MATAHARIKU
Oleh
Ifan Nawawi
Setelah
mengucapkan salam Pak Hanif keluar dari kelas. Tetapi langkahnya terhenti
karena pintu kelas yang baru saja ditutup terdengar dibuka lagi dari dalam.
“Permisi Pak,….
Eeee ini untuk Bapak” Ifa murid tercantik dan terpandai di kelas sepuluh
multimedia tiga itu menyerahkan undangan ke Pak Hanief.
“Ulang tahun?”
Tanya Pak Hanif setelah membaca undangan di tangannya. Ifa hanya mengangguk.
‘Mohon datang
ya Pak, Ifa pingin didoakan bapak”, Jawab Ifa sambil menatap wajah gurunya
penuh harap lalu kembali menunduk. Ifa memang tidak berani berdu mata dengan
Pak Hanif, entah mengapa, sepertinya ada sesuatu di hatinya. Padahal dengan
guru yang lain ifa merasa biasa saja. Bukan, bukan cinta yang dirasakan olehnya.
Sama sekali bukan, tapi sesuatu yang membuatnya hormat dan ingin selalu dekat
karena damai sedamai tatapan ibunya.
“Insya Allah, …
bolehkah Bapak mengajak isteri dan anak bapak ?” Tanya Pak Hanif.
“Oh,… dengan
senang hati pak, Ifa senang kalo adik Rizal juga datang”, jawab Ifa sambil
tersenyum dan mencium kedua tanganya sendiri seperti yang ia lakukan setiap
selesai berdoa.
“Ifa kenal
Rizal anak Bapak?” Pak Hanif mengernyitkan keningnya hingga alisnya hampir
bertemu karena merasa heran.
“Ya Pak, Rizal
teman sekelas adik Ifa, namanya Hanif Mahbubie, maaf nama depannya kebetulan
sama dengan nama Bapak,.. mereka sering belajar bersama di rumah kami …..”
“Oh….., apakah
dia nakal?’|”
“Tidak Pak,
bahkan kami sekeluarga sangat senang terutama ibuku,… dik Rizal sangat pandai
dan santun, dua minggu lalu Ifa baru tahu kalau dik Rizal adalah putra Bapak ”
“ Oooo…
begitu….”, Pak hanif mengangguk-anggukkan kepala.
“Mmmm… terima
kasih Pak, atas kesediaan Bapak ,hari Minggu lusa kami tunggu,
Assalamualaikum..” Kata Ifa mengakhiri percakapanya karena Nampak olehnya Bu
Ruri yang akan mengajar jam berikutnya sudah keluar dari kelas sepuluh
multimedia satu menuju ke kelasnya.
“Wa’alaikum
salam warohmah” jawab Pak Hanif kemudian segera berjalan menuju kelas yang baru
saja ditinggalkan Bu Ruri. Ifa pun segera masuk ke kelasnya dengan senyum
dikulum dan wajah lebih cerah.
******
Pak hanif keluar dari kamar sambil melepas kopiyah hitam
dari kepalanya. Nampak rambutnya yang pendek dan rapi itu telah berhias
beberapa uban putih laksana perak berkilau. Di letakannya kopiyah di atas
tumpukan beberapa buku yang berbaris rapi di atas meja kerjanya di ruang tengah
rumah sedrhana itu.
“Ma, Rizal
mana? “ Pak Hanif menanyakan putra
tunggalnya yang masih kelas tujuh itu kepada isterinya sambil melihat arloji
yang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam telah menunjukkan
setengah empat sore. Pak Hanif menggeser kursi kemudian duduk sambil melihat
isterinya yang sedang menyeterika beberapa baju tak jauh dari meja makan dan
meja kerjanya.
“ Tadi pamit
keluar bersama temannya si Hanif, katanya mau menjenguk gurunya yang
sakit”, jawab isterinya tanpa menoleh
karena tanganya sibuk memasukkan baju ke hanger dan mencantilkanya pada paku
yang menancap di dinding di depanya.
“ Hanif ?”,
Tanya Pak Hanif sambil meletakkan gelas teh panas yang baru saj diseruputnya.
“ Ya Yah,…
namanya kok bisa sama dengan ayah ya?”, Kata isterinya sambil menoleh ke Pak
Hanif.
“ Mmmmm…,
mungkin orang tuanya pengagum Imam Abu Hanifah sehingga anaknya yang pertama
diberi nama Hanifah Mahbubati dan anaknya kedua diberi nama Hanif Mahbubi,
kadang begitulah orang kalau sudah kadung kagum dan cinta”, kata pak hanief
sambil bangkit dari kursinya menuju ke tempat isterinya yang sedang
menyeterika. Pak Hanif mengambil tumpukan baju yang sudah di seterika dan
membawanya ke dalam kamar dan meletakannya di dalam lemari.
“ Ayah kenal
keluarganya?”, Tanya isterinya sambil melepaskan sto kontak seterika karena
sudah selesai semua pekerjaanya.
