Sholat 5 Waktu

tambah sholat sunnah dan tahajud itu malah lebih baik

Guru Berpengalaman dan Sabar Dalam Pengajaran

Siswa - Siswi yang berdedikasi tinggi dan bermotivasi tinggi dalam pembelajaran

Kesabaran Yang Tiada Henti

Tak selamanya hidup ini abadi , hanyalah "perubahan" yang tidak akan berhenti karena sebuah perubahan itu kekal

Rumah kita sendiri

layaknya istana pribadi bila semua kita iklhasi

Pendidikan perlu keimanan

Hidup tanpa iman, sama halnya berjalan menyusuri kegelapan tana arti

Minggu, 16 Agustus 2015

AKU BUKAN KYAI 4

AKU BUKAN KYAI 4
Episode : Keris Luk  Pitulas, Karya Yang Indah
Bersamaan tangan kananku yang terangkat dengan telapak tangan terbuka, tiba-tiba gadis itu dlosor dari tempat duduknya dan bersimpuh di lantai.
"Ampun..ampun jangan pukuli aku..." Katanya menghiba.
" Kalau begitu sekarang kembalilah ke asalmu dan jangan kembali lagi " kataku. Di hati aku merasa heran juga karena aku tidak merasa memukulinya."Baiklah aku pergi" dan tiba-tiba gadis itu tersungkur lemas di kaki ibunya ayah dan ibunya segera mengangkat gadis itu ke kursi, mendudukanya. Gadis itu lunglai dengan mata terpejam seperti orang yang pingsan. Karena kuatir terjadi sesuatu aku menyentuh pundakya..
”Mbak,.. Mbak " kataku sambil sedikit menggoyang pundaknya. Gadis itu membuka matanya dan melihat ke arah ibunya yang segera memeluknya dengan cucuran air mata. " Kenapa ibu mnangis,
"Gadis itu juga melihat ayahnya seolah-olah minta jawaban, tetapi sang ayah hanya bisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca
"Terima kasih Kyai"
" Maaf Pak, saya bukan Kyai, Ki, dukun atau paranormal,"
"Siapapun bapak, saya sangat berterima kasih"
"Berterima kasih dan bersyukurlah kepada Allah,.. Maaf kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya mulai sekarang kewajiban kepada tuhan lebih utama untuk dikerjakan. Ajaklah isteri dan anak Bapak untuk sholat di belakang bapak, Insya Allah tuhan akan senantiasa melindungi keluarga Bapak,.." Aku menghentikan ucapanku. Karena melihat Pak gendut menteskan air mata dan sesenggukkan menahan tangis.
"Ya allah ampunilah aku dan keluargaku" katanya lalu meraih tanganku, disalaminya dan menatapku lekat-lekat.
" Tolong ajarilah aku Sholat agar bisa jadai imam untuk keluargaku Pak " katanya dengan air mata meleleh.
"Tenanglah Pak, silahkan duduk"
Pak gendut pun duduk kembali. Lalu menyeka air matanya.
"Insayaa allah nantii akan saya sampaikan kepada temanku seorng Ustadz untuk mengajari Bapak" kataku sambil menyerahkan gelas air mineral kepada Pak gendut. Pak gendut menerimanya dan segera meminumnya. Sesenggukanya pun mereda.
" Terima kasih, tapi sayaa ingin baPak sendiri yang mengajari sayaa dan keluarga sayaa,.."
" Maaf Bapak, saya bukan Ustadz, saya penjahit, perkrjaan saya menjahit, rezeki saya melalui mesin jahit" jawabku. aku mencoba memberi alasan yang tepat, bukan aku tidak mau mengajari sholat. Sebab salama beberapa minggu ini jujur saja aku merasa terganggu juga dengan banyakanya tamu. Untungnya penjahitku yang cuman dua orang itu mau lembur. Bahkan isteriku pun mulai mengeluh beberapa hari yang lalu. Tetapi saya yakinkan kepada istriku bahwa aku tidak beralih profesi jadi paranormal dan aku masih normal
