Bagian dua
"Nah,.. Kalau mau belajar wirid sebaiknya kepada Cak Jo... Dia kan pernah lama nyantri" kataku
"Alah tambah payah, wong Cak Jo sama tikus aja lari terbirit-birit" sahut Cak Ali. Dia memangilnya Cak mad karena memang namanya Muhammad Bejo Hayat Darroin. Isteriku dari muncul, sambil membawa teh hangat sama pisang goreng
"Yah, benang sama kain keras habis, sekalian beli minyak obras. Tinggal sedikit" kata isteriku sambil mltakkan piring dan gelas di dpnku dan Cak Ali.
" Duduk dulu Cak Jo, tak buatkan teh" kata isteriku lalu menuju dapur.
"Gak usah Tannte, mau nganterin undangan dulu ".
"Aku juga pulang saja dulu wong samapean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya.
"Sudah dari tadi Pak?" Tanyaku basa-basi.
" Lumayan Mas, apa itu sepeda sampean" jawab Bapak itu dan balik bertanya sambil menunjuk sepedaku yang aku parkir tidak jauh dari kami duduk.
"Anak gadisnya samabuh dari gangguan mahluk halus hanya dengan disentuh pundakanya, apa Mas tahu rumahanya" tanya bapak tadi
"Oo.. ta tahu Pak... gang empat. Bapak nanti disana tanya saja" jawabku gugup
"Trima kasih Mas, soalnya saya mau kesana, permisi Mas ternyata isteri saya sudah nunggu" kata bapak sambil menunjuk perempuan cantik berjibab di dekat Innova, tanganya banyak membawa belanjaan dari toko sebelah." Akhirnya selesai juga aku belanja. Aku tidak langsung pulang tapi mampir dalu makan lontong balap di kepanjen plus es degan ijo kemudian pulang.
"Assalamualakum" sapaku mendahului.
" Wa'alakum salam, jadi panjenengan to Mas orangnya, maaf ya Mas saya tidak tahu"
"Sama-sama Pak, monggo Pak masuk"
"Begini Pak.." Kata abah agak kikiuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" jwbku
"Bgini Mas, ada lukisan denganerai saya yang aneh, lukisan seorang prempuan ..." tamukui mmperkenalkan diri, namanya Pak haji jakfar. Dan isterinya bu hajjah rahma. Akupun memanggilnya Abah dan umi. Selain pengusaha konfeksi ternyata abah adalah guru seni rupa di skolah SAMAK Muhammadaiyah. Abah juga mmpunKyai gerai seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikiuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" jwbku
"Begini Mas, ada lukisan di gerai saya yang aneh, lukisan seorang perempuan ..."
"Sudah 3 kali dibeli orang tapi dikembalikan, mereka takut. Aku diminta mengambilnya kembali tapi uangnya gak mau saya kambalikan. Padahal terahir laku 18 juta"
"Enak lah bah, rejeki nomplok " jawabku sekenanya.
"Bukan begitu Mas... Aku kok mrinding mau certa, lihat Mas buluku mengkorok semua".
"Katanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramkan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak percaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam, ya tidak berubah, tetep lukisan wanita cantik. Dan kamaren malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali, tapi supirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"
"Benar bah, saya bukan dukun, juga bukan Kyai, saya penjahit seperti yang abah lihat"
"Lalu menurut Mas Hanief bagaimana dengan lukisan itu" Tanya umi
"Saran saya dimusnahkan saja, daripada nanti disalah gunakan oleh orang, bagaimana menurut abah?"
"Tapi abah sudah menjualnya kan? berarti itu sudah bukan milik abah lagi"
"Benar Mas Hanief, saya setuju. Bah uangnya juga esbaiknya dikasih ke yatim atau masjid saja ya bah, lagi pula lukisan itu berbahaya Bah" Kata isterinya menyela.
" Baiklah saya setuju, terima kasih atas sarannya Mas, sepulang ini akan langsung saya bakar" Kata Abah.
" Hai lakanatullah keluarlah kembali ke asalmu " Kata Cak Ali sambil mengepalkan tangan kanannya yang berhias akik hitam. Lukisan itu diam. Tiba-tiba pegawai perempuan bercelana jean dan berjilbab yang tadi mengantar kami menjerit lalu menggeram dan melotot ke arah Cak Ali. Entah bagaimana dia mendekat tiba-tiba tangannya sudah menyerang dan memukul wajah Cak Ali. Meskipun agak Gendut ternyata Cak Ali lincah juga. Dengan menggeser kakinya kesamping pukulan itu mngenai tmpat kosong, dan...
