Sabtu, 12 Agustus 2017

RAHASIA KITAB PASHOLATAN






RAHASIA KITAB PASHOLATAN
(Tutur dalam Kisah Seri kedua dari Aku Bukan Kyai)

Shubuh jum’at pagi ini mushola di pekarangan rumah Kyai Semar penuh dengan jama’ah hingga shof paling belakang , teras depan mushola. Selain pada hari jum’at adalah hari libur di kampung itu dari segala aktipitas pekerjaan rutin, pada setiap hari juma’at shubuh Kyai Semar selalu memberikan pencerahan dengan pengajian dan tanya jawab tentang agama dan penerapannya dalam hidup bermasyarakat dan berumah tangga. Yang juga istimewa di pagi itu disediakan pula kopi panas dan jajanan, kadang singkong atau telo rebu, kadang juga jagung atau piSang rebus yang di sediakan oleh jamaah secara bergiliran untuk menemani pengajian dan Tanya jawab setelah sholat. Dan karena kepiawian Kyai Semar pengajian itu lebih terkesan seperti sekumpulan orang yang sedang lesehan, duduk santai bersama teman dan keluarga. Mengalir dan gayeng. Dan karena barokah dari ngopi shubuh inilah sholat lima waktu berjamaah di mushola Kyai Semar ini hampir selalu penuh meski tidak sepenuh saat ini.
”Silahkan sambil di seruput kopinya, Para dhulur semuanya, pagi ini siapa yag hendak berbagi pengalaman dan menyampaikan uneg-uneg agar pemahaman dan penghayatan beragama kita menjadi lebih baik, silahkan …” Kyai Semar yang duduk di depan imaman menghadap jamaah menghentikan ucapanya dan matanya dilayangkan keseluruh jamaah. Beberapa jamaah mengacungkan tangan, Kyai Semar tersenyum lalu menunjuk seoarang pemuda yang tadi turut mengacungkan tangan. Pemuda yang umurnya kira-kira 20 tahun itu berdiri. Tak ada seorangpun selain Mbah Padlan yang duduk di sampingnya yang mengenal pemuda itu. Pemuda itupun maklum tatapan puluhan paSang mata heran penuh selidik yang ditujukan kepadanya karena dia bukan orang kampung itu. Pemuda itu tersenyum sambil menundukkan kepala memberi hormat kepada Kyai Semar.
“Terima kasih Kyai, Saya Ahmad Kusnul Kuluk cucu Mbah Padlan, sudah dua kali ini ikut pengajian Kyai, dan kali ini ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan….. “
“ Sebentar Cah Bagus,…. Kalau kamu cucu Mbah Padlan sipapakah Ibumu, sebab setahuku Mbah padlan hanya mempunyai dua anak perempuan, Winarni dan Wigati yang dulu waktu mudanya juga mengaji di mushola ini “ Kata Kyai Semar memotong. Agaknya Kyai Semar tertarik dengan dedeg pengadek pemuda ini yang memancarkan aura tenang dan terang di wajah ganteng dan gagah seperti pemuda yang berilmu dan sholih.
“Ibuku Winarni,.. “ Jawab cucu Mbah Padlan itu. Serentak terdengar banyak suara bergumam. Siapa yang tidak mengenal Winarni kembang desa di kampung itu yang dua puluh tahun silam menghilang dan sampai sekarang tiada seorang pun yang tahu bagaimana nasibya. Dan sekarang anaknya muncul di tengah-tengah mereka.
“Hmmm……….” Kyai Semar mengangguk anggukkan kepala sambil tanganya kanannya mengelus-elus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang dan jarang. Lalu berkata,
“Cucuku, silahkan masalah apa yang hendak kamu sampaikan dalam pengajian shubuh kali ini “
“ Apakah Gusti Allah memandang bahwa perbuatan manusia yang angkara adalah hal yang biasa saja sehingga Dia diam membiarkanya, karena Dia berselendang Maha Pengampun dan Pemaaf? Apakah selendang keadilanya hanya berlaku di akhirat saja dan tidak berlaku di dunia ini Kyai? Ataukah memang demikian irodatNya, Terima kasih Kyai mohon bimbingan?” Pemuda itu kemudian duduk diikuti puluhan paSang mata tercengang atas pertanyaanya. Ki Semar mengusp kepalanya sambil menarki nafas dalam-dalam. Raut mukanya sejenak berubah gusar namun tak seorangpun tahu perubahan sekilas wajah Kyai itu karena semua mata tertuju ke ahmad kusnul kuluk, pemuda yang pertanyaannya mengagumkan itu. Bukankah pertanyaan itu selain dari jalan ilmu, adalah juga bagian dari ukuran tingginya ilmu seseorang?