"Sekali lagi maaf Pak, bukanya saya tidak mau mengjari sholat Bapak dan keluarga Bapak, tetapi memang belajar itu sebaiknya pada ahlinya, dan yang ahli dalam hal ini adalah para ustdz dan Kyai... Bukan penjahit seperti saya ini.. "
"Ah Bapak ini terlalu merendah..." Kata Pak Gendut sambil tersenyum. tidak lama kamudian merekaa pamit untuk pulang. Aku dan Cak Alie mengntarkannya sampai di mobilnya.
Lha ternyata supirnya adalah Pak Parno yang rumahanya depan gang rumahku. Cak Ali pun segera pulang. Aku masuk ke rumah, tetapi ketika aku sampai pintu aku ingat pada tamuku yang satunya. Seorang bapak berkemeja batik. Kok di teras tidak ada, tadi juga waktu ngantar Pak gendut jg aku tidak melihatnya. Aku clingak clinguk di depan rumah mncarinya, aneh tamu kok pulang tidak pamit. Ah, tidak boleh su'udhon, barang kali aja dia kena diare dan harus segera pulang.
******
Masih pagi, jam setengah tujuh Pak parno tetanggaku yang menjadi supir Pak Gendut datang ke rumah membawa bingkisan. Katanya dari Pak Gendut untukku. Aku persilakan Pak Pak parno duduk dan menerima bingkisan itu.
" Mas Hanief, ada yang ingin saya sampaikan, ada orang yang tanya tentang sampaean beberpa waktu lalu ketika saya mengantar majikan saya kemaren malam itu"
" Apakah orang itu sudah cukup tua dan berbaju batik" tanyaku
"Ya, benar Mas, kok Mas sudah tahu, oh ya ya saya lupa kalau Mas Hanief kan orang sakti, jadi wis weruh sak durunge winarah" kata Pak parno
"Hush !, jangan bilang begitu Pak, aku tahu bukanya punya ilmu tebak jitu, tapi orang itu sudah ke sini .."
"Ooo, tapi kok saya curiga banget Mas, soalnya tanyanya macem-macem"
"Barang kali aja dia pingin kenal tapi malu tanya sendiri padaku, Pak"
" Gak mungkin Mas, tapi waktu itu perasaanku jadi gak enak, pokoknya aneh gitu Mas,.
"Wah, maaf saya pamit dulu, ngantar majikan ke Juanda,.."
"Silakan Pak, tolong sampaikan terima kasih saya ya Pak "
"Inggih Mas, Assalaamualaikum"
" Wa alaikum Salam" aku mengantarkannya keluar sampai teras. Dan ketika aku akan Masuk seseorang memanggilku. Ternyata Cak Ali Sofiri mau mengambil baju anakya.
" Masuk aja Cak, tny istriku di d aku gak tahu dah dijahit apa keluar" kataku pd Cak Ali. Dia pun masuk mengikutiku ketika melewati ruang tamu Cak Ali Sofiri melihat bingkisan yang menarik perhatiannya.
"Punya siapa ini Kang kok di bungkus bagus gini" tny Cak Ali, ia mengira jahitan milik pelanggan yang sudah jadi.
" Dari Pak Gendut"
" Wah, bungkusnya bagus isinya apa ya Kang"
" Gak tahu lah, yang jelas pasti bukan Lontong Balap hehehehe"  Aku berkata begitu karena aku tahu Cak Ali Sofiri hobinya balapan lontong sama sambel sak cowek di Kepanjen.
"Wis Cak, cik no gak penasaran ayo buka bareng" Kataku sambil duduk diikuti Cak Ali yang duduk di sebelahku. Isi bungkusan itu adalah sebuah kotak segi empat yang panjangnya kira-kira. 60 cm dengan lebar 30 cm yang terbuat dari kayu jati berukir motif bunga yang mengelilingi pinggirnya. Di tengahnya terdapat ukiran naga yang menjulurkan lidahnya
"Sik, ojo dibuka dhisik, hatiku gak enak,.. Sepertinya ada sesuatu di dalamnya"