"Sudah lah Cak gak usah menduga-duga, kita bersyukur saja kepada Allah yang telah melindungi kita"
"Seapertinya dari tada sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
"Ya, dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu juga Kang"
"Ya aku yakin, karena mereka ikut belok ketika kita ke rumah Abah Kyai"
"Nanti kita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang mereka menyebrang kesini"
"Biarkan saja, kita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak lama kemudian aku mendengar suara motor parkir dan menoleh. Ternyata benar. Mereka parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak masuk tapi memilih meja diluar yang berada tepat dua meja dibelakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan gerak-gerik mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat apa yang dipesan. Tidak lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sajak mereka duduk hatiku merasa tidak enak dan was-was. Dalam hati aku membaca wirid dan berdoa, karena degup jantungku terasa agak cepat aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka. Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian dairpada cuman cuci muka, toh juga sama-sama basah.
"Mereka tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau boleh saya memperkenalkan diri, saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku Ipin," katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan menyebutkan nama kami.
"Tidak apa-apa Pak tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air mineral" Kata pemuda ganteng yang bernama Ipin. Pemilik kedai pun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan menuangkannya di telapak tangan kananya. Setelah beberapa detik air itu lalu dicpratkan ke muka mereka. Bgitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Mereka mencba bangun tapi sepertinya tak mampu menahan sakit di didanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Pak Hanief, Pak Ali tolong lakukan sesuatu orang ini dicekik jarak jauh" kata Arifin. Aku segera membca laquah dan meniru meletakan tangnku di atas telapk tangn Arifin di atas ubun-ubun mereka. Kedua orang yang tercekik itu kini melepaskan tangasn mereka dari leher masing-masing dan menyatukan kedua celah jari tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat kamit. Tidak lama kemudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin mengangkat tangannya. Akupun mengikutinya.
"Trima ksih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief, paman guru yang menyuruhnya
"Sebaiknya kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan." Kataku. Arifin mengangguk
"Pak ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas Arifin sambil mengeluarkan selembar uang ratusan.
"Dan ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak Ali
"Semauanya gratis tidak perlu bayar" kata bapak pemilik kedai. Kami berlima keluar dari kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidaknya dia seorang santri. Aku membawa mereka menyusuri Jalan Demak lalu putar balik menuju Jl. Purwodadai ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju Masjid Al Hilal. Sesampainya disana, Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sblum duduk aku sholat 2 rokaat. Bgitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudluku belume batal. Mas Arifin juga tidak wudlu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga wudlu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di samapingku. Kami duduk melingkar. "Baiklah, siapa nama kalian" Tanyaku
"Saya Bagus Kyai" Jawab pemuda yang agak kekar itu.
"Saya Agus, Kyai" Jawab pemuda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan trengginas.
"Panggil saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... Mengapa paman gurumu itu menyuruh kalian mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena guru kami telah Pak Hanief celakai, kami harus menuntut balas" Jawab Bagus
" Siapa guru kalian itu, " Jawabku
"Ki Sastro, di warung kopi itu " Jawab Agus
"Kami tidak berani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" Jawab Agus.
"Kalau kalian mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementara kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di pesanteren Sidoresmo, dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah Isya’' kata Mas Arifin
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adalah Kyai Muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren Magelang.
"Baik Mas, terima kasih"
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, juga nanti di pesantren. Kalian bukan santriku tapi temanku" Kata Mas Arifin wibawa sekali.
"Kyai Ahmad Shofi pekalogan, sepertinya aku pernah dengar dari Abahku" Kata Mas Ipin sambil manggut manggut.
"Assalamualaikum" Aku mendahului meangucapkn salam kepada mereka. Mereka menjawab sambil mengulurkan tangan. "Dimas Hanief ya?" Kata Abah Kyai sambil menjabat tanganku.
" Nggih Abah Kyai," jawabku sambil mengangguk takzim.
"Panggil Mas saja, usia kita kan cuman terpaut sedkit, lagi pula saya juga pernah jadi santrinya Abah Kyai Shofi, gurunya dimas meski hanya beberapa bulan sebelum berangkat ke Banten" Katanya, sabil menepuk-nepuk pundakku, lalu katanya;
"Dimas, saya tidak bias lama-lama karena jam 10 mlm ini ada pengajian di Tuban, sebagai takzim saya kepada guruku Kyai Shofi terimalah surban ini samoga bermanfaat" katanya
"Usahakan datang Dimas, saya ingin ngobrol banyak dengan Dimas" Kata Abah Kyai
" Insaya Allah, dengan senang hati kami akan datang" Jawabku.
