Senin, 14 Agustus 2017
AKU BUKAN KYAI Episode: Rahasia Ilmu Laquwah
04.06
No comments
AKU BUKAN KYAI
Episode: Rahasia Ilmu Laquwah
Masih pagi, jam delapan Ratna sudah nongol di depan
pintu. Setelah mengucapkan salam, dia langsung masuk ke ruang tengah di mana
aku dan isteriku sedang menggelar kain tile untuk kebaya.
"Punyaku dah jadi nte?"
"Dua hari lagi, lagian kan pakenya masih bulan
depan"
"Mau promosi ke kakak angkatan, kan mereka mau
Wisuda, Ntar aku di kasih komisi ya Nte"
"
Beres...., kok kamu gak kuliah?"
"Ini kan sabtu, Nte... Oh ya Pak, kok di gang
gak ada penjual penthol bakar, dia sudah gak tugas ya Pak?"
Aku hanya teresnyum.
"Senyum bapak itu gak enak banget.." Kata Ratna
dengan muka manyun.
"Hahahahaha ...Itulah perempuan, Kalau dekat
diomelin, kalau gak ada dicariin"
"Siapa yang cari dia, aku cuma tanya"
"Tugas Dimas sudah di gantikan sama yang lain,
dia ditugaskan Kyai di tempat lain,"
"Dimana Pak?"
"Lha kan?.... Siapa yang cari, aku cuman
tanya" Kataku menirukan Ratna. Isteriku sampai tertawa.
"Denger ya, aku tu cuman kuatir karena yang
dihadapi Dimas itu bukan preman kacangn, di Jalan Gula kemarin saja Ratna
sampai Pake Walet lima,.. sejak itu Dimas tidak t ampak batang hidungnya
dikampus, maupun di pesantren."
"Dari mana kamu tahu di pesantren tidak
ada" Tanyaku kuatir.
"Jaiz, kemarin di kampus. Dia kan satu kamar
dengan Dimas" Jawab Ratna.
"Apakah temanmu Jaiz itu juga tidak tahu dimana
Dimas?" Tanyaku
"Tidak"
"Cobalah tanya Kyai Zuhdi, Yah" Saran
isteriku.
"Baiklah, nanti setelah sholat Dluhur aku ke
sana"
"Sekrang aja Pak, Ratna ikut"
"Ini anak kalau ada maunya,.. Sekarang kan
waktunya kerja, ya nanti kalau mau ikut" Kataku sambil memasang mal di
atas kain.
"Bener ya, jangan ditinggal, aku mau pulang
dulu, ganti baju yang lebih pantas untuk ke pesantren "Kata Ratna sambil
memeluk dan mencium isteriku, pamit.
Tidak lama setelah Ratna pulang ada tamu mengetuk
pintu dan memberi salam. Aku pun segera menjawab dan bergegas ke ruang tamu.
Seseorang berdiri di depan pintu.
"Dimas? Panjang umurmu ....ayo cepetan
masuk" Aku mengenalinya meskipun sebgian wajahnya tertutup topi. Dimas
menyalamiku lalu duduk.
"KataRatna beberapa hari kamu tidak nongol di
kampus maupun di pesatren"
"Benar Pak, saya ke Pasuruan"
"Tiga hari yang lalu saya duduk di warung Pak
Parlan ada tiga orang naik dua sepada motor tanya rumah Pak Hanif kepada Pak
Parlan, tapi ketika aku ikuti ternyata mereka hanya lewat saja di depan rumah
ini, aku jadi curiga, maka aku ikuti mereka, ternyata menju ke suatu rumah di
Asemrowo gang tiga nomor xx. Sepuluh menit kemudian dua orang keluar, aku ikuti
mereka sampai pasuruan. Ternyata mereka ke sebuah rumah besar dan di pintu
gerbangnya bertuliskan Padepokan Mbah Sastro, aku tanya masyarakat sekitar,
ternyata Mbah Sastro adalah guru silat dan pranomal, sudah meninggal di
asurabaya, itu yang saya dapat selama dua hari disana, tapi sepertinya tidak
ada hubunganya dengan Kyai,..dan aku coba cari tahu tentang orang Asemrowo itu,
dia orang biasa saja, bukan premen tapi agak tertutp dan jarang bergaul dengan
tetangga, apakah Pak Hanif mengenal Padepokan Mbah Satro?"