“ Belum, tapi
nanti kita akan mengenalnya, Ayah Cuma kenal kakak Hanif yang namanya Hanifah
Mahbubati itu, dia murid Ayah di kelas sepuluh. Kita minggu lusa akan ke
rumahnya karena di undang Hanifah ulang tahun. Dia minta Ayah mendoakanya”,
jawab Pak Hanif sambil keluar dari kamar menuju ke tempat duduk semula.
“ Kok tumben
Ayah mau dating di acara anak-anak, acara ulang tahun pula”, kata isterinya sambil berjalan ke meja makan
dan mengambil sepiring pisang goreng kemudian di letakkan di meja kerja suaminya.
Kemudian ia mengambil kursi palastik yang tadi di gunakan untuk duduk waktu
menyeterika dan meletakkan di dekat suaminya lalu duduk.
“ Ayah juga
tidak tahu Ma, tapi Yah pingin sekali dating bersama Mama dan Rizal. Ayah
sangat penasaran degan kecerdasan dan sopan santun siswi Ayah yang satu ini…..”
“ Juga cantik
kan?” sela isterinya sambil mengambil
sepotong pisang goreng di depanya. Pak Hanif juga telah mengambil sepotong
tetapi tanganya terhenti tepat di depan mulutnya karena mendengar pertanyaan isterinya
yang di rasa agak aneh di hatinya, Pak Hanif tersenyum.
“ Terima kasih
Mama cemburu, itu pertanda Mama sangat mencintai Ayah, murid itu sama dengan
anak sendiri Ma,… Ayah sudah mengajar selama dua puluh empat tahun dan umur
ayah sudah kepala empat, mendekati setengah abad. Andaikan Ayah harus jatuh
cinta lagi, tentu bukan dengan murid sendiri,… “
“ Mama percaya
sama Ayah, mama cuman heran tidak biasanya Ayah menaruh perhatian yang begitu
istimewa pada murid ayah”, sela isterinya kemudin menggigit pisang goreng yang
sudah agak dingin itu pelan-pelan sambil ekor matanya mengerling pertanda ada
sesuatu yang dipikir.
“ Apa yang
membuat Ayah penasaran?” Tanya isterinya kemudian
“ Ayah hanya
ingin tahu seperti apa keluarga mereka,..” Jawab Pak Hanif, tetapi di hatinya
ia kurang yakin dengan jawabannya. Yang jelas, ada sesuatu dorongan yang kuat
di hatinya yang membuat ia harus dating, ia tidak tahu mengapa.
Nampak
isterinya mengangguk-anggukkan kepala. Pak Hanif tidak tahu apakah isternya
puas dengan jawabannya ataukah ada sesuatu di pikirannya. Ia segera mengambil
gelas teh hangat di depannya dan meminumya sampai habis untuk meredakan debaran
hatinya. Ekor matanya melirik isterinya, ada juga perasaan takut debaran
jantungnya yang tambah keras terdengar olehnya.
“ Ayah sudah
punya rencana ingin memberi hadiah apa,
biar mama nanti mama belikan sekalian belanja”, Tanya isterinya. Pak Hanif
hanya menggelengkan kepala.
“ Ayah tidak
tahu Ma…., oh ya pena saja Ma,”
“ Pena?”
“ Ya, pena
matahari Ayah”
“ Ayah ?!...”
Kali ini suara isteri pak Hanif agak tinggi karena terkejut hingga tanpa sadar
ia bangkit dari kursinya dan menatap suaminya lekat-lekat.
“ Ayah yakin,…
pena Ayah berpahat Matahariku itu sebagai hadiahnya, Padahal selama ini ayah
sudah tidak pernah menyentuhnya karena Ayah takut menyakiti hati Mama, pena itu
kenagan cinta pertama Ayah,… Ayah yakin itu hadiahnya?” Tanya isterinya sambil memegang kedua pundak
Pak hanief yang masih duduk di kursinya.
“ Mama,… Ayah
mencintai mama lebih dari apapun ,…” Pak hanif bangkit dari kursi dan memeluk
isterinya, di dekat telinga isterinya ia berkata,
“ pena itu
bagian dari cerita lama yang harus ayah akhiri, ayah ingin membuangnya,
menguburnya, tapi benda itu harus bermanfaat untuk seseorang,…. Sejujurnya Ayah
juga tidak tahu mengapa hati ayah tergerak untuk memberikanya,… Mama paling
tahu kan kalau ayah selalu mengikuti kata hati, bukan perasaan ?”
“ Baiklah yah,
Mama menuruti Ayah, bukan karena kewajiban isteri, tapi mama mengenal ayah,
mama percaya dengan ayah,… Ayah tidak pernah menurutkan emosi…”
“ Terima kasih
Ma”, Kata Pak Hanif lirih di telinga isterinya kemudian mencium kening
isterinya dan mempererat pelukannya dengan segenap cinta.
******
Tampak sebuah
bis pariwisata parkir di jalan depan rumah mewah no17 Jalan Melati. Pak Hanif
tidak menyangka kalau Hanifah berasal dari keluarga yang kaya raya, sebab
penampilanya di sekolah tidak menyolok dan terkesan sederhana. Pak hanif
memarkirkan panthernya tepat dibelakang bis itu dekat gerbang megah rumah
hanifah.