Kyai Semar memandang Mbah Padlan yang juga sedang memandangnya, kedua paSang mata mereka beradu. Mbah Padlan mengangguk yang segera dibalas oleh Kyai Semar. Agaknya kedua kakek itu telah menyepakati sesuatu.
“ Baiklah,.. pengajian kita tambah menarik pagi ini, Rupanya putra Winarni ini mewarisi kecerdasan Ibunya,…. Kita pagi ini akan belajar Tauhid, mengenal Allah lebih dekat…. ” Kyai Semar sejenak berhenti karena tampak dua orang yang berumur empat puluh tahunan yang duduk berdampingan di dekat pintu berdiri dengan membungkuk-bungkuk berjalan berhati-hati keluar meninggalkan kopi mereka yang masih panas.
“ Baiklah , mari kita renungkan dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ananda Ahmad Kusnul Kuluk tadi, Apakah Gusti Allah memandang bahwa perbuatan manusia yang angkara adalah hal yang biasa saja sehingga Dia diam membiarkanya, karena Dia berselendang Maha Pengampun dan Pemaaf? Apakah selendang keadilanya hanya berlaku di akhirat saja dan tidak berlaku di dunia ini “ Kata Kyai Semar sambil memandang pemuda ganteng cucu Mbah Padlan yang tadi bertanya. Tampak pula pemuda itu matanya tidak lepas dari Kyai Semar, begitu pula para jamaah subuh ingin mengetahui jawaban Kyai.
“Kalau keadilan Gusti Allah itu yang menjadi ukuran adalah kepuasan kita. Maka artinya kita memaksa  Gusti Allah, dan sombong benar diri kita, Apakah kita patut menduga bahwa yang terbaik adalah seperti yang kita inginkan? Sebab boleh jadi apa yang baik menurut kita belum tentu berakibat baik untuk diri kita, dan boleh jadi keburukan yang menimpa kita akan berakibat baik untuk diri kita, bukankah kita mengetahui bahwa rencana Allah adalah sebaik-baik rencana? Sombong benar dan tidak tahu malunya diri kita menyalahkan Gusti Allah atas keburukan yang menimpa diri kita, ...” Kyai menghentikan ucapanya, matanya menyapu keseluruh hadirin dan kemudian berhenti lama menatap pemuda yang duduk menunduk dengan hati Sangat berdebar  entah mengapa. Kemudian Kyai Semar  memandang kembali seluruh jamaah. Setelah menarik nafas agak panjang dan menghembuskanya, Kyai Semar berkata dengan lantang,
“Kalau kita tidak rela atas apa yang menimpa kita dan menyalahkan Gusti Allah, Maka carilah tempat untuk hidup kita yang bukan milik Allah, ... Padahal mati pun kemana kita akan menuju?!”
Kyai Semar menghentikan ucapanya kemudian tersenyum, lalu berkata,
“Manusia adalah kholifah Allah di muka buka bumi, kalau kholifah itu dimaknai dengan wakil yang mengemban amanat maka sudah seharusnya sifat Allah yang adil pemaaf dan rahman rahim itu juga ada pada tiap diri kita. Itu artinya kita punya kewajiban untuk membumikan sifat-sifat itu dengan af’al kita, dengan segala daya dan upaya kita, akan tetapi kita tidaklah pantas mengatas namakan perbuatan kita atas irodatnya, atas kehendaknya, sebab kalau demikian kita hendak menyamai gusti Allah yang Maha suci. Akan tetapi kita melakuakanya karena perintahNya sebagai ibadah dan pengabdian kepadaNya. Tegakkan keadilan jika kita ingin merasakan keadilan-Nya, berlakulah rahman rahim jika ingin merasakan kasih sayangNya. Tetapi jika yang ada hanya nafsu dan dendam, memang itulah kemauan Iblis yang menghendaki kita menjadi temannya,...” 
”Maaf Kyai kalau boleh saya menyela untuk bertanya...” Kata Yusup pemuda yang duduk di shof depan berhadapan dengan Kyai, usianya sebaya dengan Kusnul sambil mengacungkan tangan kanannya,
“Silahkan, siapapun yang hadir punya hak untuk bicara dan bertanya karena ilmu bukan hanya dari orang alim dan kitab tapi dari apa yang ada di bumi ini hatta lalat sekalipun, silahkan ....” Jawab Kyai Semar
“Kyai,... tangan harus di bayar tangan, mata harus dibayar mata, telinga harus di bayar telinga begitu pula nyawa harus di bayar nyawa. Mengapa harus sekejam itu Kyai, Bukankah Allah Maha Pengampun dan Pema’af?”