Aku menggelengkn kepala. Tetapi aku yakin pasti itu
adalah anak buah Pak Tua alias Mbah Sasto.
"Hati Pak, sepertinya mereka bermaksud
jahat"
"Terima kasih Dimas, sebaiknya cepat kembali ke
pesantren, teman-temanmu cemas. Dan hubungi Ratna agar dia tidak cemas pula.”
"Tolong sampaikan ke Ratna Pak, untuk tidak
ikutan masaalah ini, mereka berbahaya, kalau saya yang bilang gak pernah nurut,
saya kuatir dan tidak ingin Ratna celaka"
Aku menganggukkn kepala. Ternyata mereka saling
menguatirkan, saling perhatian. Padahal kalau ketemu mereka seperti Tommy and Jerry.
Gak pernah akur. Tapi aku tidak begitu mengkuatirkn Ratna.. Aku yakin kemampuan
bela diri Ratna jauh di atas Dimas. Apalagi sekarang dia sedang mempelajari
kitab walet dari Mbah Sastro.
"Baiklah Pak Hanif, saya pamit ke pesanteren,
Assalamualaikum" Kata Dimas lalu keluar menuju CBRnya.
"Hati-hati Dimas " Kataku sebelum
sepedanya meluncur. Aku kembali masuk ke ruang tengah. Tampak isteriku keluar
dari dapur membawa dua gelas teh hangat.
"Untuk siapa Ma?"
"Lha tamunya mana?"
"Kasep,.. Dah pulang, berarti rejekinya
Ayah" Kataku sambil mengambil gelas teh hangat itu dari baki.
Belum sempat teh itu aku minum dari pintu depan
terdengar salam. Masih pagi sudah banyak tamu. Berarti banyak rejeki, hiburku
dalam hati. Kuletakkan kembali gelas itu. Kujawab salamnya dan berjalan menuju
ruang tamu.
"Oh Pak Haji Jakfar dan Kyai Mustofa,
Subhanallah... monggo Pak silahkan masuk. Beginilah keadaanya, morat marit,
maklum penjahat, eh penjahit... monggo lenggah Pak Kyai" Kataku setelah
menyalami mereka dan memprsilakan mereka duduk.
"Trima kasih Pak Hanif, maaf jangan panggil
Kyai. Lagi pula Pak Hanif masih termasuk paman guruku, karena abahku juga
Santri dari guru Pak haniefKyai Shofi Pekalongan, dan kakekku juga seperguruan
dengan guru Pak Hanief, Kyai Sepuh, Mbah Kyai Sulaiman" Kata Kyai Musthofa
setelah duduk disamping Pak Haji Jakfar. Kyai muda itu menghentikan ucapannya
sejenak lalu katanya,
"Maaf Pak Hanief, kemarin saya tidak tahu kalau
Pak Hanif adalah orangnya, orang yang harus saya temui untuk menyampaikan pesan
dari Abah saya, karena Abah bilang yang tahu orangnya hanya Kyai Zuhdi, makanya
saya menemui beliau dulu"
"Sama-sam Kyai,.. Eh Dimas Thofa, maaf,.. pesan
apakah kiranya dari Kyai Jenggot Putih Demak untuk saya Dimas?" Tanyaku
agak gugup.
"Aku kuatir ada yang salah denganku sehingga
Kyai berkenan menegurku" Kataku selanjutnya.
"Tidak ada yang salah dengan panjenengan Pak
Hanief, Abah hanya titip salam, Assalamualaikum warakmatullahi
wabarakatuh..."
"Wa'alaikum salam warahmatullahi
wabarakatuh" Jawabku
"Abah titip pesan, kalau ada waktu, Pak Hanief
diminta untuk datang ke Pesantren, untuk menyambung silaturahmi dan hormat Abah
kepada Kyai Sepuh, yang kedua Abah minta Pak Hanif supaya bisa membantu Abah di
pesantren meneruskan ilmu dari Kyai Shofi untuk menyempurnakn ajaran
beliau"
"Terima Kasih Dimas, atas segala kehormatan
dari Kyai,... Jka boleh saya bertanya, darimana Kyai tahu tentang saya, padahal
saya belum pernah ketemu beliau "
"Kyai Blekok Pak Hanief, semua atas saran
beliau,.. Menurut beliau, ilmu Kyai Shofi Rohimahullah harus diajarkan agar
tidak hilang dan satu-satunya yang mengusai dari Kyai Shofi hanya
panjenengan"
Aku terdiam mendengar penjelasan Kyai muda itu.
