Sabtu, 28 Februari 2015
MENDUNG MASIH BERSENANDUNG
06.55
No comments
MENDUNG MASIH BERSENANDUNG
“Permisi ,…”
Suara itu menghentikan irisan
lontong balap jalan Kepanjen yang hampir
sampai di mulutnya. Ana meletakkannya
kembali di piring lalu menoleh ke arah datangnya suara di samping kanannya, menggeser duduknya
di bangku depan gerobak. Ia maklum pada jam istirahat seperti siang ini selalu
ramai pembeli.
“Sila……,” Ucapan Ana terhenti,
matanya spontan melotot , mulutnya menganga tanpa ia sadari ketika melihat
lelaki berkemeja biru laut tanpa dasi yang akan duduk di sebelahnya. Ana tidak
percaya dengan penglihatannya, tapi hatinya yakin .
“Mas Sis ?,....” . Tidak kalah
terkejutnya lelaki yang dipanggil tadi hingga ia mengangkat kembali pantatnya
yang hampir sampai di bangku. Ia menatap lekat-lekat wanita yang memanggilnya.
“Ana…….?! Kau….?”
***
“ 11 Agustus
Terima kasih Tuhan, aku benar-benar
bersyukur, doaku selama ini akhirnya
terkabul . Engkau telah pertemukan aku dengan Mas Sis setelah berpisah sebelas
tahun”.
Ana meletakkan pena di atas buku hariannya
yang tinggal beberapa halaman. Ana menarik nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya dengan berat. Ia melirik jam kecil di atas meja tulisnya, setengah tiga
pagi. Tidak lama kemudian penanya diraih kembali.
“Aku merasa bahagia, bukan saja
karena Mas Sis telah tahu selama ini aku telah menjaga cintaku untuknya, aku
bahagia melihat Mas Sis telah berbahagia mempunyai keluarga yang harmonis,
istri yang baik, anak yang lucu dan cantik.,,,,,,,, Tetapi yang terpenting
bagiku Mas Sis telah memaafkan kesalahanku sebelas tahun yang lalu ketika aku
menerima pinangan Mas Farid calon suami pilihan ayahku yang meninggal karena
kecelakaan dua hari setelah Mas Sis pergi tanpa pamit meninggalkanku. Aku tahu
tahu Mas Sis kecewa, itu yang membuat aku merasa bersalah selama ini.....”.
Ana menutup buku hariannya,
meletakkan pena diatasnya kemudian bangkit menuju kamar mandi untuk membasuh
muka, tangan dan kaki. Ana bersujud, mamanjatkan syukur, memohon ampunan dan
ketabahan hati.
***
Siang dua belas seperempat.
Mushola perusahaan Berdikari
Nusantara jalan Veteran itu sudah sepi, para pegawai yang tadi sholat Dhuhur
berjama’ah bersama Pak Sis sudah bergegas mencari makan siang. Hanya pak Tri
yang masih diserambi mushola menuggu Pak Sis yang lama berdo’a.
“Ikan bakar Pak Sis? “ Pak Tri
menawarkan menu untuk makan siang hari ini begitu Pak Sis sudah disampingnya
untuk memakai sepatu.
“Ah, gak “ Pak Sis menggelengkan
kepala
“ Kepanjen?!”
“ Jangan!...... eh maksud saya, kita
makan dikantorku saja, istriku tadi membawakan bothok lamtoro dan peyek udang”
Pak Tri tersenyum, ia tahu temannya
tidak mau makan siang di Kepanjen karena
takut bertemu dengan Ana lagi. Ia mengikuti langkah Pak Sis menuju kantornya.
“Ayolah Pak Sis, masakan istri kan
yang paling enak!” Pak Tri menghentikan suapannya begitu melihat temannya tidak
nafsu makan. Padahal ini adalah menu favoritnya. Pak Sis tidak menjawab, hanya
memandang Pak Tri penuh tanya. Pak Tri mengambil HP Pak Sis yang diletakkan di sebelah piringnya.
“Telpon sajalah………., ayo!” Pak Tri
menyodorkan HP, ia tahu apa yang dipikirkan Pak Sis hingga mengganggu selera
makannya.
