Sholat 5 Waktu

tambah sholat sunnah dan tahajud itu malah lebih baik

Guru Berpengalaman dan Sabar Dalam Pengajaran

Siswa - Siswi yang berdedikasi tinggi dan bermotivasi tinggi dalam pembelajaran

Kesabaran Yang Tiada Henti

Tak selamanya hidup ini abadi , hanyalah "perubahan" yang tidak akan berhenti karena sebuah perubahan itu kekal

Rumah kita sendiri

layaknya istana pribadi bila semua kita iklhasi

Pendidikan perlu keimanan

Hidup tanpa iman, sama halnya berjalan menyusuri kegelapan tana arti

Kamis, 15 Januari 2015

PAK TUA



Pak Tua

Setengah dua di warung kopi...
Aku kaget bukan kepalang hingga gelas yang telah Aku angkat kuletakukan kembali, orang tua berbaju takwa tanpa tutup kepala dengan rambut dan jenggot yang telah beruban menatap tajam dan membentakuku.
" Hai mau pamer ya, mantra apa yang kamu baca?" 
Aku hanya melongo diam karena bingung tidak tahu yang di makusudkan.Belum habis kagetku tiba-tiba gelas yang baru saja kuletakukan pecah disertai suara yang cukup keras seperti dipukul sesuatu. Kopi panas itu menciprat mengenai beberapa orang di sekelilingku tapi anehnya tidak setitik pun yang mengenai baju maupun sarungku. Seperti dikomando semua orang yang duduk di sekeliling warung itu berdiri dan mundur beberapa langkah kecuali orang tua yang duduk beberapa langkah di samping kananku. Aku tidak paham mengapa orang tua itu marah-marah dan menudingku. Tampak dua orang bapak yang telah mengenalku mendekat untuk mencoba melerai, tetapi kurang dua langkah dari Pak Tua itu tiba-tiba mereka terjengkang seolah-olah ada tenaga yang mendorongnya. Padahal Pak Tua masih tetap duduk dan hanya mengibaskan tangan kananya.
"Jangan ikut campur !" kata Pak Tua sambil menuding kedua orang tadi yang masih terjengkang. Aku tidak sadar kapan berdiri, tiba-tiba aku telah mengulurkan tangan membantu mereka untuk bangun.
"Kurang ajar ditanya orang tua belum jawab malah pamer" suara orang tua itu taMbah keras dan berdiri menatapku, kedua tanganku masih dijadikan pegangan oleh kedua bapak yang Aku bantu berdri tadi. Tampak Pak Tua mengibaskan kedua tanganya ke arah kami. Bersama kibasan tangan Pak Tua aku merasakan ada gelombang angin yang menuju kearah kami. Kedua tanganku merasakan taMbah berat karena kedua bapak tadi taMbah erat berpegangan agar tidak terpental. Spontan aku mngucapkan laa haula walaa quata illa billah sambil menarik mereka. Aku tidak mnyangka ucapanku itu membalikkan glombang angin dengan kekuatan berlipat. Tiba-tiba terdengar suara gelas batol dan piring pecah serta meja yang ambruk, ternyata Pak Tua jatuh terpental dengan sangat keras menimpa meja warung cak Parlan. Dia segera bangkit dengan sempoyongan sambil memegangi dadanya lalu menyeka darah yang meleleh dari sela-sela bibirnya. Kemudian secepat kilat dia melompat dan tahu-tahu sudah berada tepat dua langkah di depanku. Kedua bapak tadi melepaskan tanganku dan mundur beberapa langkah. Aku bingung tidak tahu apa yang harus kuperbuat, Belum sempat aku berpikir banyak, kedua tanganya telah mencengkeram baju di dadaku dan berusaha mengangkatku dengan segenap tenaganya. Anehnya aku tidak tergerak sama sekali. Dia juga berusaha mendorongku tetapi aku juga tidak tergerak. Ada rasa panas di dadaku, Akupun akhirnya berteriak dengan keras,