"Ya jelas lah, Masak kosong..." Jawabku
"Aku serius Cak" katanya sambil meletakkan telapak tangan kanannya yang jari tengahanya berhias akik hitam. Aku lihat Cak Ali mulutnya komat kamit entah membaca apa. Tiba-tiba kotak itu bergetar. Aku kaget. Cak Ali keningnya berkerut.
"Iki Jin, Kang !" Kata Cak Ali sambil menangkat tanganya kembali. Aku hanya diam. Cak Ali melihatku dengan wajah menyiratkan seribu pertanyaan.
"Ah, yang benar Cak, masak jin dimasukan kotak?  Kayak pizza saja, lagi pula ngapain Pak Gendut kasih jin padaku" tanyaku.
"Untuk tahu jawbannya ya buka aja Kang"  Jawab Cak Ali. Aku mengangguk. Lalu segera melihat sekeliling kotak untuk mencari tahu bagaimana membukanya. Ternyata ada tombol perak disamping kotak. Kami kaget begitu kotak terbuka. Keris. Di atasnya ada amplop, segera ku ambil dan kubuka. Isinya kertas bertuliskan, benda inilah yang membuatku lupa padaa tuhan, aku selalu mengandalkanya... Sekarang aku serahkan kepadaa Kyai agar tidak menggangguku dan keluargaku. Terima kasih Kyai telah menyadarkan aku.
"Petunjuk apa kang?" Tanya Cak Ali. Aku berikan kertas itu kepada Cak Ali, ia segera membacanya. Aku mengamati keris itu. Warangkanya cokelat tua mengkilap entah dari kayu apa. Gagangnya juga kayu warna cokalt hampir kehitaman berbentuk kepala naga dan bertabur permata merah delima sampai ke leher. Sungguh sebuah karya seni yang indah.
"Keris ini sudah jadi milikamu Kang. Tapi ada jin-nya, hati-hati"  Kata CakAli. Aku ambil keris itu dari kotak dan aku pegang gagangnya dengan tangan kananku. Aku sangat penasaran ingn melihat bentuknya. Srreett..,perlahan gagangnya aku tarik ke atas, tampak besi hitam mengkilat berlekuk, kuamati lekukanya. Kuhitung ada tujuh belas.
" Luk pitulas" kata Cak Ali
" Emang Kenapa Cak" tanyaku
"Panjang"  Jawabnya
" Ya iya lah, ... kalau Sembilan ya pendek. Maha karya seperti ini kok menjauhkan manusia dari Tuhan ya?  Aneh. Seharusnya kan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan bersyukur  diberi kamuampuan yang luar biasa dan dapat menikmuati keindahanya, subhanallah. Begitu ucpan tasbihku selesai, keris ditanganku bergetar hebat, terasa berat dan gagangnya panas. Cak Ali segera kamut kamit lagi dan akupn membaca ta'awudz dan laquah di hati. Kini keris itu tenang dan terasa sangat ringan, bahkan tampak lebih berkilau meski dari besi yang hitam legam.
"Jinnya sudah pergi Kang, sampean memang luar biasa Kang Tadi sebelum kotak dibuka aku coba mengusirnya tapi jinnya mbandel, di tangan sampean langsung lari terbirit-birit. Sampean pake jimat apa to kang "  Tanya Cak Ali ketika aku memasukkan kambali keris itu ke warangkanya
"Gak Pake apa-apa" Jawabku sambil menunjukan ke-10 jariku
"Kalung?" Tanya Cak Ali
"Kalungku aku Pake hanya waktu jahit. Kalungan meteran. Yo iku jimatku, kalau gak dipake bajunya gak jadi..hehehe"
"Berarti Pake wirid, pasti !" Tebak Cak Ali.
"Wiridanya apa kang, masak sama temen sendiri gak mau kasih tau" katanya sambil menatapku serius. Aku diam karena bingung, sebab aku merasa tidak tahu namanya wirid apa. Tapi klo tidak aku jawab aku merasa tidak enak.
