Sholat 5 Waktu

tambah sholat sunnah dan tahajud itu malah lebih baik

Guru Berpengalaman dan Sabar Dalam Pengajaran

Siswa - Siswi yang berdedikasi tinggi dan bermotivasi tinggi dalam pembelajaran

Kesabaran Yang Tiada Henti

Tak selamanya hidup ini abadi , hanyalah "perubahan" yang tidak akan berhenti karena sebuah perubahan itu kekal

Rumah kita sendiri

layaknya istana pribadi bila semua kita iklhasi

Pendidikan perlu keimanan

Hidup tanpa iman, sama halnya berjalan menyusuri kegelapan tana arti

Minggu, 04 Oktober 2015

AKU BUKAN KYAI 5

AKU BUKAN KYAI 5
Episode: Surban Sang Kyai

Jam empat sore aku dan Cak Ali ke rumah Kyai Saiful Bachri. Ternyata abah Kyai tidak ada, menurut salah seorang santrinya abah Kyai sedang kirim terpal ke ke Balai Kota. Sebab besok malam akan ada istighotsah dan sholawat bersama Habib Syaech. Maklum selain juragan terpal Abah Kyai juga panitia pengarah yang dibutuhkan nasehatnya. Akhirnya aku dan Cak Ali meluncur ke jalan Demak untuk minum jus duren disana. sesampainya di sana aku segera mencari tempat duduk yang nyaman, sedangkn Cak Ali yang pesan.
 Ada beberapa meja yang kosong, aku memilih meja dengan dua kursi dekat pintu masuk agar dapat mengawasi sepeda yang aku parkir. Di kedai ini parkir gratis, tapi kalau lengah justru bisa menjadi mahal. Selesai pesan Cak Ali duduk di kursi depanku di batasi meja menghadap keluar menikamati lalu lalang kendaraan jalan Demak. Tidak lama Cak Ali duduk, seorang pemuda datang membawa dua gelas jumbo jus duren dan meletakkanya di depan kami. Cak Ali mengaduk isi gelas sambil berkata pelan,
"Sepertinya dari tadi sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
“Ya, dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu juga ya Kang"
"Ya, aku yakin, karena mereka ikut belok ketika kita ke rumah Kyai"
"Siapa mereka kang"
"Nanti kita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang mereka menyeberang ke sini"
"Biarkan saja, kita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak lama kamudian aku mendengar suara motor parkir dan aku menoleh. Ternyata benar. Merekaa parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak masuk tapi memilih meja di luar yang berada dua meja di belakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan garak gerik mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat pesanan.
Tidak lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sejak mereka duduk hatiku merasa tidak enak dan was-was. Di hati aku membaca wirid dan berdoa. Karena degup jantungku terasa agak keras aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka. Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian daripada hanya cuci muka, toh juga sama-sama basah. Selesai berwudhu hatiku merasa tenang, lalu kembali ke tempat dudukku. Cak Ali tampak sedang menikmati tahu petis dan lombok di tangan kirinya. Aku segera menjauhkan mangkuk kecil berisi lombok itu dari jangkauan Cak Ali. Kuatir dihabiskan karena Cak Ali punya masalah lambung. Tiba-tiba gelas kami bergetar. Aku segera membaca laquah dan menyentuh gelasku. Gelaskupun diam kembali. Gelas Cak Ali tiba-tiba pecah jadi dua di atas meja disertai suara dua orang terjengkang dari kursi dibelakangku. Cak Ali segera mengepalkan lengannya tapi aku mencegahanya dan menyuruhanya tetep tenang. Orang yang berada di kedai pun serentak berdiri memandang ke arah suara dua orang tadi yang sepertinya terpental bersama kursinya satu meter dari tempat semula. Aku menoleh ke arah mereka, tampak beberapa orang membantunya berdiri. Rupanya mereka berdua pingsan.
Orang-orang pun ribut. Ada yang mengusulkan lapor polisi, ada yang mengusulkan panggil ambulan karena keracunan. Tapi pemilik kedai minta untuk tidak lapor polisi atau pnggil ambulan. Kuatir masalahnya tambah panjang dan kedainya tidak laku. Disuruhnya para pegawai untuk membawa mereka masuk untuk dipanggilkan adiknya yang katanya dokter di Karang Menjangan. Saat para pegawai kedai dan beberapa pelanggan membantu membawa mereka masuk, seorang pemuda dua puluh limaan berpakaian koko dan berwajah bersih ganteng menghampiriku dan Cak Ali sambil tersenyum.
"Mereka tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau boleh saya memperkenalkan diri saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku Ipin," Katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan mnyebuntukan nama kami masing-masing.
"Tolong jangan ada yang lapor polisi, mereka tidak keracunan, mulutnya tidak keluar busa. Hanya sedikit darah dimulutnya. Hari ini samua gratis. Sekli lagi tolong jangan ada yang lapor polisi" kata pemilik kedai.
"Tidak apa-apa Pak, tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air mineral" kata pemuda ganteng yang bernama Ipin.
Pemilik kedaipun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan menuangkannya di telapak tangan kanannya. Setelah beberapa detik air itu lalu dicipratkan ke muka mereka. Begitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Merekaa mencoba bangun tapi sepertinya tak mampu menahan sakit di dadanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Hey Cak ! Iki karepmu dhewe opo kongkonan, ayo ngaku !" Cak Ali menghardik. Mereka bukanya segera menjawab tapi kedua tanagn merekaa memegangi leher masing-masing dengan mata mendelik seperti orang dicekik. Melihat itu Arifin segera memegang kedua ubun-ubun mereka. Tanganya bergetar.
