita tambah menarik pagi ini, Rupanya putra Winarni ini
mewarisi kecerdasan Ibunya,…. Kita pagi ini akan belajar Tauhid, mengenal Allah
lebih dekat…. ” Kyai Semar sejenak berhenti karena tampak dua orang yang
berumur empat puluh tahunan yang duduk berdampingan di dekat pintu berdiri
dengan membungkuk-bungkuk berjalan berhati-hati keluar meninggalkan kopi mereka
yang masih panas.
“ Baiklah ,
mari kita renungkan dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ananda Ahmad
Kusnul Kuluk tadi, Apakah Gusti Allah memandang bahwa perbuatan manusia yang
angkara adalah hal yang biasa saja sehingga Dia diam membiarkanya, karena Dia
berselendang Maha Pengampun dan Pemaaf? Apakah selendang keadilanya hanya
berlaku di akhirat saja dan tidak berlaku di dunia ini “ Kata Kyai Semar sambil
memandang pemuda ganteng cucu Mbah Padlan yang tadi bertanya. Tampak pula
pemuda itu matanya tidak lepas dari Kyai Semar, begitu pula para jamaah subuh
ingin mengetahui jawaban Kyai.
“Kalau keadilan
Gusti Allah itu yang menjadi ukuran adalah kepuasan kita. Maka artinya kita
memaksa Gusti Allah, dan sombong benar
diri kita, Apakah kita patut menduga bahwa yang terbaik adalah seperti yang
kita inginkan? Sebab boleh jadi apa yang baik menurut kita belum tentu
berakibat baik untuk diri kita, dan boleh jadi keburukan yang menimpa kita akan
berakibat baik untuk diri kita, bukankah kita mengetahui bahwa rencana Allah
adalah sebaik-baik rencana? Sombong benar dan tidak tahu malunya diri kita
menyalahkan Gusti Allah atas keburukan yang menimpa diri kita, ...” Kyai menghentikan
ucapanya, matanya menyapu keseluruh hadirin dan kemudian berhenti lama menatap
pemuda yang duduk menunduk dengan hati Sangat berdebar entah mengapa. Kemudian Kyai Semar memandang kembali seluruh jamaah. Setelah
menarik nafas agak panjang dan menghembuskanya, Kyai Semar berkata dengan
lantang,
“Kalau kita
tidak rela atas apa yang menimpa kita dan menyalahkan Gusti Allah, Maka carilah
tempat untuk hidup kita yang bukan milik Allah, ... Padahal mati pun kemana
kita akan menuju?!”
Kyai Semar menghentikan
ucapanya kemudian tersenyum, lalu berkata,
“Manusia adalah
kholifah Allah di muka buka bumi, kalau kholifah itu dimaknai dengan wakil yang
mengemban amanat maka sudah seharusnya sifat Allah yang adil pemaaf dan rahman
rahim itu juga ada pada tiap diri kita. Itu artinya kita punya kewajiban untuk
membumikan sifat-sifat itu dengan af’al kita, dengan segala daya dan upaya
kita, akan tetapi kita tidaklah pantas mengatas namakan perbuatan kita atas
irodatnya, atas kehendaknya, sebab kalau demikian kita hendak menyamai gusti
Allah yang Maha suci. Akan tetapi kita melakuakanya karena perintahNya sebagai
ibadah dan pengabdian kepadaNya. Tegakkan keadilan jika kita ingin merasakan
keadilan-Nya, berlakulah rahman rahim jika ingin merasakan kasih sayangNya. Tetapi
jika yang ada hanya nafsu dan dendam, memang itulah kemauan Iblis yang
menghendaki kita menjadi temannya,...”
”Maaf Kyai
kalau boleh saya menyela untuk bertanya...” Kata Yusup pemuda yang duduk di
shof depan berhadapan dengan Kyai, usianya sebaya dengan Kusnul sambil
mengacungkan tangan kanannya,
“Silahkan,
siapapun yang hadir punya hak untuk bicara dan bertanya karena ilmu bukan hanya
dari orang alim dan kitab tapi dari apa yang ada di bumi ini hatta lalat
sekalipun, silahkan ....” Jawab Kyai Semar
“Kyai,...
tangan harus di bayar tangan, mata harus dibayar mata, telinga harus di bayar
telinga begitu pula nyawa harus di bayar nyawa. Mengapa harus sekejam itu Kyai,
Bukankah Allah Maha Pengampun dan Pema’af?”
“Apakah karena
Gusti Allah itu maha pemaaf maka kita tidak perlu beribadah, melaksanakan
maksiat saja seumur hidup?” Jawab Kyai Semar dengan mengajukan pertanyaan
kembali kepada hadirin.