“Apakah karena Gusti Allah itu maha pemaaf maka kita tidak perlu beribadah, melaksanakan maksiat saja seumur hidup?” Jawab Kyai Semar dengan mengajukan pertanyaan kembali kepada hadirin.
“Maaf adalah buah kesadaran dari kelaian, maaf adalah memberi kesempatan menuju jalan kebaikan, maka maaf bukan membiarkan tetap dalam kelaian dan kedholiman, itulah perlunya segera memaafkan diri sendiri agar mudah memaafkan orang lain, sebab orang yang masih kotor akan sulit membuat bersih orang lain. Bagaimanakah orang yang tidak sadar hendak menyadarkan orang lain?” Kyai menghentikan ucapanya sejenak, kemudian berkata,
“Adapun keadilan, hukuman, ditegakkan untuk membuat yang salah menjadi sadar agar kembali kepada jalan yang benar. Maka siapapun penegak hukumnya harus sadar dan benar, agar dapat menyadarkan ke jalan yang benar.  Tetapi apa kenyataannya? Hehehehehe...” Kyai Semar tertawa.
Matahari telah bangun, sinarnya mengintip dari balik bukit menerobos hingga masuk ke mushola.
“Maaf para jamaah, kiranya matahari telah bangun, kita pun harus bangun untuk memberi cahaya kepada keluarga dan masyarakat kita, marilah pengajian shubuh ini kita tutup dengan doa,.... Bismilahirohmanirohiem,...” Kyai Semar memanjatkan doa, diamini dengan khusuk oleh para jama’ah, hening hingga suara doa Kyai seolah membubung tinggi.
****
Hampir semua penduduk Cemoro Jajar membincangkan Winarni putri kedua Mbah Padlan yang telah dua puluh tahun menghilang. Meski tidak ada yang tahu dimana kini berada tapi anggapan Winarni telah mati terhapus dan mereka yakin Winarni masih hidup dengan kemunculan putranya. Lalu siapakah suami Winarni, bukankah ketika menghilang dia masih perawan?
“Kang Surip, Kalau sampeyan penasaran, sebaiknya tanya langsung saja pada Mbah Padlan “ Kata Kang Warno sambil meletakkan kopinya di meja warung yang hampir penuh di kelilingi pembeli.
“Mana Aku berani Kang, Kita tahu siapa Mbah Padlan itu, beliau satu-satunya orang yang menjadi murid dari desa ini dari Kyai Sepuh yang sekarang sudah tidak pernah menampakkan diri, ... sekali tampar bisa mati aku Kang, bagaimana kalau sampeyan saja yang tanya pada Si Kuluk cucunya itu”
Kang Warno tidak segera menjawab karena tampak olehnya dua orang menerobos gerimis di malam setelah Isya itu tanpa payung atau caping masuk ke warung. Semua mengenal dua orang itu, yang berbaju hitam dan bercelana gombrang Ki Ranu, Jogoboyo di desa itu, maka dia lebih dikenal dengan sebutan Mbah Jogoboyo. Sedangkan yang lebih muda seumuran Kang Warno dan berbaju rapi adalah Jatmiko menantu Lurah desa ini. Maka semua orang berdiri memberi tempat duduk kepada mereka untuk menghormatinya.
“Silahkan Mbah Jogoboyo dan Den Mas Jatmiko, Ngersaaken ngunjuk punopo?” Kata Kang Jarwo pemilik warung itu dari seberang meja yang penuh dengan dagangannya.
“Kopi Jahe Saja” Kata Ki Ranu
“Saya juga Kang” Kata Jatmoko
“Silahkan semuanya duduk, kenapa sungkan ini Warung bukan ruang tamu. Apakah di antara bapak-bapak ada yang yang dapat giliran ronda di malam ini?” Tanya Ki Ranu alias Mbah Jogoboyo sambil menyapukan pandanganya ke semua orang yang ada di warung itu.
Dua orang disamping kanan Ki Ranu mengangkat tangan sambil duduk dan dua orang lagi di samping kiri Ki Ranu.
“Empat orang?” Tanya Jatmiko
“Lima Den Mas, satunya Mbah Padlan, tetapi beliau biasanya malam baru bergabung di Pos Ronda sambil bawa kopi dan jagung rebus untuk kami” Kata Kang Munir dan di benarkan oleh ketiga temannya.