Memang benar ilmu tidak boleh disembunyikan, tapi ilmu apakah yang harus aku
ajarkan, menjahit? Lagi pula aku merasa
tidak biasa hidup di pesantren. Bahkan dulu pun aku di pesantren karena tempat
tinggalku disamping pesantren. Bukan mondok. Kyai Shofi adalah tetanggaku dan
teman al marhum ayahku.
Selain ikut mengaji dengan para santrinya, aku juga
sering bermain di rumahnya karena satu-satunya putri Kyai adalah teman
sekelasku di Tsanawiyah dan juga di MAN dan aku sering membantu pekerjaan rumah
Kyai. Karena aku bukan santri mondok, aku tidak banyak mengenal santri beliau,
termasuk Kyai janggut putih ketika nyantri dan juga Kyai blekok.
"Bagaimana Pak Hanif?" Tanya Kyai muda,
putra Kyai Jenggot Putih Demak itu.
"Maaf Dimas, saya rasa hidup saya sudah kadung
bukan di pesantren, tapi saran Kyai Blekok dan Kyai Jenggot Putih untuk
mengajarkan ajaran Kyai Shofi akan saya lakukan, Insaya Allah saya akan
menyebarkn ajaran Kyai Shofi dengan cara saya hidup berbaur dengan
masayarakat... Terima kasih untuk menyampaikan jawaban saya ini kepada beliau
juga kepada Kyai Blekok dan Insaya Allah saya akan sowan ke pesantren memenuhi
undangn Kyai, karena ini adalah kehormatan bagi saya" Jawabku dengan hati
mantap.
"Baiklah, akan saya sampaikan tanpa kurang
maupun melebihi,... Sungguh saya sangat kagum Pak Hanief, banyak santri ingn
jadi Kyai, tapi Pak Hanif malah menolak..."
"Maaf, saya bukan menolak Dimas..!" Kataku
memotong,
"Saya hanya merasa sangat tidak pantas
menyandang gelar agung itu,..saya kira jawabanku sudah jelas, saya mengucapkan
terima kasih"
"Maaf Pak Hanief, saya tidak bermksud
menyinggung perasaan panjenengn, mohon maafkan saya,.. Saya hanya benar-benar
kagum, dan saya benar-benar mendapatkan pelajaran yang sangat berharga,.. Saya
juga insyaf Pak Hanief, kalau saya bukan
keturunan Kyai Jenggot Putih, saya juga bukan siapa-siapa... Apalagi dihadapan
panjenengn..."
"Dimas Tofa,.. Semua orang punya tugas dan
tanggung jawab, Dimas tidak bisa lari dari tanggung jawab Dimas atas amanat
masyarakat yang menitipkan putra-putrinya di pesantren Dimas, Dimas tidak harus
seperti saya, dan saya juga tidak harus seperti Dimas, jika dipaksakan itu akan
salah, merusak tatanan, bukankah demikian Pak Haji Jakfar?" Tanyaku kepada
Pak Haji Jakfar yang sejak tadi hanya diam mendangarkan keponakanya.
"Leres, Pak Hanief,.. " Jawab Pak Haji
Jakfar sambil menganggukanggukkan kepala.
" Dimas, saya ingin Dimas tahu alasan saya
sebenarnya,... Janganakan gelar, apapun gelarnya termasuk maaf gelar Kyai, ilmu
semua itu bisa menggelincirkan manusia ke dalam dosa yang besar, Dimas tentu
paham ayat dan hadisnya, bahwa tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya ada sekecil biji sawi dari sifat sombong, karena sombong itu hanya
Allah sajalah yang pantas,... saya takut akan hal itu Dimas, dan saya tiada
berhenti belajar untuk menghindarinya."
"Terima kasih Pak Hanief atas wejangannya,
insya Allah saya akan selalu mengingatnya" Kata Kyai muda itu.