“Maaf adalah
buah kesadaran dari kelaian, maaf adalah memberi kesempatan menuju jalan
kebaikan, maka maaf bukan membiarkan tetap dalam kelaian dan kedholiman, itulah
perlunya segera memaafkan diri sendiri agar mudah memaafkan orang lain, sebab
orang yang masih kotor akan sulit membuat bersih orang lain. Bagaimanakah orang
yang tidak sadar hendak menyadarkan orang lain?” Kyai menghentikan ucapanya
sejenak, kemudian berkata,
“Adapun
keadilan, hukuman, ditegakkan untuk membuat yang salah menjadi sadar agar
kembali kepada jalan yang benar. Maka siapapun penegak hukumnya harus sadar dan
benar, agar dapat menyadarkan ke jalan yang benar. Tetapi apa kenyataannya? Hehehehehe...” Kyai Semar
tertawa.
Matahari telah
bangun, sinarnya mengintip dari balik bukit menerobos hingga masuk ke mushola.
“Maaf para
jamaah, kiranya matahari telah bangun, kita pun harus bangun untuk memberi
cahaya kepada keluarga dan masyarakat kita, marilah pengajian shubuh ini kita
tutup dengan doa,.... Bismilahirohmanirohiem,...” Kyai Semar memanjatkan doa,
diamini dengan khusuk oleh para jama’ah, hening hingga suara doa Kyai seolah
membubung tinggi.
****
Hampir semua
penduduk Cemoro Jajar membincangkan Winarni putri kedua Mbah Padlan yang telah
dua puluh tahun menghilang. Meski tidak ada yang tahu dimana kini berada tapi
anggapan Winarni telah mati terhapus dan mereka yakin Winarni masih hidup
dengan kemunculan putranya. Lalu siapakah suami Winarni, bukankah ketika
menghilang dia masih perawan?
“Kang Surip,
Kalau sampeyan penasaran, sebaiknya tanya langsung saja pada Mbah Padlan “ Kata
Kang Warno sambil meletakkan kopinya di meja warung yang hampir penuh di
kelilingi pembeli.
“Mana Aku
berani Kang, Kita tahu siapa Mbah Padlan itu, beliau satu-satunya orang yang
menjadi murid dari desa ini dari Kyai Sepuh yang sekarang sudah tidak pernah
menampakkan diri, ... sekali tampar bisa mati aku Kang, bagaimana kalau
sampeyan saja yang tanya pada Si Kuluk cucunya itu”
Kang Warno
tidak segera menjawab karena tampak olehnya dua orang menerobos gerimis di
malam setelah Isya itu tanpa payung atau caping masuk ke warung. Semua mengenal
dua orang itu, yang berbaju hitam dan bercelana gombrang Ki Ranu, Jogoboyo di
desa itu, maka dia lebih dikenal dengan sebutan Mbah Jogoboyo. Sedangkan yang
lebih muda seumuran Kang Warno dan berbaju rapi adalah Jatmiko menantu Lurah
desa ini. Maka semua orang berdiri memberi tempat duduk kepada mereka untuk
menghormatinya.
“Silahkan Mbah
Jogoboyo dan Den Mas Jatmiko, Ngersaaken ngunjuk punopo?” Kata Kang
Jarwo pemilik warung itu dari seberang meja yang penuh dengan dagangannya.
“Kopi Jahe
Saja” Kata Ki Ranu
“Saya juga Kang”
Kata Jatmoko
“Silahkan
semuanya duduk, kenapa sungkan ini Warung bukan ruang tamu. Apakah di antara
bapak-bapak ada yang yang dapat giliran ronda di malam ini?” Tanya Ki Ranu
alias Mbah Jogoboyo sambil menyapukan pandanganya ke semua orang yang ada di
warung itu.
Dua orang
disamping kanan Ki Ranu mengangkat tangan sambil duduk dan dua orang lagi di
samping kiri Ki Ranu.
“Empat orang?”
Tanya Jatmiko
“Lima Den Mas,
satunya Mbah Padlan, tetapi beliau biasanya malam baru bergabung di Pos Ronda
sambil bawa kopi dan jagung rebus untuk kami” Kata Kang Munir dan di benarkan
oleh ketiga temannya.
“Maaf saya lupa
menyampaikan, tadi setelah sholat Isya’ di Mushola Kyai Semar, Mbah Padlan
menyampaikan maaf malam ini tidak bisa ikut Ronda karena merasa tidak enak
badan, cucunya nanti yang menggantikan”
Kata Kang Wakid yang duduk di ujung bangku .Tampak Ki Ranu mengernyitkan kening
dan memandang Jatmiko.
