Selasa, 24 Februari 2015

AKU BUKAN KYAI 2


Bagian dua



"Wirid yang seperti apa itu kang" tanya Cak Ali. Belum sempat aku jawab Cak Jo nongol di pintu sambil membawa undangan. Ternyata Aqiqah tetangga sebelah rumahnya.
"Nah,.. Kalau mau belajar wirid s
ebaiknya kepada Cak Jo... Dia kan pernah lama nyantri" kataku
"Alah tambah payah, wong Cak
Jo sama tikus aja lari terbirit-birit" sahut Cak Ali. Dia memangilnya Cak mad karena memang namanya Muhammad Bejo Hayat Darroin. Isteriku dari muncul, sambil membawa teh hangat sama pisang goreng
"Yah, benang sama kain keras habis, sek
alian beli minyak obras. Tinggal sedikit" kata isteriku sambil mltakkan piring dan gelas di dpnku dan Cak Ali.
" Duduk d
ulu Cak Jo, tak buatkan teh" kata isteriku lalu menuju dapur.
"Gak usah
Tannte, mau nganterin undangan dulu ".
"Aku juga pulang saja d
ulu wong samapean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya.
Kukayuh sepeda pancalku yang sudah tua ke toko konfeksi. Sampai di sana ramai pembeli. Terpaksa antri. Aku duduk di bangku panjang di teras toko yang memang disediakan untuk pelanggan. Sebelum duduk aku permisi kepada sebelehku, seorang Bapak yang sedang duduk.
"Sudah dari t
adi Pak?" Tanyaku basa-basi.
" Lumayan Mas, apa itu s
epeda sampean" jawab Bapak itu dan balik bertanya sambil menunjuk sepedaku yang aku parkir tidak jauh dari kami duduk.
“Gazelle tahun tujuh puluhan ya Mas?’
“Benar pak, tujuh satu” jawabku
“Sepeda cantik dan antik, berarti mas rumahnya dekat sini saja ya’
“Benar, Pak. Dupak jaya “
“Apa dekat dengan rumahnya orang pintar itu Mas”
“Orang pintar yang mana Pak, soalnya di tempat saya banyak orang pintar, ada dokter, guru, dosen bahkan anggota dewan....”
“Bukan, tapi orang yang pernah buat geger di warung kopi itu’
“Bapak sudah dengar juga ya”
“iya, Bahkan tetangga saya juga cerita”
"Emang ceriata ap Pak?"
"Anak gadisnya samabuh dari gangguan mahluk halus hanya dengan disentuh pundakanya, apa Mas tahu rumahanya" tanya bapak tadi
"Oo.. ta tahu Pak... gang empat. Bapak nanti disana tanya saja" jawabku gugup
"Trima kasih Mas, soalnya saya mau kesana, permisi Mas ternyata isteri saya sudah nunggu" kata bapak sambil menunjuk perempuan cantik berjibab di dekat Innova, tanganya banyak membawa belanjaan dari toko sebelah." Akhirnya selesai juga aku belanja.
Aku tidak langsung pulang tapi mampir dalu makan lontong balap di kepanjen plus es degan ijo kemudian pulang.
Begitu aku sampai di depan pintu rumah hendak  masuk berpapasan dengan tamu yang hendak pulang. Lha, ternyata Bapak tada yang sempat ngobrol di toko konfeksi.
"Assalamualakum" sa
paku mendahului.
" Wa'alakum salam, jadi panjenengan to Mas orangnya, maaf ya Mas saya tidak tahu"
"Sama
-sama Pak, monggo Pak  masuk"
Tamuku memperkenalkan diri, namanya Pak Haji Jakfar. Dan isterinya Bu Hajjah Rahma. Akupun memanggilnya abah dan umi. Selain pengusaha konfeksi ternyata abah adalah guru seni rupa di skolah SMK Muhammadaiyah. Abah juga mempunyai gerai seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikiuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" jwbku
"Bgini Mas, ada lukisan denganerai saya yang aneh, lukisan seorang prempuan ..." tamukui mmperkenalkan diri, namanya Pak haji jakfar. Dan isterinya bu hajjah rahma. Akupun memanggilnya Abah dan umi. Selain pengusaha konfeksi ternyata abah adalah guru seni rupa di skolah SAMAK Muhammadaiyah. Abah juga mmpunKyai gerai seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikiuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" jwbku
"B
egini Mas, ada lukisan di gerai saya yang aneh, lukisan seorang perempuan ..."