"Wirid Sasahidan"   Jawabku sekenanya. Karena samalam aku mendegarkan wayang dari radio pas Pak Manteb sedang menerangkan wirid sasahidan melalui Semar yang sedang menerangkannya kepada anak-anaknya
"Wirid yang sperti apa itu Kang" Tanya  Cak Ali. Belum sempat aku jawab Cak Jo nongol di pintu sambil mmbawa undangan. Ternyata Aqiqah tetangga sebelah rumahanya.
"Nah,.. Kalau mau belajar wirid sebaiknya kepada Cak Jo... Dia kan pernah lama nyantri" Saranku kepada Cak Ali
"Alah tambah payah, wong Cak Mat sama tikus aja lari terbirit-birit" Sahut Cak Ali. Dia memangilnya Cak Mat karena memang namanya Muhammada BeJo Hayat Darroin.
Isteriku dari dapur muncul, sambil membawa teh hangat sama pisang goreng
"Yah, benang sama kain keras habis, sekalian beli minyak obras. Tinggal sedikit"  Kata isteriku sambil meletakkan piring dan gelas di depanku dan Cak Ali.
" Duduk dulu Cak Jo, tak buatkan teh" Kata isteriku lalu menuju dapur.
"Gak usah Nte, mau nganter undangan dulu ".
"Aku jug pulang saja dulu wong sampean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya .
*****
Kukayuh sepeda pancalku yang sudah tua ke toko konfeksi. Sampai di sna ramai pembeli. Terpaksa antri. Aku dduk di bangku panjang di teras toko yang memang disdiakan untuk pelanggan. Sebelum duduk aku perrmisi kepada sebelahku, seorang bapak yang sedang duduk.
"Sudah dari tadi Pak?" Tanyaku basa basi.
" Lumayan Mas, apa itu sepeda sampean" Jawab bapak itu dan balik bertanya sambil mennjuk sepdaku yang aku pakir tidak jauh dari kami duduk.
“Sepeda cantik dan antik, Gazele 70 an”
“Benar Pak, tepatnya 68, lebih tua dari saya “ Jawabku
“Rumahnya dekat sini aja ya Mas?” Tanya bapak itu selanjutnya. Mungkin karena aku hanya ngontel saja ke toko ini.
“Lumayan dekat, Dupak Jaya”
“Ooo kebetulan, apa dekat dengan orang pinter itu Mas”
“Orang yang mana ya Pak, di Dupak memang banyak orang pinter, mulai dokter, dosen sampai aggota dewan” Jawabku.
“Bukan itu maksudnya Mas, tapi orang pinter yang sekarang banyak diceritakan orang dan juga yang diceritakan tetanggaku”
"Emang ceriata ap Pak?"
"Anak gadisnya sembuh dari gangguan mahluk halus hanya dengan disentuh pundaknya, apa Mas tahu rumahanya" Tanya bapak tadi
"Oo.. Ta tahu Pak... Gang empat. bapak nanti disana tanya saja"Jawabku gugup.
"Terima kasih Mas, soalnya saya mau kesana, permisi Mas ternyata isteri saya sudah nunggu" Kata bapak itu sambil menujuk perempuan cantik berjilbab di dekat Innova, tanganya banyak membawa belanjaan dari toko sebelah.
Akhirnya selesai juga aku belanja. Aku tidak langsung pulang tapi mampir dulu makan lontong balap di Kepanjen plus es degan ijo kemudian pulang. Begitu aku sampai di depan pintu rumah hendak masuk berpapasan dengan tamu yang hendak pulang. Lha, ternyata bapak yang tadi sempat ngobrol di toko konfeksi.
"Assalamualakum" Sapaku mendahului.
" Wa'alakum salam, jadi panjenengan to Mas orangnya, maaf ya Mas saya tidak tahu"
Sama-sama Pak, monggo Pak Masuk"
Tamuku memperkenalkan diri, namanya Pak Haji Jakfar. Dan isterinya Bu Hajjah Rahma. Akupun memanggilnya Abah dan Umi. Selain pengusaha konfeksi, ternyata abah adalah guru seni rupa di skolah SMK Muhammadaiyah. Abah juga mempunnyai gerai seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" Jawabku