“Maaf saya lupa menyampaikan, tadi setelah sholat Isya’ di Mushola Kyai Semar, Mbah Padlan menyampaikan maaf malam ini tidak bisa ikut Ronda karena merasa tidak enak badan,  cucunya nanti yang menggantikan” Kata Kang Wakid yang duduk di ujung bangku .Tampak Ki Ranu mengernyitkan kening dan memandang Jatmiko.
“Mudah-mudahan Mbah Padlan segera sehat, orang seumuranku memamg mudah masuk angin” Kata Ki Ranu
“Monggo ini kopi jahenya” Kata Kang Jarwo. Karena mejanya agak lebar Kang Jarwo tidak bisa meletakkan kopi di depan pembelinya. Biasanya pembelinya yang berdiri menyambut kopi dari tangan Kang Jarwo, tapi Kang Warno dan Kang Surip yang duduk disamping Ki Ranu dan Jatmiko buru-buru berdiri menerima kopi dari Kang Jarwo dan meletakannya di meja tepat di depan Ki Ranu dan Jatmiko dengan hati-hati.
“Terima Kasih “ Kata Jatmiko kepada Kang Surip,  sedang Ki Ranu Hanya menganggukkan kepala kepada Kang Warno.
Sejenak warung itu senyap tak ada yang yang bersuara ketika kedua orang itu menuangkan seperempat gelas kopinya di lepek dan menyeruputnya sampai habis lalu meletakkan kembali ketempat semula,
“Baiklah saya dan Mas Jatmiko akan memeriksa ke dusun Sawo Jajar apakah di sana petugas rondanya juga sudah siap karena sudah tiga minggu ini ada tiga rumah yang dimasuki pencuri” Kata Ki Ranu
“Ini untuk kopi semua yang ada di sini, sisanya sampeyan ambil dan buatkan kopi nanti malam untuk ronda “ Kata Jatmiko sambil memberikan uang yang lebih dari cukup untuk membayar kepada Kang Jarwo yang menerimanya dengan membungkuk.
Ki Ranu dan Jatmiko keluar dari warung di ikuti pandangan semua orang hingga tubuh mereka menghilang di pertigaan jalan.
Mereka pun kembali duduk di warung. Bukan Winarni lagi yang menjadi bahan obrolan tetapi keheranan mereka kepada Ki Ranu yang turun gunung dengan Jatmiko, sebab biasanya sekali waktu Ki Ranu yang jabatannya Jogoboyo yang bertanggung jawab keamanan di desa ini berkeliling di temani dua orang kepercayaannya KangMuji dan Kang Kliwon.
“Kang Muji dan Kang Kliwon kok tidak ikut ya, kemana meraka” Tanya Warno
“Paling ijin Kang, lagi pula sekarang musim hujan, hampir tiap malam gerimis, enakan di rumah. Anget !” kata Kata Wakid yang duduk di pojok, lalu menyambung perkataannya,
“Sepertinya akan ada sesuatu atau telah terjadi sesuatu sehingga Ki Ranu masih sore sudah memeriksa, Kalau Ki Ranu memang sudah tanggung jawabnya memeriksa karena beliau Jogoboyo, tapi kenapa Mas Jatmiko sampai turun juga?”
“Karena malam ini rejeki saya Kang Wakid, malam ini saya bisa tutup warung tidak terlalu malam dan istirahat, uang dari Mas Jatmiko lebih dari cukup”
“Sebentar to Kang jangan ditutup dulu, apa sampeyan tidak melihat keanehan malam ini? Apa mungkin Ki Ranu sudah punya firasat kawanan pencuri akan ke sini malam ini sehingga mengajak Jatmiko untuk turun tangan, sebab kabarnya Jatmiko adalah murid Ki Panjalu Dari Alas Pring yang kebal senjata tajam itu”.
“Tidak usah serius begitu Kang Wakid, mana mungkin pencuri-pencuri itu berani masuk ke dusun kita, siapa yang tidak kenal Kyai Semar dan Mbah Padlan. Lagi pula kita para laki-laki di sini bukan laki-laki yang lemah”
”Betul Pak Lek Warno, meski saya malam ini tidak jaga saya akan ikut ronda nanti malam” Kata Rojak pemuda dua puluhan yang tiap harinya bekerja menjadi tuKang kebun dan menjaga ternak milik Kyai Semar menggantikan ayahnya yang lima tahun lalu meninggal.
 “Kalau begitu sebaiknya kita mulai berjaga di pos dan gantian berkeliling,  Ingat Kang Jarwo nanti malam kopinya jangan lupa !” Kata Kang Birin yang malam ini piket jaga dan sebagi ketua kelompok.
“Beres¸ juga tak kasih rokok dua bungkus!”
****

0 komentar:

Posting Komentar