" Cukup ! Hentikan ". Aku berkata demikian karena takut dan merasa dadaku panas oleh cengkeraman tangannya. Bersamaan dengan selelesainya teriakuanku Pak Tua melepaskan cengkeramannya dan terduduk dlosor seperti orang yang kecapean luar biasa hingga bajunya basah kuyup oleh keringatnya. Tiba-tiba semua orang yang tadi hanya diam saja serentak menyerbu dengan membawa batu, kayu, botol dan alat lain untuk mengeroyoknya. Dan ketika mereka telah dekat aku seperti tersadar. "Berhenti " teriakuku dengan keras, mereka pun menghentikan lagkahnya.
"Akan lebih baik kalo bapak-bapak dan saudara membantu Cak Parlan menata warungnya" demikian kataku dg lantang. Mereka pun akhirnya mengalihkan perhatian ke warung Cak Parlan yg berantakan.
Cak Jo yang di KTPnya menggunakan nama Muhammad Bejo Hayat Darroin tukang jahit tetanggaku sebelah rumah yg dulu prnah mondok selama 4 thn di pesantren kediri itu mnghampiriku lalu brbisik
"Om, bagaimna dengan Pak Tua ini".
Dia memanggilku Om bukan berarti umurnya lebih muda dariku tetapi kaerna ketiga anaknya memanggilku Om.
Aku segera memandang ke arah Pak Tua yang diam lemas lunglai. Aku sentuh pundak kirinya dengan hati-hati karena takut kalau tiba-tiba menyerang lagi. Tetapi begitu pundaknya tersentuh tanganku ia justru kaget seperti orang yang baru tertidur dan buru-buru sjud di depan telapak kakiku. Hanya saja memang dulu ngajiku di pesantren waktu masih SD, Tsanawiyah sampai Aliyah. Itu pun karena disamping rumahku persis adalah Pesantren yang cukup terkenal. Banyak santri dari luar daerah yang mondok dan kalau hutang makan di warung nenekku. Mereka membayarnya kalau sudah dapat kiriman..(Ah kok taMbah ngelantur ceritanya, emang siapa yang tanya).
“Maaf pak, saya bukan kyai, saya Hanif... Berdirilah pak, sujud hanya untuk Tuhan, untuk Allah, bangunlah Pak," kataku sambil memegang kedua pangkal lengannya dan mengangkatnya agar berdiri. Pak Tua pun berdir tetapi wajahnya tetap memandang ke arah kakiku.
Aku menoleh ke arah Cak jo dan minta tolong untuk diambilkan sbotol air mineral karena melihat Pak Tua ini kelihatan letih.
" Cak No sampaikan juga ke cak Parlan nanti kerusakannya saya yang ganti "
" Maaf kyai, biar saya yang ganti" kata Pak Tua lalu merogoh saku bajunya, kemudian menyodorkan puluhan lembar uang pecahan ratusan dan lima puluhan ribu ke Cak No,ia tadak segera menerima uang dari Pak Tua itu tetapi melihat ke arahku seolah minta persetujuanku. Aku menggelengkan kepala. Merasa uangnya tidak diterima oleh Cak No, Pak Tua membalikkan badan berjalan ke warung. Orang-orang yang sedang sibuk membantu Cak Parlan  warungnya yang berantakan menghentikan kegiatannya melihat Pak Tua yang berjalan ke arah meja yang sedang ditata.
"Bapak-bapak dan saudara maafkan kesalahan saya, terutama mas Parlan yang dagangan dan mejanya rusaku, mohon ini diterima sebagai ganti dan tanda penyesalan serta permohonan maaf saya" kata Pak Tua kemudian meletakkan semua uang yang ada ditanganya di atas meja. Cak Parlan mengambil 5 lembar uang ratusan ribuan dan mengembalikan sisanya kepada pak tua, tetapi Pak Tua tidak mau menerimanya. Pak Tua kembali menemuiku, ia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dan segera dijabat dengan erat. Tetapi aku segera melepaskanya ketika ia hendak mencium tanganku.
 " Saya Sastro Adijoyo, orang di kampungku dan murid-muridku memanggilku Mbah Satro, saya dari Lumajang, Kyai" kata Mbah sasto yang akhirnya memperkenalkan diri.
"Jangan panggil saya kyai Mbah,.. Panggil saja Hanif, saya bukan kyai, saya tidak punya pesantren, masjid maupun santri "