"Aneh Kenapa bah" tanyaku penasaran seperti para pembaca cerita ini, hehehehe.(Kalau gak penasaran pasti gak baca kan?)
"Sudah 3 k
ali dibeli orang tapi dikembalikan, mereka takut. Aku diminta mengambilnya kembali tapi uangnya gak mau saya kambalikan. Padahal terahir laku 18 juta"
"Enak lah bah, rejeki nomplok " j
awabku sekenanya.
"B
ukan begitu Mas... Aku kok mrinding mau certa, lihat Mas buluku mengkorok semua".
"Emangnya Kenapa bah ?" Tanyaku
"K
atanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramkan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak percaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam, ya tidak berubah, tetep lukisan wanita cantik. Dan kamaren malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali, tapi supirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"
“kenapa tidak coba minta banguan orang pintar Bah ?” kayaku menyarankan
"Saya takut syirik, sejak kecil saya diajarkan untuk tidak peracya dengan dukun atau peramal" jawab Abah. Makanya saya disaranka istri saya kesini, menemui Mas Hanief, katanya Mas Hanief bukan dukun, bahkan juga tidak mau dipanggil Kyai"
"B
enar bah, saya bukan dukun, juga bukan Kyai, saya penjahit seperti yang abah lihat"
"Lalu m
enurut Mas Hanief bagaimana dengan lukisan itu" Tanya umi
"Saran saya d
imusnahkan saja, daripada nanti disalah gunakan oleh orang, bagaimana menurut abah?"
"Itu karya seni yang indah Mas Hanief" Jawab abah
"Tapi abah sudah m
enjualnya kan? berarti itu sudah bukan milik abah lagi"
"Benar Mas Hanief, saya s
etuju. Bah uangnya juga esbaiknya dikasih ke yatim atau masjid saja ya bah, lagi pula lukisan itu berbahaya Bah" Kata isterinya menyela.
" Baiklah saya s
etuju, terima kasih atas sarannya Mas, sepulang ini akan langsung saya bakar" Kata Abah.
Sepulang abah dan umi aku dan isteriku sibuk menjahit pakaian bersama dua tukang jahitku. Jam 12 siang baru istirahat. Aku  masuk kamar hendak ganti Pakaian untuk sholat jamaah di Masjid. Kedua penjahitku sudah berangkat lebih dahulu ke masjid. Aku bersyukur karena sekarang merka rajin sholat jama'ah. Hasil kerjaannya pun tambah baik. Benarlah kiranya bahwa dengan ibadah yang benar akan berpengaruh positif pada pekerjan, apapun profesinya.
Ketika aku hendak keluar melalui ruang tamu HPku berbunyi. Ternyata Pak Haji Jakfar yang telepon. Beliau minta tolong aku datang ke gerainya karena lukisannya tidak mempan dibakar. Beliau berinisiatif membawa lukisan itu ke rumahku. Tapi tak seorangpun karyawannya yang mampu mengangkat. Padahal tadi bisa dIpindahkan dari ruang studio ke ruang belakang untuk dibakar. Saya menyanggupinya untuk datang kira2 setengah jam lagi setelah sholat. Aku berpesan agar abah tidak meninggalkan lukisan itu sampai aku datang. Karena aku menduga lukisan itu masih di bawah kekuasaannya.
Akhirnya belum sampai setengah jam aku sudah datang bersama Cak Ali yang aku minta untuk menemani. Dua orang pegawai abah sudah menungguku di depan gerai seni itu dan seorang diantara mereka mengajak kami  masuk. Seoarng lainya mengamankan sepeda motor Cak Ali, entah di parkir di mana karena gerai ini sengaja tutup. Kami langsung di bawa ke ruang belakang. Tampak abah sedang duduk di depan lukisan dan segera berdiri hendak menghampiri dan menyambut kami. Tetapi aku segera memberi Isya’arat untuk tetap duduk Lukisan gadis cantik membawa gentong air di kepala ini memang indah. Terkesan hidup. Bahkan kebaya transparan yang dipakai benar-benar seperti kain. Menunjukkan pelukisnya teliti dan detail serta halus. Tiba-tiba lukisan yang ditaruh di lantai bersandar kursi bekas itu bergetar hingga kursi sandarannya ikut bergoyang ketika Cak Ali memegang bingkai kayu bercat hitam itu.
