AKU BUKAN KYAI 5
Episode: Surban Sang Kyai
Jam
empat sore aku dan Cak Ali ke rumah Kyai Saiful Bachri. Ternyata abah Kyai
tidak ada, menurut salah seorang santrinya abah Kyai sedang kirim terpal ke ke Balai
Kota. Sebab besok malam akan ada istighotsah dan sholawat bersama Habib Syaech.
Maklum selain juragan terpal Abah Kyai juga panitia pengarah yang dibutuhkan
nasehatnya. Akhirnya aku dan Cak Ali meluncur ke jalan Demak untuk minum jus
duren disana. sesampainya di sana aku segera mencari tempat duduk yang nyaman,
sedangkn Cak Ali yang pesan.
Ada beberapa meja yang kosong, aku memilih meja
dengan dua kursi dekat pintu masuk agar dapat mengawasi sepeda yang aku parkir.
Di kedai ini parkir gratis, tapi kalau lengah justru bisa menjadi mahal.
Selesai pesan Cak Ali duduk di kursi depanku di batasi meja menghadap keluar menikamati
lalu lalang kendaraan jalan Demak. Tidak lama Cak Ali duduk, seorang pemuda datang
membawa dua gelas jumbo jus duren dan meletakkanya di depan kami. Cak Ali mengaduk
isi gelas sambil berkata pelan,
"Sepertinya
dari tadi sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor
Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
“Ya,
dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu
juga ya Kang"
"Ya,
aku yakin, karena mereka ikut belok ketika kita ke rumah Kyai"
"Siapa
mereka kang"
"Nanti
kita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang
mereka menyeberang ke sini"
"Biarkan
saja, kita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak
lama kamudian aku mendengar suara motor parkir dan aku menoleh. Ternyata benar.
Merekaa parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak masuk tapi memilih
meja di luar yang berada dua meja di belakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap
punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan garak gerik
mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat pesanan.
Tidak
lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sejak mereka duduk
hatiku merasa tidak enak dan was-was. Di hati aku membaca wirid dan berdoa. Karena
degup jantungku terasa agak keras aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka.
Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian daripada hanya cuci muka, toh juga sama-sama basah. Selesai berwudhu hatiku merasa tenang, lalu kembali ke tempat
dudukku. Cak Ali tampak sedang menikmati tahu petis dan lombok di tangan
kirinya. Aku segera menjauhkan mangkuk kecil berisi lombok itu dari jangkauan
Cak Ali. Kuatir dihabiskan karena Cak Ali punya masalah lambung. Tiba-tiba
gelas kami bergetar. Aku segera membaca laquah dan menyentuh gelasku.
Gelaskupun diam kembali. Gelas Cak Ali tiba-tiba pecah jadi dua di atas meja
disertai suara dua orang terjengkang dari kursi dibelakangku. Cak Ali segera
mengepalkan lengannya tapi aku mencegahanya dan menyuruhanya tetep tenang.
Orang yang berada di kedai pun serentak berdiri memandang ke arah suara dua
orang tadi yang sepertinya terpental bersama kursinya satu meter dari tempat semula.
Aku menoleh ke arah mereka, tampak beberapa orang membantunya berdiri. Rupanya
mereka berdua pingsan.
Orang-orang
pun ribut. Ada yang mengusulkan lapor polisi, ada yang mengusulkan panggil
ambulan karena keracunan. Tapi pemilik kedai minta untuk tidak lapor polisi atau
pnggil ambulan. Kuatir masalahnya tambah panjang dan kedainya tidak laku. Disuruhnya
para pegawai untuk membawa mereka masuk untuk dipanggilkan adiknya yang katanya
dokter di Karang Menjangan. Saat para pegawai kedai dan beberapa pelanggan
membantu membawa mereka masuk, seorang pemuda dua puluh limaan berpakaian koko
dan berwajah bersih ganteng menghampiriku dan Cak Ali sambil tersenyum.
"Mereka
tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau
boleh saya memperkenalkan diri saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku
Ipin," Katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan
mnyebuntukan nama kami masing-masing.
"Tolong
jangan ada yang lapor polisi, mereka tidak keracunan, mulutnya tidak keluar
busa. Hanya sedikit darah dimulutnya. Hari ini samua gratis. Sekli lagi tolong
jangan ada yang lapor polisi" kata pemilik kedai.
"Tidak
apa-apa Pak, tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air
mineral" kata pemuda ganteng yang bernama Ipin.
Pemilik
kedaipun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan
menuangkannya di telapak tangan kanannya. Setelah beberapa detik air itu lalu
dicipratkan ke muka mereka. Begitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi
dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari
sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Merekaa mencoba bangun tapi sepertinya
tak mampu menahan sakit di dadanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan
ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Hey
Cak ! Iki karepmu dhewe opo kongkonan, ayo ngaku !" Cak Ali menghardik.
Mereka bukanya segera menjawab tapi kedua tanagn merekaa memegangi leher masing-masing
dengan mata mendelik seperti orang dicekik. Melihat itu Arifin segera memegang
kedua ubun-ubun mereka. Tanganya bergetar.
"Pak
Hanief, Pak Ali tolong lakukan sesuatu, orang ini dicekik jarak jauh" Kata
Arifin. Aku segera membaca laquah dan meniru meletakkan tanganku diatas telapk tangan
Arifin di atas ubun-ubun mereka. Kedua
orang yang tercekik itu kini melepaskan tanagn mereka dari leher masing-masing
dan menyatukan kedua celah jari-jari tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol
dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat
kamit. Tidak lama kamudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin megangkat
tangannya. Akupun mengikutinya.
"Terima kasih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami.
Maafkan kami Pak Hanief. Paman guru yang menyurhnya"
Karena
orang-orang di kedai berkerumun mengelilingi,
aku merasa tidak enak dijadikan tontonan.
"Sebaiknya
kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan."
Kataku. Arifin mengangguk
"Pak
ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas Arifin sambil mengeluarkan
selembar uang ratusan.
"Dan
ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak Ali
"Semuanya
gratis tidak perlu bayar" Kata pemilik kedai. Kami berlima keluar dari
kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan
Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia
seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidak tidaknya dia seorang santri.
Aku
membawa mereka menyusuri jalan Demak lalu putar balik menuju Jalan Purwodadi
ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju
Masjid Al Hilal. Sesampainya di sana,
Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sebslum duduk aku sholat dua
rokaat. Begitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudhuku belum
batal. Mas Arifin juga tidak wudhu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga
wudhu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama
kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di sampingku.
Kami duduk melingkar.
"Baiklah,
siapa nama kalian" tanyaku
"Saya
Bagus Kyai" jawab pemuda yang agk kekar itu.
"Saya
Agus, Kyai" jawab pemda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan
trengginas.
"Panggil
saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... Mengpa paman gurumu itu menyuruh kalian
mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena
guru kami telah Pak Hanief celakai, kami harus menantut balas" jawab Bagus
"Siapa guru kalian itu?, "
"Ki Sastro, di warung kopi itu
" Jawab Agus
"Pulanglah
dan sampaikan kepada pamn guru kalian, aku tidak mencelakainya, banyak
saksinya"
"Kami
tidak berani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami
dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" jawab Agus.
"Kalau
kalian ingin aman dan mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementra
kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di Pesanteren Sidoresmo,
dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah isya'" Kata Mas Arifin