“Mudah-mudahan Mbah
Padlan segera sehat, orang seumuranku memamg mudah masuk angin” Kata Ki Ranu
“Monggo ini
kopi jahenya” Kata Kang Jarwo. Karena mejanya agak lebar Kang Jarwo tidak bisa
meletakkan kopi di depan pembelinya. Biasanya pembelinya yang berdiri menyambut
kopi dari tangan Kang Jarwo, tapi Kang Warno dan Kang Surip yang duduk
disamping Ki Ranu dan Jatmiko buru-buru berdiri menerima kopi dari Kang Jarwo
dan meletakannya di meja tepat di depan Ki Ranu dan Jatmiko dengan hati-hati.
“Terima Kasih “
Kata Jatmiko kepada Kang Surip, sedang
Ki Ranu Hanya menganggukkan kepala kepada Kang Warno.
Sejenak warung
itu senyap tak ada yang yang bersuara ketika kedua orang itu menuangkan
seperempat gelas kopinya di lepek dan menyeruputnya sampai habis lalu
meletakkan kembali ketempat semula,
“Baiklah saya
dan Mas Jatmiko akan memeriksa ke dusun Sawo Jajar apakah di sana petugas
rondanya juga sudah siap karena sudah tiga minggu ini ada tiga rumah yang
dimasuki pencuri” Kata Ki Ranu
“Ini untuk kopi
semua yang ada di sini, sisanya sampeyan ambil dan buatkan kopi nanti malam
untuk ronda “ Kata Jatmiko sambil memberikan uang yang lebih dari cukup untuk
membayar kepada Kang Jarwo yang menerimanya dengan membungkuk.
Ki Ranu dan
Jatmiko keluar dari warung di ikuti pandangan semua orang hingga tubuh mereka
menghilang di pertigaan jalan.
Mereka pun
kembali duduk di warung. Bukan Winarni lagi yang menjadi bahan obrolan tetapi
keheranan mereka kepada Ki Ranu yang turun gunung dengan Jatmiko, sebab
biasanya sekali waktu Ki Ranu yang jabatannya Jogoboyo yang bertanggung jawab
keamanan di desa ini berkeliling di temani dua orang kepercayaannya KangMuji
dan Kang Kliwon.
“Kang Muji dan Kang
Kliwon kok tidak ikut ya, kemana meraka” Tanya Warno
“Paling ijin Kang,
lagi pula sekarang musim hujan, hampir tiap malam gerimis, enakan di rumah.
Anget !” kata Kata Wakid yang duduk di pojok, lalu menyambung perkataannya,
“Sepertinya
akan ada sesuatu atau telah terjadi sesuatu sehingga Ki Ranu masih sore sudah
memeriksa, Kalau Ki Ranu memang sudah tanggung jawabnya memeriksa karena beliau
Jogoboyo, tapi kenapa Mas Jatmiko sampai turun juga?”
“Karena malam
ini rejeki saya Kang Wakid, malam ini saya bisa tutup warung tidak terlalu
malam dan istirahat, uang dari Mas Jatmiko lebih dari cukup”
“Sebentar to Kang
jangan ditutup dulu, apa sampeyan tidak melihat keanehan malam ini? Apa mungkin
Ki Ranu sudah punya firasat kawanan pencuri akan ke sini malam ini sehingga
mengajak Jatmiko untuk turun tangan, sebab kabarnya Jatmiko adalah murid Ki
Panjalu Dari Alas Pring yang kebal senjata tajam itu”.
“Tidak usah
serius begitu Kang Wakid, mana mungkin pencuri-pencuri itu berani masuk ke dusun
kita, siapa yang tidak kenal Kyai Semar dan Mbah Padlan. Lagi pula kita para
laki-laki di sini bukan laki-laki yang lemah”
”Betul Pak Lek
Warno, meski saya malam ini tidak jaga saya akan ikut ronda nanti malam” Kata
Rojak pemuda dua puluhan yang tiap harinya bekerja menjadi tuKang kebun dan
menjaga ternak milik Kyai Semar menggantikan ayahnya yang lima tahun lalu
meninggal.
“Kalau begitu sebaiknya kita mulai berjaga di
pos dan gantian berkeliling, Ingat Kang
Jarwo nanti malam kopinya jangan lupa !” Kata Kang Birin yang malam ini piket
jaga dan sebagi ketua kelompok.
“Beres¸
juga tak kasih rokok dua bungkus!”
****
0 komentar:
Posting Komentar