TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK
PROF.DR.
HAMKA
Pulau
Pandan jauh di tengah,
di
balik pulau Angsa Dua.
Hancur
adik dikandung tanah,
rupa adik terkenang
jua.
Bang Muluk! ....... cinta
saya kepada Hayati masih belum rusak, walau sebesar rambut
sekalipun!"
Muka Muluk merah
mendengar perkataan Zainuddin itu. Dengan gugup dia berkata: "Saya tak
mengerti dengan perangai
guru! Selama ini guru meratap, menangis, bersedih, bersedu
mengenang Hayati.
Sekarang setelah diluangkan Tuhan kesempatan pertemuan yang sah
diantara guru dengan dia,
guru hukum dia dengan satu hukuman, yang usahkan terbit dari
seorang laki-laki yang
bercinta dan berbudi, dari hakim yang zalim sekalipun, tidak akan ada
hukuman sebagai demikian
itu. Sekarang setelah dia pergi, baru guru mengatakan bahwa guru
tetap cinta akan dia!
Guru jangan marah, jika saya katakan bahwa kadang-kadang perangai
guru masih serupa dengan
perangai anak-anak".
"Ya bang Muluk! Saya
sudah salah, hati dendam saya dahulukan dari ketenteraman cinta. Terus
terang saya katakan,
kalau tidak ada Hayati lagi di sini, saya akan sengsara, terus!"
"Diapun demikian!
Berat betul langkahnya hendak mening galkan rumah ini. Sampai ketika akan
berangkat pesannya masih
disuruh sampaikannya kepada guru, bahwasanya nama gurulah
yang akan menjadi
sebutannya di manapun dia. Inilah surat yang disuruhkannya berikan!"
Zainuddin membuka surat
itu dengan penuh perhatian dan dibacanya:
Pergantungan jiwaku,
Zainuddin !
Kemana lagi langit
tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin.
Apakah artinya hidup ini
bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!
Sungguh besar sekali
harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dengan
segenap daya dan upaya,
supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa
makbul. Supaya dapat
segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap
kepada dirimu saya
tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, sebab
engkau sendiri yang
menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk sebab engkau
hendak mencurahkan segala
dendam kesakitan yang telah sekim lama bersarang di dalam
hatimu, yang selalu
menghambat-hambat perasaan cinta yang suci. Lantaran membalaskan
dendam itu, engkau ambil
suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali
pengharapanku, pada hal
pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu
percayalah Zainuddin,
bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia
menimpakan celaka
kepadaku saja; tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya, bahwu
engkau masih tetap cinta
kepadaku.
Zainuddin! Kalau saya tak
ada, hidupmu tidak juga akan beruntung, percayalah !
Di dalam jiwaku ada suatu
kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya, dan kekayaan
itu belum pernah
kuberikan kepada orang lain, wulaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta.
Saya tahu bahwa engkau
keku nangan itu. Saya merasa bahwa saya sanggup memberimu
bahagia pada tiap-tiap
saat hidupmu, yang tiada seorang perempuan agaknya yang sanggup
menandingi saya di dalam
alam ini dalam kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu
digiling oleh sengsara
dan kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan. Dan kalau
sedianya engkau kabulkan,
kalau sedianya engkau terima kedatanganku, saya pun tidak
meminta upah dan balasan
dari engkau. Upah yang saya harapkan hanyalah diri Dia, Allah Yang
Maha Esa, supaya engkau
diberinya bahagia, dihentikannya aliran air matamu yang telah
mengalir sekian lama.
Upahku yang kedua, yang saya harapkan dari pada-Nya hanyalah supaya
saya dapat hidup di
dekatmu, laksana hidupnya sebatang rumput sarut di bawah lindungan
pohon beringin dengan
aman dan sentosa, dipuput oleh angin pagi yang lemah gemulai
..............
Zainuddin! .......
Mengapa engkau tak suka memaafkan kesalahanku? Demi Allah! Sudah insaf
saya, bahwa tidak ada
seorang pun yang pernah saya cintai di dalam alam ini, melainkan
engkau seorang. Tidak
pernah beroleh tenteram diriku setelah aku coba hidup dengan orang
lain. Orang yang telah
mengecewakan dirimu itu yang sekarang telah insaf dan telah
menghukum dirinya
sendiri, meskipun dia sanggup memperoleh tubuhku, dia selamanya belum
sanggup memperoleh
hatiku. Karena hatiku telah untukmu sejak saya kenal akan dikau.
Kalau sedianya engkau
maafkan kesalahanku, engkau lupakan kebebalan dan kecongkakan
ninik mamakku,
kalau....... kalau sekiranya maafmu memberi izin mimpimu sendiri terkabul;
kalau sedianya semuanya
itu kejadian, engkau akan beroleh seorang perempuan yang masih
suci batinnya, suci
jiwonya, belum penah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas
orang, yang tidak ada
bedanya dengan 'Permatamu yang hilang', dan dengan gadis Batipuh
yang engkau cintai 2 dan
3 tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar tulismu!
Piala kecintaan terletak
di hadapan kita, penuh dengan madu hayat nikmat Ilahi: Air
madu itu telah tersedia
di dalamnya untuk kita minum berdua biar isinya menjadi kering, dan
setelah keeing kita telah
boleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita
mati dengan bahagia
sebagaimana hidup telah bahagia. Tiba-tiba dengan tak merasa kasihan,
engkau sepakkan piala itu
dengan kakimu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya
pecah. Lantaran itu, baik
saya atau engkau sendiri, meskipun akan masih tetap hidup, akan
hidup bagai bayang-bayang
layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan
penuh was-was dan
penyesalan.