“Tuhan mempertemukan kalian kembali
pasti punya alasan, bukan suatu kebetulan atau ketidak sengajaan, telponlah
dia!”
Diraihnya HP dari tangan Pak Tri,
disentuhnya ikon phone book kemudian search Ana, lama Pak Sis terdiam dan hanya
memandang HPnya, tetapi kemudian disentuhnya cancel dan diletakannya kembali.
“Tidak Pak Tri,…. yang masak bothok
lamtoro ini belum penah menyakitiku, dia membuatku hidup kembali, memberiku
Shyfa putriku yang tercinta yang sebentar lagi akan punya adik…… istriku lebih
mencintaiku”
Pak Sis mengambil botok dengan
sendok dan mencampurnya dengan nasi di piringnya. Sejenak tidak ada suara
percakapan, mereka asyik menikmati makan siang hingga bersih tak tersisa. Pak
Sis meraih gelas air putih di samping kanannya dan mereguknya
hingga habis. Tidak lama kemudian Pak Tri yang duduk di depanya berdiri
melangkah menuju kulkas kecil di sudut ruangan kemudian kembali duduk sambil
membuka kemasan air mineral.
“ Jadi Pak Sis yakin tidak akan
menghubungi Mbak Ana lagi?”.
Pak Sis tidak segera menjawab, tidak lama
kemudian ia menggelengkan kepala.
”Aku tidak akan menyakiti diriku dan
isteriku” Pak Sis menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat.
“Pak Sis tidak perlu menyakiti
siapapun, tetapi dengan menghindari Mbak Ana itu berarti menyakiti hati
sendiri dan membuat Mbak Ana merasa
bersalah”
“Mendengar suaranya….., bertemu
dengannya……., justru membuat aku merasa bersalah dan menyesal, mengapa dulu aku
sangat bodoh meninggalkannya tanpa pesan apapun…..” Suara Pak Sis lirih hampir
tak terdengar. Ia sandarkan punggungnya di kursi. Ditatapnya langit ruang
kerjanya lekat-lekat hingga menembus zaman yang telah berputar. Sudah sebelas
tahun, tapi rasanya baru kemarin.
“Percayalah Pak Sis, Tiada senandung
cinta yang terindah kecuali senandung cinta anak isteri kita, “
“Terima kasih Pak Tri, Tapi aku
selalu gugup dan tidak cair bila bertemu Ana, rasanya lebih baik tidak bertemu”
“Itu artinya Pak Sis masih mencintai
Mbak Ana,“
Pak sis diam. Tidak menjawab sepatah
katapun, tetapi hembusan nafasnya yang berat terdengar dengan jelas ditelinga
PakTri.
***
Malam setengah delapan.
Hening, khusuk, hanya sekali-kali
terdengar suara “aamie…n, aaamie…n” dari dari mulut Ulfa dan Syifa. Mereka
mengamini doa sang suami dan ayah tercinta setelah berjama’ah sholat Isya’.
“ Yah, besok doanya jangan panjang
–panjang, Syifa pelutnya lapal!” Protes si kecil sambil mencium tangan ayahnya.
Pak Sis hanya mengangguk dan tersenyum. Diciuminya kedua pipi putrinya dengan
penuh kasih sayang.
“ Ayah tadi minta pada Allah untuk
mama dan Syifa, sekarang lepas mukenanya kita makan,“ Ulfa menjelaskan pada
putrinya ketika Syifa mencium tangannya.
“ Ayah tadi minta apa sih pada
Allah?” Tanya Syifa sambil melepas mukenanya lalu diberikan kepada mamanya.
“Ayah tadi minta agar Allah selalu
sayang pada Syifa, mama dan ayah serta seluruh kaum muslimin” Pak Sis menjawab
sambil mengelus kepala putrinya, kemudian bertanya,
“ Tadi Syifa membaca doa apa?”
“ Tadi Syifa beldoa, Lobbi fillii…..
waliwalidaiya, wal hamhumaa kamaa lobbayaanii shoghilloo…, kata bu gulu kalo
beldoa tidak boleh kelas-kelas, makanya mama sama ayah tidak dengal”.
“ Pinter Anak mama, ayo ke meja
makan, tuh Bu Saroh sudah nyiapin makan ‘
Syifa lari ke ruang makan, duduk
menunggu mama dan ayahnya.