" Hai lakanatullah keluarlah kembali ke asalmu "
Kata Cak Ali sambil mengepalkan tangan kanannya yang berhias akik hitam. Lukisan itu diam. Tiba-tiba pegawai perempuan bercelana jean dan berjilbab yang tadi mengantar kami menjerit lalu menggeram dan melotot ke arah Cak Ali. Entah bagaimana dia mendekat tiba-tiba tangannya sudah menyerang dan memukul wajah Cak Ali. Meskipun agak Gendut ternyata Cak Ali lincah juga. Dengan menggeser kakinya kesamping pukulan itu mngenai tmpat kosong, dan...
“Buggh,...” Tendangan menyamping Cak Ali tepat mengenai perutnya. Perempuan itu terjengankang hingga terduduk, lalu segera bangkit lagi tanpa bantuan tangannya untuk menopang dan sacepat kilat meluncur berputar seperti baling-baling dengan kedua tangan siap mencengkeram. Cak Ali kelihatan kaget, aku juga terkesiap. Dan detik itu seperti ada yang menggerakkan tanganku yang memegang botol kecil air mineral yang tadi aku mini\um dari rumah, reflek kulemparkan,
wussh...”  Botol itu tepat mengenai kepalanya membuat perempuan itu terdorong dan jatuh membentur tembok. Air botol tumpah membasahi jilbab. Dari tumpahan air itu keluar asap tebal. Aku melongo heran. Perempuan itu bersimpuh minta ampun katanya kepanasan. Aku Cak Ali dan abah mendekat.
"Ya lakanatullah, bi idznilah keluar dan pergilah" kataku. Dan perempuan itu tak sadarkan dari. Teman-temannya menolongnya. Saya yakin nanti kalau sadar perutnya akan terasa mual karena tendangan telak Samo Hung .
Aku pulang membawa lukisan itu bersama Cak Ali. Abah Jakfar menyerahkan lukisan itu padaku. Katanya terserah mau mau dijual atau dipasang di ruang tamu. Tetapi aku merasa enggan untuk memajangnya di rumah, selain lukisan itu mahal dan mewah tidak sesuai dengan rumahku yang jelek aku juga merasa tidak enak karena lukisan itu meski tidak porno tapi menampakkan aurat yang menggoda imajinasi. Akhirnya aku titipkan kepada Cak Ali untuk disimpan.
Sepnjang perjalanan Cak Ali masih pensaran debgan air tadi. Dia tidak percaya kalau aku juga bingung. Kenapa bisa mengeluarkan asap ketika menyiram tubuh perempuan tadi. Padahal air mineral itu aku ambil dari kulkas yang tadi malam aku dapat dari aqiqah tetangga sebelah. Cak Ali juga Hadir dan duduk bersamaku mengapit Abah Kyai Saiful Bachri. Dugaan Cak Ali sama dengan aku. Jangan-jangan Abah Kyai lah yang menyebabkannya.
"Sudah lah Cak gak usah m
enduga-duga, kita bersyukur saja kepada Allah yang telah melindungi kita"
"Jam empat sore aku dan Cak Ali ke rumah Kyai Saiful Bachri. Ternyata Abah Kyai tidak ada, kata salah seorang santrinya Abah Kyai sedang kirim terpal ke Balai Kota. Sebab besok malam akan ada istighotsah dan sholawat bersama Habib Syech. Maklum selain juragan terpal Abah Kyai juga panitia pengarah yang dibutuhkan nasehatnya. Akhirnya aku dan Cak Ali meluncur ke Jalan Demak untuk minum juice duren disana. sesampainya di sAna aku segera mEncri tEmpat dUduk yang nyaman, sedangkan Cak Ali yang pesan. Ada beberapa meja yang kosong, aku memilih meja dengan 2 kursi dekat pintu  masuk agar dapat mengawasi sepeda yang aku parkir. Di kedai ini parkir gratis, tapi kalau lengah justru bisa menjadi mahal. Selesai pesan Cak Ali duduk di kursi depanku dibatasi meja menghadap keluar menikamati lalu lalang kendraan Jalan Demak. Tidak lama Cak Ali duduk seorang pemuda datang membawa dua gelas jumbo juice duren dan meletakkannya di depan kami. Cak Ali mengaduk-aduk gelas sambil berkata pelan,
"S
eapertinya dari tada sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor
Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
"Ya,
dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu juga Kang"
"Ya aku yakin, karena mereka ikut belok ketika k
ita ke rumah Abah Kyai"
"Siapa mereka Kang"
"Nanti k
ita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang mereka m
enyebrang kesini"
"Biarkan saja, k
ita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak l
ama kemudian aku mendengar suara motor parkir dan menoleh. Ternyata benar. Mereka parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak  masuk tapi memilih meja diluar yang berada tepat dua meja dibelakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan gerak-gerik mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat apa yang dipesan. Tidak lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sajak mereka duduk hatiku merasa tidak enak dan was-was. Dalam hati aku membaca wirid dan berdoa, karena degup jantungku terasa agak cepat aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka. Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian dairpada cuman cuci muka, toh juga sama-sama basah.