Apa sebab engkau begitu
kejam, tak mau memberi maaf kesalahanku? Padahal telah lebih
dahulu bertimpa-timpa
azab sengsara ke atas diriku lantaran mungkirku! Kelihatan oleh matamu
sendiri bagaimana saya
dan suamiku menjadi pengemis di waktu kayamu, menumpang di
rumahmu untuk
memperlihatkan bagaimana sengsaraku lantaran tak jadi bersuami engkau.
Hilang .... hilang
semuanya. Hilang suami yang kusangka dapar memberiku bahagia. Hilang
kesenangan dan mimpi yang
kuharap-harapkan. Setelah semuanya itu kuderita harus kudengar
pula dari mulutmu sendiri
kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang
sudah nyata kesalahan,
yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertobat kepadaNya, walaupun
bagaimana besar dosa,
akan diampuniNya.
Adakah engkau tahu hai
Zainuddin, siapakah perempuan yang duduk di kamar tulismu kemaren
itu? Yang engkau beri
kata pedih, kata penyesalan yang engkau bongkar kesalahannya dan
kedosaanrtya, yang engkau
remukkan jiwanya dengan tiada peduli?
Perempuan itu tidak lain
dari satu bayang-bayang yang telah hilang segenap semangatnya,
yang telah habis seluruh
kekuatannya, tiada berdaya upaya lagi, habis kekuatan pancaindera
dan perasaannya; matanya
melihat tetapi tak bercahaya, telinganya mendengar, tetapi tiada ia
mafhum lagi apa yang
didengarnya
Yang tinggal hanya
tubuhnya, batinnya sudah tak berkekuatan lagi. Itulah dia perempuan yang
engkau sakiti itu. Itulah
perempuan yang tidak engkau timbang sengsaranya dan ratapnya.
Engkau ulurkan kepadanya
tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris
pembalasan, mengenai
sudut jantungnya, terpancur darah dan akan tetap mengalir sampai
sekering-keringnya,
mengalir bersama dengan jiwanya.
Itulah perempuan yang
engkau sakiti itu!
Tetapi sungguhpun
demikian pembalasan yang engkau timpakan ke atas pundakku,
kesalahanmu itu telah
kuampuni, telah kuhabisi, telah kumaafkan.
Sebabnya ialah lantaran
saya cinta akan engkau. Dan karena saya tahu bahwasanya yang
demikian engkau lakukan
adalah lantaran cinta jua. Cuma satu pengharapan yang penghabisan,
heningkan hatimu kembali,
sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya,
maafkan saya, letakkan
saya kembali dalam hatimu menurut letak yang bermula, cintai saya
kembali sebagaimana
cintaku kepadamu dan jangan saya dilupakan.
Engkau suruh saya pulang
ke kampungku dan engkau berjanji akan membantuku sekuat
tenagamu sampai saya
bersuami pula.
Zainuddin! Apakah artinya
harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada
dekatku?
Saya turutkan permintaan
itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bahwa saya
pulang ke kampungku,
hanya dua yang kunantikan, pertama kedatanganmu kembali, menurut
janjiku yang bermula,
yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, hari berganti musim. Dan
yang kedua ialah menunggu
maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya
bergantung di awang-awang
itu.
Selamat tinggal
Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yang kucintai di dunia ini! Seketika
saya meninggalkan
rumahmu, hanya namamu yang tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak,
engkaulah yang akan
terpatri dalam doaku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat ..........
Mana tahu, umur di dalam
tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau
ziarah ke tanah pusaraku,
bacakan doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna
dari bekas tanganmu
sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkuburnya seorang
perempuan muda, yang
hidupnya penuh dengan penderitaan dan kedukaan, dan matinya
diremuk rindu dan dendam.
Mengapa suratku ini banyak
membicarakan mati? Entahlah, Zainuddin, saya sendiri pun heran,
seakan-akan kematian itu
telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau
berduka hati, melainkan
sempurnakanlah permohonan do'a kepada Tuhan, moga-moga jika
banyak benar halangan
pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat,
pertemuan yang tidak akan
diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi
manusia ..........
Selamat tinggal
Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak
kuucapkan di mulutku dan
agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut
kalimat syahadat, yaitu:
Aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di
dalam
mengenangkanengkau"............
Sambutlah salam dari
Hayati.
Setelah selesai surat itu
dibukanya, dilihatnya Muluk kembali, kiranya kelihatan oleh Muluk
pipinya telah penuh
dengan airmata.
"Bang Muluk !"
katanya beberapa saat kemudian, setelah menyapu air matanya. "Saya akan
berangkat ke Jakarta
dengan kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung
Periuk. Biasanya kapal
dari Surabaya merapat di pelabuhan Tanjung Periuk pukul 7 pagi. Hayati
akan saya jemput kembali,
akan saya bawa pulang ke mari.
"Inilah keputusan
yang sebaik-baiknya guru," kata Muluk. Dia berdiri dari tempat duduknya,
di
dekatinya Zainuddin dan
dibarut-barutnya punggung anak muda itu. Lalu dia berkata pula,
"Mudah-mudahan
berhentilah segala kesedihan tuan-tuan keduanya sehingga ini, dan biarlah
rahmat Allah meliputi
tuan-tuan berdua .......