"Begini Mas, ada lukisan di gerai saya yang aneh, lukisan seorang perempuan ..."  
"Aneh Kenapa bah" tanyaku penasaran seperti para pembaca cerita ini, hehehehe.(Kalau gak penasaran pasti gak baca kan?)
"Sudah 3 kali dibeli orang tapi dikembalikan, mereka takut. Aku diminta mengambilnya kembali tapi uangnya gak mau saya kembalikan. Padahal terakhir laku 18 juta"
"Enak lah bah, rejeki nomplok " Jawabku sekenanya.
"Bukan begitu, Mas... Aku kok mrinding mau cerita, lihat Mas buluku mengkorok samaua".
"Emangnya Kenapa Bah ?" Tanyaku
"Katanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramakan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak prcaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam ya tidak berubah, tetap lukisan wanita cantik. Dan kaemarin malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali tapi sopirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"  
“Kenapa tidak minta bantuan orang pintar, Bah?”
"Saya takut syirik, sejak kecil saya diajarkan untuk tidak percaya dengan dukun atau peramal" Jawab Abah. Makanya saya disaranka istri saya kesini, menemui Mas Hanief, katanya Mas Hanief bukan dukun, bahkan juga tidak mau dipanggil Kyai"
"Benar bah, saya bukan dukun, juga bukan Kyai, saya penjahit seperti yang Abah lihat"
"Lalu menurut Mas Hanief bagaimana dengan lukisan itu" Tanya umi
"Saran saya dimusnahkan saja, daripada nanti disalah gunakan oleh orang, bagaimana menurut Abah?"
"Itu karya seni yang indah Mas Hanief" Jawab Abah
"Tapi Abah sudah menjualnya kan?, berarti itu sudah bukan milik Abah lagi"
"Benar Mas Hanief, saya setuju. Bah uangnya juga sebaiknya dikasih ke yatim atau masjid saja ya Bah, lagi pula lukisan itu berbahaya Bah"  Kata isterinya menyela.
" Baiklah saya setuju, terima kasih atas sarannya Mas, sepulang ini akan langsung saya bakar" Kata Abah.
Sepulang Abah dan Umi aku dan isteriku sibuk menjahit bersama dua tukang jahitku. Jam 12 siang baru istirahat. Aku Masuk kamar hendak ganti pakaian untuk sholat jamaah di Masjid. Kedua penjahitku sudah berangkat lebih dahulu ke Masjid. Aku bersyukur karena sekarang mereka rajin sholat jama'ah. Hasil kerjaannya pun tambah baik. Benarlah kiranya bahwa dengan ibadah yang benar akan berpengaruh positif pada pekerjan. Apapun profesinya.
Ketika aku hendak keluar melalui ruang tamu HPku berbunyi. Ternyata Pak Haji Jakfar yang telpon. Beliau minta tolong aku datang ke gerainya karena lukisannya tidak mempan dibakar. Beliau berinisiatif membawa lukisan itu ke rumahkua. Tapi tak sorangpun karyawannya yag mampu mengangkat. Padahal tadi bisa dipindah dari ruang studio ke ruang belakang untuk dibakar.  Saya menyanggupinya untuk datang kira-kira setengah jam lagi setelah sholat. Aku berpesan agar Abah tidak meninggalkan lukisan itu sampai aku datang. Karena aku menduga lukisan itu masih di bawah kekuasaannya.