"Pemisi, .." Isteriku datang membawa teh
hangat serta dua piring pisang goreng. "Monggo Pak Kyai, Abah.. "
Kata isteriku sambil maletakkan di atas meja.
"Terima kasih Bu Hanif," Jawab Pak Haji
Jakfar.
Isteriku kembali ke ruang tengah.
"Pak hanif, terima kasih,... rupanya inilah
rahasia dari ilmu laquah, pantas saja ribuan laquah saya baca tapi tidak ada
pengaruhnya apa-apa,.. Rupanya saya harus belajar menghilangkan ujub dan
takabur,.. Astagfirullahal 'adziem" Kata Kyai muda itu. Aku hanya
tersenyum. Dalam hati aku kagum terhadap kecerdasan Kyai muda ini dalam
memahami ilmu.
"Alhamdulillah, kalau saja saya tidak ikut
kemari, saya tidak akan mengetahui ilmu berharga ini, terima kasih Pak
Hanif" Kata Pak Haji Jakfar.
"Subhanaka laa 'ilma lana illa ma 'alamtana
innaka antal 'alimul hakiem” Jawabku. Sejenak kami terdiam.
“Mari diminum tehnya" Kataku sambil meraih
gelas teh hangat, dikuti Kyai Musthofa dan Pak Haji Jakfar.
Sepulang Kyai dan Abah Jakfar aku jadi berpikir
ternyata yang dijarkan Kyai Shofi dengan cara santai disela-sala menanam
singkong, menjemur kayu bakar, mengisi kolah untuk mandi adalah ajaran yang
sangat tinggi. yang selalu aku ingat, jangan sombong, riya' senang dipuji.
Karena semua itu yang menghancurkan amal baik, menghanguskan pahala sebagaimana
api menghanguskan kayu bakar, sombong membuat Allah murka, karena sombong pula sehingga
iblis di usir dari surga dan dikutuk sepanjang masa.
Aku juga ingat, Kyai Shofi mengajarkan bahwa semua
orang bisa sholat, si kaya bisa haji dan zakat. Orang terpelajar, santri, guru,
Ustadz Kyai dapat membaca kitab... menjadi pandai dan berilmu, tetapi semua itu
tidak dapat mengantarkannya kepada kemulian, karena Tuhan hanya memulyakan
hambanya yang paling takut kepadanya,., tidak kuatir dan sakit hati direndahkan
orang. Bukanakah jika Tuhan mengangkat dan mencintainya siapa yang mampu
merendahkannya?
*****
BELAJAR DARI KARYA AGUNG
00.15
No comments
TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK
PROF.DR.
HAMKA
Pulau
Pandan jauh di tengah,
di
balik pulau Angsa Dua.
Hancur
adik dikandung tanah,
rupa adik terkenang
jua.
Bang Muluk! ....... cinta
saya kepada Hayati masih belum rusak, walau sebesar rambut
sekalipun!"
Muka Muluk merah
mendengar perkataan Zainuddin itu. Dengan gugup dia berkata: "Saya tak
mengerti dengan perangai
guru! Selama ini guru meratap, menangis, bersedih, bersedu
mengenang Hayati.
Sekarang setelah diluangkan Tuhan kesempatan pertemuan yang sah
seorang laki-laki yang
bercinta dan berbudi, dari hakim yang zalim sekalipun, tidak akan ada
hukuman sebagai demikian
itu. Sekarang setelah dia pergi, baru guru mengatakan bahwa guru
tetap cinta akan dia!
Guru jangan marah, jika saya katakan bahwa kadang-kadang perangai
guru masih serupa dengan
perangai anak-anak".
"Ya bang Muluk! Saya
sudah salah, hati dendam saya dahulukan dari ketenteraman cinta. Terus
terang saya katakan,
kalau tidak ada Hayati lagi di sini, saya akan sengsara, terus!"
"Diapun demikian!
Berat betul langkahnya hendak mening galkan rumah ini. Sampai ketika akan
berangkat pesannya masih
disuruh sampaikannya kepada guru, bahwasanya nama gurulah
yang akan menjadi
sebutannya di manapun dia. Inilah surat yang disuruhkannya berikan!"
Zainuddin membuka surat
itu dengan penuh perhatian dan dibacanya:
Pergantungan jiwaku,
Zainuddin !