Selesai cuci muka hatiku merasa tenang, lalu kembali ke tempat dudukku. Cak Ali tampak sedang menikmati tahu petis dan lombok di tangan kirinya. Aku segera menjauhkan mangkuk kecil berisi lmbok itu dari jangkauan Cak Ali. Kuatir dihabiskan karena Cak Ali punya masalah lambung. Tiba-tiba gelas kami bergetar. Aku segera membaca laquah dan menyentuh gelasku. Gelaskupun diam kembali. Gelas Cak Ali tiba-tiba pecah jadi dua di atas meja disertai suara dua orang terjengkang dari kursi dibelakangku. Cak Ali segera mengepalkan lengannya tapi aku mencegahanya dan menyuruhnya tetap tenang. Orang yang berada di kedai pun serentak berdiri memandang ke arah suara dua orang tadi yang sepertinya terpental bersama kursinya satu meter dari tempat duduknya semula. Aku menoleh ke arah mereka, tampak beberapa orang membantunya berdiri. Rupanya mereka berdua pingsan. Orang-orang pun ribut. Ada yang mengusulkan lapor polisi, ada yang mengusulkan panggil ambulan karena keracunan. Tapi pemilik kedai minta untuk tidak lapor polisi atau pnggil ambulan. Kuatir masalahnya tambah panjang dan kedainya tidak laku. Di suruhnya pegaiwainya untuk membawa mereka  masuk untuk dipanggilkan adiknya yang katanya dokter di parangmenjangan. Saat para pegawai kedai dan beberapa pelanggan membantu membawa mereka  masuk, seorang pemuda dua puluh limaan berpakaian koko dan berwajah bersih dan ganteng menghampiriku dan Cak Ali sambil tersenyum.
"Mereka tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau boleh saya m
emperkenalkan diri, saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku Ipin," katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan menyebutkan nama kami.
"Tolong jangan ada yang lapor polisi, mereka tidak keracunan, mulutnya tidak keluar busa. Hanya sedkit darah dimulutnya. Hari ini semua gratis. Sekali lagi tolong jangan ada yang lapor polisi" Kata pemilik kedai.
"Tidak apa
-apa Pak tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air mineral" Kata pemuda ganteng yang bernama Ipin. Pemilik kedai pun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan menuangkannya di telapak tangan kananya. Setelah beberapa detik air itu lalu dicpratkan ke muka mereka. Bgitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Mereka mencba bangun tapi sepertinya tak mampu menahan sakit di didanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Hey Cak ! Iki karepmu dhewe opo kongkonan, ayo ngaku !" Cak Ali menghardik. Mereka bukanya segera menjawab tapi kedua tangan mereka memegangi leher masing-masing dengan mata mendelik seperti orang dicekik. Melihat itu Arifin segera memegang kedua ubun-ubun mereka. Tanganya bergetar.
"Pak Hanief, Pak Ali t
olong lakukan sesuatu orang ini dicekik jarak jauh" kata Arifin. Aku segera membca laquah dan meniru meletakan tangnku di atas telapk tangn Arifin di atas ubun-ubun mereka. Kedua orang yang tercekik itu kini melepaskan tangasn mereka dari leher masing-masing dan menyatukan kedua celah jari tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat kamit. Tidak lama kemudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin mengangkat tangannya. Akupun mengikutinya.
"Trima ksih, saya tidak m
enyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief, paman guru yang menyuruhnya
"Karena orang-orang dikedai berkerumun mengelilingi, aku merasa tidak enak dijadikan tontonan.
"Sebaiknya kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan." Kataku. Arifin mengangguk
"Pak ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas
Arifin sambil mengeluarkan selembar uang ratusan.