"Baiklah kyai, mulai sekarang aku adalah santrinya Kyai,... mohon diterima kyai " kata Mbah Sastro sambil membungkuk layaknya murid kepada guru. Aku jadi tambah bingung, ini pasti orang gendeng, tidak waras, pikirku. Tiba-tiba dari corong masjid terdengar solah-solah pertanda sebentar lagi Shubuh. "Maaf Mbah saya harus pulang bersiap-siap ke masjid untuk sholat shubuh, dan maaf, kalau boleh tahu Mbah di sini tinggal di mana?"
"Saya menginap di hotel seberang jalan itu Kyai,"
" Ooo,..kalau Mbah berkenan sholat jama'ah shubuh, Mbah bisa ke masjid di dalam gang itu, dan rumah saya tiga rumah sebelum masjid, nomor 12"
" Tapi saya sudah lupa sholat Kyai, sejaku umur 17 tahun saya sudah tidak sholat lagi, sudilah kiranya kyai mengajari saya" Aku terdiam karena kaget mendengar pengakuanya. Ada rasa nelangsa direlung hatiku yang paling dalam. Aku hampir menitikan air mata karena haru. Orang tua yang telah senja ingin belajar sholat, subhanallah...! Aku segera menenangkan diriku dengan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dengan pelan.
"Baiklah Mbah kapan pun Mbah mau belajar sholat, saya siap bantu. Tapi syaratnya satu, jangan panggil aku kyai " setelah aku diam sebentar dan menatapnya dengan tajam untuk meyakinkan bahwa aku tidak suka dan risih dipanggil kyai.
"Sekarang silahkan Mbah bersiap-siap sholat shubuh, ucapkan bismillah ketika mandi dan niatlah bertobat, resapilah air yang mengalir seolah membersihkan setiap noda agar kita senantiasa ingat dosa kita,... Saya pamit dulu Mbah, sampai ketemu di masjid"
"Mbah ?!"
" Ma... maaf kyai, eh nak Hanif"
Kami bersalaman kemudian berpisah... Tapi warung Cak Parlan tambah ramai karena Yu Siti yang cantik telah menggelar dagangannya. Ketan dan tiwul. Sampai sholat shubuh selesai Aku tidak melihat Mbah Sastro. Mungkin dia belum siap benar untuk memulai sholat lagi. Atau mungkin dia merasa sangat capek, aku tidak tahu pasti. Ah, coba saja aku tunggu sabil membaca surat al waqi'ah, tabarok dan yasin. Surat yang aku baca setiap shubuh dan ashar bahkan setelah maghrib sambil menunggu isya. Sejak Mts aku memang senang membaca ketiga surat itu hingga hafal aku suka membaca ketiga surat itu karena ibuku dulu ketika masih hidup suka membacanya dan aku menyimakku kemudian turut membacanya. Aku hanya tidak ikut membaca bersama ibu kalau di TVRI ada acara kethoprak, karena selepas isaya aku sudah berada di rumah pak carik agar nanti dapat tempat untuk nonton dan dekat dengan TV. Makulum pak carik tv nya paling besar dan satu-satunya TV yang berwarna di kampungku membuat warga berdesak-desakan menonton di rumahnya. Sudah separuh Aku membaca surat al waqiah Mbah Sastro belum juga datang. Ketika aku sampai pada ayat nahnu qoddarna bainakumul mauta wama nahnu bimasbuqien (ayat ke 60), Aku mendengar seseorang memberi saalm dan masuk masjid. Aku menjawab salam dan menoleh, ternyata Cak Parlan. Ia pun segera duduk bersila dihadapanku dan berkata pelan karena takut mengganggu orang-orang yang sedang khusuk berdoa dan mengaji. ." "Mas hanif, tadi saat adzan subuh ada kecelakaan di depan hotel, korbanya Pak Tua, dia meninggal di tempat. ini uangnya yang tadi malam, saya serahkan mas hanief, saya takut "  cak Parlan merogoh saku bajunya tapi aku segera berdiri dan bergegas keluar sambil memberi kode dengan menunjuk kotak infak yang berada didekat pintu masjid.
TAMAT.