Kemana lagi langit
tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin.
Apakah artinya hidup ini
bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!
Sungguh besar sekali
harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dengan
segenap daya dan upaya,
supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa
makbul. Supaya dapat
segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap
kepada dirimu saya
tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, sebab
engkau sendiri yang
menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk sebab engkau
hendak mencurahkan segala
dendam kesakitan yang telah sekim lama bersarang di dalam
hatimu, yang selalu
menghambat-hambat perasaan cinta yang suci. Lantaran membalaskan
dendam itu, engkau ambil
suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali
pengharapanku, pada hal
pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu
percayalah Zainuddin,
bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia
menimpakan celaka
kepadaku saja; tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya, bahwu
engkau masih tetap cinta
kepadaku.
Zainuddin! Kalau saya tak
ada, hidupmu tidak juga akan beruntung, percayalah !
Di dalam jiwaku ada suatu
kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya, dan kekayaan
itu belum pernah
kuberikan kepada orang lain, wulaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta.
Saya tahu bahwa engkau
keku nangan itu. Saya merasa bahwa saya sanggup memberimu
bahagia pada tiap-tiap
saat hidupmu, yang tiada seorang perempuan agaknya yang sanggup
menandingi saya di dalam
alam ini dalam kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu
digiling oleh sengsara
dan kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan. Dan kalau
sedianya engkau kabulkan,
kalau sedianya engkau terima kedatanganku, saya pun tidak
meminta upah dan balasan
dari engkau. Upah yang saya harapkan hanyalah diri Dia, Allah Yang
Maha Esa, supaya engkau
diberinya bahagia, dihentikannya aliran air matamu yang telah
mengalir sekian lama.
Upahku yang kedua, yang saya harapkan dari pada-Nya hanyalah supaya
saya dapat hidup di
dekatmu, laksana hidupnya sebatang rumput sarut di bawah lindungan
pohon beringin dengan
aman dan sentosa, dipuput oleh angin pagi yang lemah gemulai
..............
Zainuddin! .......
Mengapa engkau tak suka memaafkan kesalahanku? Demi Allah! Sudah insaf
saya, bahwa tidak ada
seorang pun yang pernah saya cintai di dalam alam ini, melainkan
engkau seorang. Tidak
pernah beroleh tenteram diriku setelah aku coba hidup dengan orang
lain. Orang yang telah
mengecewakan dirimu itu yang sekarang telah insaf dan telah
menghukum dirinya
sendiri, meskipun dia sanggup memperoleh tubuhku, dia selamanya belum
sanggup memperoleh
hatiku. Karena hatiku telah untukmu sejak saya kenal akan dikau.
Kalau sedianya engkau
maafkan kesalahanku, engkau lupakan kebebalan dan kecongkakan
ninik mamakku,
kalau....... kalau sekiranya maafmu memberi izin mimpimu sendiri terkabul;
kalau sedianya semuanya
itu kejadian, engkau akan beroleh seorang perempuan yang masih
suci batinnya, suci
jiwonya, belum penah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas
orang, yang tidak ada
bedanya dengan 'Permatamu yang hilang', dan dengan gadis Batipuh
yang engkau cintai 2 dan
3 tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar tulismu!
Piala kecintaan terletak
di hadapan kita, penuh dengan madu hayat nikmat Ilahi: Air
madu itu telah tersedia
di dalamnya untuk kita minum berdua biar isinya menjadi kering, dan
setelah keeing kita telah
boleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita
mati dengan bahagia
sebagaimana hidup telah bahagia. Tiba-tiba dengan tak merasa kasihan,
engkau sepakkan piala itu
dengan kakimu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya
pecah. Lantaran itu, baik
saya atau engkau sendiri, meskipun akan masih tetap hidup, akan
hidup bagai bayang-bayang
layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan
penuh was-was dan
penyesalan.
Apa sebab engkau begitu
kejam, tak mau memberi maaf kesalahanku? Padahal telah lebih
dahulu bertimpa-timpa
azab sengsara ke atas diriku lantaran mungkirku! Kelihatan oleh matamu
sendiri bagaimana saya
dan suamiku menjadi pengemis di waktu kayamu, menumpang di
rumahmu untuk
memperlihatkan bagaimana sengsaraku lantaran tak jadi bersuami engkau.