"Dan ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak
Ali
"S
emauanya gratis tidak perlu bayar" kata bapak pemilik kedai. Kami berlima keluar dari kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidaknya dia seorang santri. Aku membawa mereka menyusuri Jalan Demak lalu putar balik menuju Jl. Purwodadai ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju Masjid Al Hilal. Sesampainya disana, Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sblum duduk aku sholat 2 rokaat. Bgitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudluku belume batal. Mas Arifin juga tidak wudlu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga wudlu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di samapingku. Kami duduk melingkar. "Baiklah, siapa nama kalian" Tanyaku
"Saya Bagus Kyai"
Jawab pemuda yang agak kekar itu.
"Saya Agus, Kyai"
Jawab pemuda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan trengginas.
"Panggil saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... M
engapa paman gurumu itu menyuruh kalian mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena guru kami telah Pak Hanief celakai, kami h
arus menuntut balas" Jawab Bagus
" Siapa guru k
alian itu, " Jawabku
"Ki Sastro, di warung kopi itu "
Jawab Agus
"Pulanglah dan sampaikan kepada paman guru kalian, aku tidak mencelakainya, banyak saksinya"
"Kami tidak b
erani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" Jawab Agus.
"Kalau k
alian mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementara kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di pesanteren Sidoresmo, dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah Isya’' kata Mas Arifin
"Terima kasih Kyai"
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adalah Kyai Muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren Magelang.
"Baik Mas, terima kasih"
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, juga nanti di pesantren. Kalian bukan santriku tapi temanku" Kata Mas Arifin wibawa sekali.
"Maaf Pak Hanief, kalau saya boleh tahu siapakah guru Pak Hanief dan dari pesantren manakah, sebab maaf kalau saya tidak salah tadi yang digunakan Pak Hanief adalah wirid laquah yang sudah lama menyatu sehingga luar biasa pengaruhnya..mungkin setingkat atau lebih tinggi dengan Abahku" Tanya Mas Arifin dengan sopan. Aku gelagepan karena dia tahu wirid yang aku baca. Aku sadar sedang berhadapan dengan orang Alim meski umurnya jauh lebih muda dariku
"Ah Mas Ipin bisa saja, saya kan bukan Kyai tidak pantas dibandingkan dengan Abah Mas Ipin, saya di ajari guru saya Kyai Ahmad Shofi al marhum pengasuh pesantern Al Amien Pekalongan saat saya kelas dua Tsanawiyah. Kebetulan beliau tetangga dan teman alamarhum ayahku" jawabku.
"Kyai Ahmad Shofi pekalogan, sepertinya aku pernah dengar dari Abahku" Kata Mas Ipin sambil manggut manggut.
Setelah Isya’ jam delapan Mas Ipin datang di Masjid al Hilal. Tidak sendirian, tapi bersama seorang Bapak yang kira brusia lima puluhan. Pakaian dan celananya serba putih, begitu pula dengan tutup kepalanya. Di pundak kananya berhias surban warna hitam berumbai benang perak. Sangat gagah dan wibawa. Kami beerempat segera brdiri menyambut mereka.
"Assalamualaikum" Aku mendahului meangucapkn salam kepada mereka. Mereka menjawab sambil mengulurkan tangan. "Dimas Hanief ya?" Kata Abah Kyai sambil menjabat tanganku.
" Nggih Abah Kyai," jawabku sambil mengangguk takzim.
"Panggil Mas saja, usia kita kan cuman terpaut sedkit, lagi pula saya juga pernah jadi santrinya Abah Kyai Shofi, gurunya dimas meski hanya beberapa bulan sebelum berangkat ke Banten" Katanya, sabil menepuk-nepuk pundakku, lalu katanya;
"Dimas, saya tidak bias lama-lama karena jam 10 mlm ini ada pengajian di Tuban, sebagai takzim saya kepada guruku Kyai Shofi terimalah surban ini samoga bermanfaat" katanya
"Oh ya Paman Hanief,  Pak Ali, saya akan senang jika panjenengan tgl 25 Rajab berkenan Hadir ke Magelang" Kata Mas Arifin
"Usahakan datang Dimas, saya ingin ngobrol banyak dengan Dimas" Kata Abah Kyai
" Insaya Allah, dengan senang hati kami akan datang" Jawabku.