Akhirnya belum sampai setengah jam aku sudah datang bersama Cak Ali yang aku minta untuk menemani. Ternyata dua orang pegawai Abah sudah menungguku di depan gerai seni itu dan seorang diantara mereka mengajak kami masuk. seorang lainya mengamankan sepeda motor Cak Ali, entah di parkir di mana karena gerai ini sengaja tutup. Kami langsung di bawa ke ruang belakang. Tampak Abah sedang duduk di depan lukisan dan segera berdiri hendak menghampiri dan menyambut kami. Tetapi aku segera memberi isyarat untuk tetap duduk.  
Lukisan gadis cantik membawa gentong air di kepala ini memang indah. Terkesan hidup. Bahkan kebaya transparan yang dipakai benar-benar sperti kain. Karya ini menunjukkan pelukisnya teliti dan detail serta halus. Tiba-tiba lukisan yang ditaruh di lanta bersandar kursi bekas itu bergetar hingga kursi sandarannya ikut bergoyang ketika Cak Ali memegang bingkai kayu bercat hitam itu.
" Hai lakanatullah keluarlah kembali ke asalmu " Kata Cak Ali sambil mengepalkan tangan kanannya yang berhias akik hitam. Lukisan itu diam. Tiba-tiba pegawai perempuan bercelana jean dan berjilbab yang tadi mengantar kami menjerit lalu menyeringai dan melotot ke arah Cak Ali. Entah bagaimana dia mendekat, tiba-tiba tangannya sudah menyerang dan memukul wajah Cak Ali. Meskipun agak gendut ternyata Cak Ali lincah juga. Dengan menggeser kakinya ke samping, pukulan itu mengenai tempat kosong, dan buggh,tendangan menyamping Cak Ali tepat mengnai perutnya. Perempuan itu terjengkang hingga terduduk, lalu segera bangkit lagi tanpa bantuan tangannya dan secepat kilat meluncur berputar seperi baling-baling dengan kedua tangan siap mencengkeram. Cak Ali kelihatan kaget, aku juga terkesiap. Dan detik itu seperti ada yang menggerakkan tanganku yang memegang botol kecil air mineral yang baru saja aku minim  reflek kulemparkan, wussh botol itu tepat mengenai kepalanya membuat perempuan itu terdorong dan jatuh membentur tembok. Air botol tumpah membasahi jilbabnya. Dari tumpahan air itu keluarr asap tebal. Aku melongo heran. Permpuan itu bersimpuh minta ampn kepanasan. Aku Cak Ali dan Abah mendekat.
"Ya lakanatullah, bi idznilah keluar dan pergilah" Kataku. Lalu perempuan itu tidak adarkan diri. Teman-temannya menolong. Saya yakin nanti kalau sadar perutnya akan terasa mual karena tendagan telak Samo Hung tadi.
Aku pulang membawa lukisan itu bersama Cak Ali. Abah Jakfar menyerahkan lukisan itu padaaku. Katanya terserah mau mau dijual atau dipasang di ruang tamu. Tetapi aku merasa enggan untuk memajangnya di rumah, selain lukisan itu mahal dan mewah tidak sesuai dengan rumahku yang jelek aku juga merasa tidak enak karena lukisan itu meski tidak porno tapi menampakkan aurat dan menggoda imajinasi. Akhirnya aku titipkan kepada Cak Ali untuk disimpan. Sepanjang perjalanan Cak Ali masih penasaran dengan  air tadi. Dia tidak percaya kalau aku juga bingung,  kenapa bisa mengeluarkan asap ketika menyiram tubuhanya. Padahal air mineral itu aku ambil dari kulkas yang tadi malam aku dapat dari aqiqah tetangga sebelah. Cak Ali juga hadir dan duduk bersamaku mengapit Abah Kyai Saiful Bachri. Dugaan Cak Ali sama dengan aku. Jangan-jangan Abah Kyai lah yang menyebabkannya.
"Sudah lah Cak gak usah menduga-duga, kita bersyukur saja kepada Allah yang telah melindungi kita"

*****