Hilang .... hilang
semuanya. Hilang suami yang kusangka dapar memberiku bahagia. Hilang
kesenangan dan mimpi yang
kuharap-harapkan. Setelah semuanya itu kuderita harus kudengar
pula dari mulutmu sendiri
kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang
sudah nyata kesalahan,
yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertobat kepadaNya, walaupun
bagaimana besar dosa,
akan diampuniNya.
Adakah engkau tahu hai
Zainuddin, siapakah perempuan yang duduk di kamar tulismu kemaren
itu? Yang engkau beri
kata pedih, kata penyesalan yang engkau bongkar kesalahannya dan
kedosaanrtya, yang engkau
remukkan jiwanya dengan tiada peduli?
Perempuan itu tidak lain
dari satu bayang-bayang yang telah hilang segenap semangatnya,
yang telah habis seluruh
kekuatannya, tiada berdaya upaya lagi, habis kekuatan pancaindera
dan perasaannya; matanya
melihat tetapi tak bercahaya, telinganya mendengar, tetapi tiada ia
mafhum lagi apa yang
didengarnya
Yang tinggal hanya
tubuhnya, batinnya sudah tak berkekuatan lagi. Itulah dia perempuan yang
engkau sakiti itu. Itulah
perempuan yang tidak engkau timbang sengsaranya dan ratapnya.
Engkau ulurkan kepadanya
tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris
pembalasan, mengenai
sudut jantungnya, terpancur darah dan akan tetap mengalir sampai
sekering-keringnya,
mengalir bersama dengan jiwanya.
Itulah perempuan yang
engkau sakiti itu!
Tetapi sungguhpun
demikian pembalasan yang engkau timpakan ke atas pundakku,
kesalahanmu itu telah
kuampuni, telah kuhabisi, telah kumaafkan.
Sebabnya ialah lantaran
saya cinta akan engkau. Dan karena saya tahu bahwasanya yang
demikian engkau lakukan
adalah lantaran cinta jua. Cuma satu pengharapan yang penghabisan,
heningkan hatimu kembali,
sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya,
maafkan saya, letakkan
saya kembali dalam hatimu menurut letak yang bermula, cintai saya
kembali sebagaimana
cintaku kepadamu dan jangan saya dilupakan.
Engkau suruh saya pulang
ke kampungku dan engkau berjanji akan membantuku sekuat
tenagamu sampai saya
bersuami pula.
Zainuddin! Apakah artinya
harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada
dekatku?
Saya turutkan permintaan
itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bahwa saya
pulang ke kampungku,
hanya dua yang kunantikan, pertama kedatanganmu kembali, menurut
janjiku yang bermula,
yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, hari berganti musim. Dan
yang kedua ialah menunggu
maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya
bergantung di awang-awang
itu.
Selamat tinggal
Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yang kucintai di dunia ini! Seketika
saya meninggalkan
rumahmu, hanya namamu yang tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak,
engkaulah yang akan
terpatri dalam doaku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat ..........
Mana tahu, umur di dalam
tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau
ziarah ke tanah pusaraku,
bacakan doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna
dari bekas tanganmu
sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkuburnya seorang
perempuan muda, yang
hidupnya penuh dengan penderitaan dan kedukaan, dan matinya
diremuk rindu dan dendam.
Mengapa suratku ini banyak
membicarakan mati? Entahlah, Zainuddin, saya sendiri pun heran,
seakan-akan kematian itu
telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau
berduka hati, melainkan
sempurnakanlah permohonan do'a kepada Tuhan, moga-moga jika
banyak benar halangan
pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat,
pertemuan yang tidak akan
diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi
manusia ..........
Selamat tinggal
Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak
kuucapkan di mulutku dan
agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut
kalimat syahadat, yaitu:
Aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di
dalam
mengenangkanengkau"............
Sambutlah salam dari
Hayati.
Setelah selesai surat itu
dibukanya, dilihatnya Muluk kembali, kiranya kelihatan oleh Muluk
pipinya telah penuh
dengan airmata.