"Pak Hanief, Pak Ali tolong lakukan sesuatu, orang ini dicekik jarak jauh" Kata Arifin. Aku segera membaca laquah dan meniru meletakkan tanganku diatas telapk tangan Arifin di atas ubun-ubun  mereka. Kedua orang yang tercekik itu kini melepaskan tanagn mereka dari leher masing-masing dan menyatukan kedua celah jari-jari  tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat kamit. Tidak lama kamudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin megangkat tangannya. Akupun mengikutinya.
"Terima kasih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief. Paman guru yang menyurhnya"
Karena orang-orang  di kedai berkerumun mengelilingi, aku merasa tidak enak dijadikan tontonan.
"Sebaiknya kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan." Kataku. Arifin mengangguk
"Pak ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas Arifin sambil mengeluarkan selembar uang ratusan.
"Dan ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak Ali
"Semuanya gratis tidak perlu bayar" Kata pemilik kedai. Kami berlima keluar dari kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidak tidaknya dia seorang santri.
Aku membawa mereka menyusuri jalan Demak lalu putar balik menuju Jalan Purwodadi ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju Masjid Al Hilal.  Sesampainya di sana, Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sebslum duduk aku sholat dua rokaat. Begitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudhuku belum batal. Mas Arifin juga tidak wudhu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga wudhu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di sampingku. Kami duduk melingkar.
"Baiklah, siapa nama kalian" tanyaku
"Saya Bagus Kyai" jawab pemuda yang agk kekar itu.
"Saya Agus, Kyai" jawab pemda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan trengginas.
"Panggil saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... Mengpa paman gurumu itu menyuruh kalian mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena guru kami telah Pak Hanief celakai, kami harus menantut balas" jawab Bagus
"Siapa guru kalian itu?, "
"Ki Sastro, di warung kopi itu " Jawab Agus
"Pulanglah dan sampaikan kepada pamn guru kalian, aku tidak mencelakainya, banyak saksinya"
"Kami tidak berani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" jawab Agus.
"Kalau kalian ingin aman dan mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementra kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di Pesanteren Sidoresmo, dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah isya'" Kata Mas Arifin
"Terima kasih Kyai"
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adaalah Kyai muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren magelang.
"Baik Mas, terima kasih"e
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, jg nanti di pesantren. KAlian bukan santriku tapi temanku" kata Mas Arifin wibawa sekli.
"Maaf Pak Hanief, kalau saya boleh tahu siapakah guru Pak Hanief dan dari pesantren manakah, sebab maaf kalau saya tidak salah tadi yang diamalkan Pak Hanief adalah wirid laquah yang sudah lama menyatu sehingga luar biasa pengaruhnya..mungkin setingkat atau lebih tinggi dengan Abahku" Tanya Mas Arifin dengan sopan.
Aku gelagepan karena dia tahu wirid yang aku baca. Aku sadar sedang berhadapan dengan orang Alim meski umurnya jauh lebih muda dariku
"Ah Mas Ipin bisa saja, saya kan bukan Kyai tidak pantas dibandingkan dengan abah Mas Ipin, saya di ajari guru saya Kyai Ahmad Shofi Al Marhum pengasuh pesantern Al Amien Pekalongan saat saya kelas dua Tsanawiyah. Kebetulan beliau tetangga dan teman almarhum ayahku" Jawabku.
"Kyai Ahmad Shofi Pekalongan, sepertinya aku pernah dengar dari abahku" kata Mas Ipin sambil manggut-manggut. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Dua hari kemudian. Setelah isya' jam delapan Mas Ipin datang di Masjid Al Hilal. Tidak sendirian, tapi bersamaa seorang bapak yang kira-kira berusia lima puluhan. Pakaian dan celananya serba putih, begitu pula dengan tutup kepalanya. Di pundak kananya berhias surban warna hitam berumbai benang perak. Sangat gagah dan wibawa. Kami berempat segera berdiri menyambut merekaa.
"Assalamualaikum" Aku mendahului mengucapkn salam kepada mereka. Mereka menjawab sambil mengulurkan tangan.
"Dimas Hanief ya?" Kata Kyai sambil menjabat tanganku.
" Nggih Abah Kyai," Jawabku sambil mengangguk takzim.
"Panggil Mas saja, usia kita kan cuman terpaut sedkit, lagi pyla saya jug pernah jadi santrinya Romo Kyai Shofi, gurunya dimas, meski hanya beberarpa bulan sebelum berangkat ke Banten"
"Dimas, saya tidak bisa lama-lama karena jam 10 malal ini ada pengajiann di Gresik, sebagai takzim saya kepada guruku Kyai Shofi terimalah surban ini samoga bermnfaat" katanya
"Oh ya Pak Hanief Pak Ali, saya akan senang jika panjenengan tgl 25 Rajab berkenan hadir ke Magelang" kata Mas Arifin
"Usahakan datang Dimas, saya ingin ngobrol banyak dengan dimas" kata Abah Kyai
" Insaya Allah, dengan senang hati kami akan datang"Jawabku.

" Baiklah kami permisi dulu, assalamu'alakum" Pamit Kyai. Setelah bersalaman mereka masuk mobil diikuti Agus dan Bagus. Setelah mobil mereka jalan,aku dan Cak Ali menuju sepeda motor yang kami parkir. Kini Cak Ali mengendarai satria. Sepeda motor milik bagus itu telah dijual kepada Cak Ali untuk bekall di Magelang. Kebetulan saat itu BPKB di bawa di Jok karena  barusaja ditebus dari Pegadaianl. Jadi Cak Ali mau membdlinya dengan harga yang pantas. Aku tersenym melihat Cak Ali nangkring di atas Satria. Sepeda itu terlalu kecil untuknya yang gendut. Eh salah, montok. (kuatir dia protes lagi karena tidak suka dikatain gendut ).