" Baiklah kami permisi dulu, assalamu'alakum" kata kata Kyai. Setelah bersalaman mereka masuk mobil diikuti Agus dan Bagus. Setelah mobil mereka jalan, aku dan Cak Ali menuju seepda motor yang kami parkir. Kini Cak Ali mengenadrai Satria. Sepeda motor milik Bagus itu telah dijual kepada Cak Ali untuk bekal di Magelang. Kebetulan saat itu BPKB di bawa di Jok habis ditebus darr rental. Jadi Cak Ali mau membelinya dengan harga yang pantas. Aku tersenyum melihat Cak Ali nangkring di atas satria. Seped itu terlalu kecil untuknya yang Gendut. Eh salah, montok.(kuatir dia protes karena tidakk suka dikatain Gendut ) Cak Ali memacu sepdanya semakin kencang ke Jalan Indrapura. Aku mengikutinya hingga surban hitm brumbai perak itu berkibar di leherku. Dugaanku Cak Ali akan makan nasi bebek di bu' Tumi. Ternyata benar, tapat di depan gedung kesehatn kalamin sepeda motor Cak Ali pelan lalu berhenti diwarung keber hijau bertuliskan Nasi bebek bu tumi. Cak Ali memarkirkan sepedanya. Akupun memarkirkan sepedaku di samapingnya. Tumben warung ini sepi, ketika kami akan masuk tiba-tiba terdangar suara semakin keras
"Tolong.. Copeett.. Toloong !"
Aku dan Cak Ali melihat ke arah suara. Kira-kira sepuluh meter dari kami berdiri di pinggir jalan dua orang pemuda bersepeda motor sedang berusaha menarik tas seorang gadis berjilbab. Karena gadis itu mempertahankan tasnya dan berteriak pemuda yang memegang setir motor turun, meraih pinggangnya mengeluarkan golok dan menyabet lengannya. Untung gadis itu waspada dan dapat menghindarinya. Tas pun lepas, tetapi justru membuat keseimbangan orang yang menariknya limbung dan terjatuh dari atas sepeda motor. Melihat temannya jatuh terjengkang. Golok ditanganya disabetkan ke arah dada. Aneh, gadis itu malah maju selangkah sambil tangan kanannya menangkis lengan pemuda yang mengayunkan golok ke dadanya, buggh.. Pukuln gadis itu telak mengenai dadanya mambuat pemuda itu terjengkang jatuh dengan masih menggenggam goloknya. Dia segera bangkit diikuti temannya yang juga telah memgang clurit kecil ditanganya. Keduanya siap menyerang kembali
" Hentikan !" Teriak Cak Ali. Aneh, ternyata Cak Ali larinya ringan juga hingga sudah sampai di dekat mereka. Aku berlari menyusulnya. Mendegar teriakan Cak Ali pemuda yang memegang golok menoleh kearahanya sambil mngacungkn golok ke kepadanya. Cak Ali malah maju,
"Hntikan seeblum klian ajur !" Hardik Cak Ali. Pemuda itu malah kalap menusukkn goloknya ke perut Cak Ali dengan cepat. Entah bagaimana caranya Cak Ali bisa menangkap lengan yang memegang golok itu dan memuntirnya, Pmuda itu terbanting diaspal dengan keras. Goloknya terlepas jatuh satu langkah didepanku. Aku singkirkan golok itu dengan menendangnya jatuh di selokn. Pemuda itu memandang ke arahku.
"Pri , lari..." Kata pmuda itu sambil bngun lalu lari menuju seped motornya. Mendengar teriakan tmannya, pemda yang dipanggil pri itu pun mengurungkan menyerang gadis brjilbab itu dan segera meompat ke spda motor lalu kabur sambil mngcungkn cluritnya ke Cak Ali. Gadis itu mengambil tasnya lalu mendekati kami.
"Terima kasih Pak" katanya. Kami hanya megangguk.
" Adik tidak apa-apa " tanya Cak Ali
"Al hamdulillah Pak saya tidak apa-apa berkat pertolonagan bapak" jawab gadis itu.
"Hmm kalau saya tidak salah, sepertinya adik tadi menggunakan jurus walet ketiga, boleh tahu siapa adik" tanya Cak Ali
Gadis itu terlihat melongo. Mungkin terkejut dengan petanyaan Cak Ali. "Bb... benar Pak, saya ratna, nama saya ratna tungga dewi, maaf apakah bapak juga Pewalet " Tanya Ratna. Pewalet adalah sebutan anggota perguruan walet. Cak Ali tersenyum, dalam hatinya kagum, bagaimana mungkin gadis belia ini sudah bisa memainkan walet ketiga.
0 komentar:
Posting Komentar