"Bang Muluk !"
katanya beberapa saat kemudian, setelah menyapu air matanya. "Saya akan
berangkat ke Jakarta
dengan kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung
Periuk. Biasanya kapal
dari Surabaya merapat di pelabuhan Tanjung Periuk pukul 7 pagi. Hayati
akan saya jemput kembali,
akan saya bawa pulang ke mari.
"Inilah keputusan
yang sebaik-baiknya guru," kata Muluk. Dia berdiri dari tempat duduknya,
di
dekatinya Zainuddin dan
dibarut-barutnya punggung anak muda itu. Lalu dia berkata pula,
"Mudah-mudahan
berhentilah segala kesedihan tuan-tuan keduanya sehingga ini, dan biarlah
rahmat Allah meliputi
tuan-tuan berdua .......
Sabtu, 12 Agustus 2017
TERAS MUSHOLA
15.15
No comments
TERAS MUSHOLA
Episisode: Mintalah, maka dia akan memberimu
Berilah, maka Dia akan mencukupkanmu
Sebagian para jama’ah sholat Shubuh sudah duduk melingkar di
teras mushola mengelilingi kopi dan beberapa piring jagung juga ketela rebus
yang sudah di tata rapi oleh kang Mi’an dan putranya. Memang Ahad Shubuh ini
giliran Kang Mi’an yang menyediakan kopi.
Tampak Kyai Semar sudah menyelesaikan wiridnya dan berjalan
menuju teras mushola.
“Wah, sudah pada ngumpul rupanya ini” kata Kyai Semar begitu
sampai diteras mushola sambil mengambil tempat untuk duduk bersila di samping
Kang Tarjo.
“Monggo Yai” kata Kang Tarjo sambil meletakkan secangkir
kopi di depan Kyai semar dan mendekatkan dua piring ketela dan jangung rebus
yang masih hangat.
“Terma kasih,... Bismillahirrohmanirrohiem” Kyai semar
mengangkat cingkir kopinya dan menyeruput lalu meletakkan kembali di tempat
semula.
“Kok Kang Dasran tidak kelihatan, apa dia baik-baik saja”
Tanya Kyai
“Dia sedang repot Kyai, mengantarkan anak laki-lakinya ke
kota cari kos-kosan, anaknya di terima di Politeknik” kata Kang Mi’an
menjelaskan
“Bukankah istrinya juga sedang sakit?” tanya Kang Jarot
“Benarkah?” tanya Kyai
“Benar Kyai, tapi isterinya menolak di bawa ke rumah sakit”
Kata Kang Makbul
Tampak Kyai semar diam mengangguk-anggukkan kepala. Dan
tidak lama kemudian mengusapkan tangan kanannya ke wajahnya sambil menarik
nafas. Kemudian berkata,
“Begini bapak-bapak sekalian..., itulah contoh perjuangan
dan pengorbanan seorang Ibu, dia tidak mau dibawa ke rumah sakit karena
putranya butuh biaya yang tidak sedikit untuk belajar...., Saudara kita Pak
Dasran sedang kesulitan, maka kita wajib membantunya. Apa kita tidak malu minta
kepada Allah agar kita diberi
kebahagiaan dunia akhirat, padahal kita sendiri tdak mau membantu kesulitan
saudara kita.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ
يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari
berbagai kesulitan-kesulitan dunia, Allah akan menyelesaikan
kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang
sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat (HR.
Muslim)
Di teras ini minggu kemarin juga sudah kita pelajari bersama
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ فِى
حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ
Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah membantu
keperluannya. (Muttafaq 'alaih)
Nah, sekarang apa gunanya kalau kita “ngaji kalau tidak
ngiji”, apa gunanya kita membaca Al Qur’an dan hadits kalau tidak kita amalkan,
tidak kita praktekkan,... Pak Mi’an, tolong sampaikan kepada jama’ah, dari rumah
ke rumah untuk membantu Pak Dasran dan keluarganya, dan sebelum pak Mi’an
keliling, tolong ke rumahku terlebih dahulu” Kata Kyai sambil menatap Kang
Mi’an.
“Maaf Kyai, sebelum di dahului panjenengan, ini kebetulan
saya bawa uang. Tadi malam juragan Harto menebas seluruh kebun jagung saya”
Kata Gus Jack sambil menyerahkan beberapa lembar ratusan ribu rupiah. Kyai
Semar hanya mengangguk dan tersenyum.