" Baiklah kami permisi dulu, assalamu'alakum" kata kata Kyai. Setelah bersalaman mereka  masuk mobil diikuti Agus dan Bagus. Setelah mobil mereka jalan, aku dan Cak Ali menuju seepda motor yang kami parkir. Kini Cak Ali mengenadrai Satria. Sepeda motor milik Bagus itu telah dijual kepada Cak Ali untuk bekal di Magelang. Kebetulan saat itu BPKB di bawa di Jok habis ditebus darr rental. Jadi Cak Ali mau membelinya dengan harga yang pantas. Aku tersenyum melihat Cak Ali nangkring di atas satria. Seped itu terlalu kecil untuknya yang Gendut. Eh salah, montok.(kuatir dia protes karena tidakk suka dikatain Gendut ) Cak Ali memacu sepdanya semakin kencang ke Jalan Indrapura. Aku mengikutinya hingga surban hitm brumbai perak itu berkibar di leherku. Dugaanku Cak Ali akan makan nasi bebek di bu' Tumi. Ternyata benar, tapat di depan gedung kesehatn kalamin sepeda motor Cak Ali pelan lalu berhenti diwarung keber hijau bertuliskan Nasi bebek bu tumi. Cak Ali memarkirkan sepedanya. Akupun memarkirkan sepedaku di samapingnya. Tumben warung ini sepi, ketika kami akan  masuk tiba-tiba terdangar suara semakin keras
"Tolong.. Copeett.. Toloong !"
Aku dan Cak Ali melihat ke arah suara. Kira-kira sepuluh meter dari kami berdiri di pinggir jalan dua orang pemuda bersepeda motor sedang berusaha menarik tas seorang gadis berjilbab. Karena gadis itu mempertahankan tasnya dan berteriak pemuda yang memegang setir motor turun, meraih pinggangnya mengeluarkan golok dan menyabet lengannya. Untung gadis itu waspada dan dapat menghindarinya. Tas pun lepas, tetapi justru membuat keseimbangan orang yang menariknya limbung dan terjatuh dari atas sepeda motor. Melihat temannya jatuh terjengkang. Golok ditanganya disabetkan ke arah dada. Aneh, gadis itu malah maju selangkah sambil tangan kanannya menangkis lengan pemuda yang mengayunkan golok ke dadanya, buggh.. Pukuln gadis itu telak mengenai dadanya mambuat pemuda itu terjengkang jatuh dengan masih menggenggam goloknya. Dia segera bangkit diikuti temannya yang juga telah memgang clurit kecil ditanganya. Keduanya siap menyerang kembali
" Hentikan !" Teriak Cak Ali. Aneh, ternyata Cak Ali larinya ringan juga hingga sudah sampai di dekat mereka. Aku berlari menyusulnya. Mendegar teriakan Cak Ali pemuda yang memegang golok menoleh kearahanya sambil mngacungkn golok ke kepadanya. Cak Ali malah maju,
"Hntikan seeblum klian ajur !" Hardik Cak Ali. Pemuda itu malah kalap menusukkn goloknya ke perut Cak Ali dengan cepat. Entah bagaimana caranya Cak Ali bisa menangkap lengan yang memegang golok itu dan memuntirnya, Pmuda itu terbanting diaspal dengan keras. Goloknya terlepas jatuh satu langkah didepanku. Aku singkirkan golok itu dengan menendangnya jatuh di selokn. Pemuda itu memandang ke arahku.
"Pri , lari..." Kata pmuda itu sambil bngun lalu lari menuju seped motornya. Mendengar teriakan tmannya, pemda yang dipanggil pri itu pun mengurungkan menyerang gadis brjilbab itu dan segera meompat ke spda motor lalu kabur sambil mngcungkn cluritnya ke Cak Ali. Gadis itu mengambil tasnya lalu mendekati kami.
"Terima kasih Pak" katanya. Kami hanya megangguk.
" Adik tidak apa-apa " tanya Cak Ali
"Al hamdulillah Pak saya tidak apa-apa berkat pertolonagan bapak" jawab gadis itu.
"Hmm kalau saya tidak salah, sepertinya adik tadi menggunakan jurus walet ketiga, boleh tahu siapa adik" tanya Cak Ali
Gadis itu terlihat melongo. Mungkin terkejut dengan petanyaan Cak Ali. "Bb... benar Pak, saya ratna, nama saya ratna tungga dewi, maaf apakah bapak juga Pewalet " Tanya Ratna. Pewalet adalah sebutan anggota perguruan walet. Cak Ali tersenyum, dalam hatinya kagum, bagaimana mungkin gadis belia ini sudah bisa memainkan walet ketiga.

0 komentar:

Posting Komentar