“ Yah tadi ada undangan dari Mbak
Ana, Ahad depan tanggal enam resepsi di Jakarta. Mbak Ana tadi telepon kita dimohon
bisa hadir bersama Syifa “ kata Ulfa kepada suaminya sambil meletakkan mukena
dan sajadah di lemari kecil mushola dalam rumahnya. Pak Sis tidak segera menjawab, Ana tidak tahu
kalau suaminya mengernyitkan kening karena heran mengapa Ana tidak langsung menelepon
dirinya.
“ Insya Allah kita hadiri undangannya,
mama bisa kan?”
“Insya Allah, lagi pula calon adik
Syifa kan baru delapan bula kurang lima hari “ Jawab Ulfa sambil mengelus
perutnya yang buncit.
“ Tadi Mbak Ana juga minta maaf
telah menyiapkan tiket pesawat untuk kita bertiga serta kamar yang tidak jauh dari hall tempat
resepsi di Novotel Inn, agar Syifa tidak capek dan repot, Mbak Ana mohon untuk
tidak ditolak “
”Besok ayah akan telepon Ana untuk
mengucapkan terima kasih, siapa calon suaminya Ma?”
“ Ah masa ayah tidak tahu, Pak Hadi,
akuntan dan mantan dosen mama di Unair dulu”
“ Oh… yang pernah melamar mama dulu
itu ta?”
“
Ah ayah , masih diingat-ingat terus,...tapi cinta mama kan hanya untuk
ayah” Jawab Ulfa sambil mencubit suaminya.
“ Ouw…! “ Pak Sis meringis sakit.
“ Mama……, ayah….., cepetan Syifa
lapal”
***
Sabtu tanggal lima jam setengah
delapan malam .
“ Semua tamu khusus dari luar kota
sudah check in sesuai jadwal, hanya tiga kamar yang belum terisi, semuanya dari
Surabaya. Ketiganya atas nama Bapak Herman Susanto, MBA
, Bapak Haji Abdul Halim M.Ag dan
Bapak Siswanto, SE “ Santi dari Gold
Wedding Organizer menjelaskan perkembangan terakhir pada Ana.
“ Mas Herman jam sebelas nanti baru
datang, beliau akan mampir ke rumah dulu menemui ayah baru kemudian ke
hotel, Pak De Halim besok jam enam pagi tolong dijemput di Senen, beliau naik
kereta karena sekarang masih mampir di Pekalongan”
“ Baik Bu, lalu bagaimana dengan keluarga Pak
Siswanto? “ Santi minta penjelasan. Ana tidak segera menjawab.
“ Sebentar …“ Ana mengambil handphone,
beberapa kali menyentuh layarnya lalu meletakkan di telinganya. Ana
mengernyitkan alis, rupanya tidak ada jawaban. Kembali ia menyentuh layar hand
phone-nya, sama, tidak ada jawaban. Ana menarik nafas. Tiba-tiba pikiranya
merasa tidak enak. Telepon rumah maupun HP Pak Sis tidak bisa dihubungi. Ana
bingung, kepada siapa ia harus menghubungi karena teman-teman yang dari
Surabaya sekarang sudah berada di Jakarta. Padahal Mas Sis, Ulfa dan Syifa
adalah tamu yang paling penting baginya. Ana sangat berharap mereka dapat hadir
pada hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya.
“ Titit,… titit,…titit” Tiba-tiba HP
Ana berbunyi. Ada SMS masuk, Ana segera membukanya.
“ Maaf, td HP trtinggal, kmi mhn
maaf kmi sdh brusha utk dtg tp tuhan brkehndakn lain, kmi dpt msibah saat k
Juanda, kelahiran, kematian dn jodoh ditngn Tuhan, aq, syifa, dan bayi dlm
kandungan slamt, tapi mamanya dipanggil tuhan…”
“Prak!” HP Ana menimpa gelas air minum di meja dan jatuh
kelantai.
“Tolong..!” Sinta menjerit begitu melihat Ana
terkulai di Shofa tidak sadarkan diri…………
Surabaya, 11 Agustus 2005
Untuk sahabatku ‘Rn’,
bahwa Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk umatnya
0 komentar:
Posting Komentar