Seorang satpam
seusia pak Hanif telah menunggu di depan pintu gerbang. Ketika melihat Rizal
dan kedua orang tuanya turun dari mobil senyum pak satpam tersunging lebar.
Rizal balas tersenyu dan melambaikan tangan.
“
Assalamu’alaikum Pak No, “ sapa Rizal.
“ Wa’alaikum
salam Nak Rizal” balas pak satpam seraya
berlari kecil menghampiri Rizal.
“ maaf, ini
pasti Bapak dan Ibu Hanif bukan?” Tanya pak
satpam
“ Benar pak, “
jawab pak hanif sambil mengulurkan tangan menjabat tangan pak satpam. Pak hanif
sempat melihat tulisan M. SAMPOERNO di
atas saku baju seragamnya.
“ Silahkan pak,
sudah di tunggu sejak tadi, ”
“ terima kasih,
mari pak “ jawab pak Hanif.
Rizal dan kedua
orangtuanya berjalan melewati taman yang sangat asri di depan rumah megah itu
menuju pintu utama. Belum sampai di depan pintu tampak gadis cantik berjilbab
yang sudah tak sing bagi Pak Hanif berlari-lari kecil menyambut mereka. Hanifah
nampak cerah sekali, Pak Hanif sudah dating bersama keluarganya.
“
Assalamu’alaikum..” Pak Hanif mendahului menyapa
“ Wa’alaikim
salam warahmah “ jawab hanifah sambil sedikit menbungkukan badan dan merapatkan
kedua telapak tangan di atas dada.
“ kenalkan ini
isteri bapak “, pak hanif menoleh ke istrerinya yang sedang tersenyum kagum
atas pesona anak gadis yang menjadi murid suaminya.
“ dia memang
cantik, anggun dan tampak cerdas serta sopan dan santun, pantas ayah sangat
perhatian padanya” isteri pak hanif
membatin dan tanpa sadar mengangguk-anggukan kepala.
Hanifah segera
menghampir isteri gurunya itu dan meraih tangannya, menyalaminya serta
menciumnya. Tanpa sadar, seperti ada yang menggerakkan tangan kiri isteri pak
hanif pun memeluk hanifah dan mencium kening dan kedua pipinya. Hanifah
meraskan ada damai dan perasaan nyaman di hatinya. Ia merasakan seperti di peluk
ibunya ketika hatinya sedang gundah.
“ Selamat ya
nak…”, Kata isteri pak hanif sambil
memegang kedua pundak Hanifah dan memandangnya dengan lekat.
“ Terima kasih
Bu, ” jawab hanifah sambil memandang
wajah isteri gurunya yamg teduh dan keibuan itu lalu menundukkan kepala.
Wibawanya membuat Hanifah merasa jengah untuk memendangnya.
“ Selamat ulang
tahun ya Kak, semoga tambah cantik hehehehe” Kata rizal menyela.
“ Terima kasih
dik Rizaal, tapi masak doainya kakak kok gitu, kakak kan emang dari sononya sudah
cantik, hehehehe” kata hanifah
“ mmmmm…. Yow
is semoga tambah pinter aja “
“
Amien..,” jawab hanifah di ikuti kedua
orang tua Rizal.
“ Oh ya, ini
hadiah dari Rizal, dan yang besar ini mama trus yang kecil ini dari Ayah”, kata Rizal sambil menyerahkan tiga kado untuk
Hanifah.
“ terima
kasih,…” kata hanifah menerima kado dari
tangan Rizal. Kemudian hanifah mempersilahkan mereka masuk .
“Assalamu’alaikum
…” Pak hanif mengucapkan salam begitu
langkanhya sudah sampai di depan pintu.
“ Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakatuh “
Seluruh yang ada diruangan itu menjawab salam. Ada sekitar empat puluhan
anak. Hampir semuanya anak-anak itu seusia
Rizal. Hanya hanya ada empat
orang dewasa sebagai pengasuh atau guru mereka . Pak hanif membatin, mungkin dari
dari sebuah yayasan yatim piatu. Hanifah permisi sebentar untuk masuk ke
kamarnya menaruh kado sekalian memanggil kedua orang tuanya yang masih
menyiapkan amplop untuk anak-anak.
Seorang
laki-laki seusia dirinya berdiri dan
berjalan sambil tersenyum ke arah pak Hanif di ikuti seorang wanita
seusia isterinya. Pak Hanif membalas tersenyum meskipun tidak mengenalnya. Tapi ia yakin itu bukan orang
tua Hanifah karena Haniafah tadi akan memanggil kedua orang tuanya yang sedang
di kamar.
“ Apa kabar
Hanif,.., tentu kamu sudah lupa dengan si sedet,… aku Rozak, Nip “ orang itu
menyapa ketika kurang dua langkah dari Pak Hanif.
“ Rozak…!” seru
Pak Hanif sambil melangkahkan kaki lalu memeluknya.
“Maaf ya, aku
pangling, kamu tambah gemuk dan gagah, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan
bekas luka di alismu” Kata Pak Hanif.
“ Hahahaha….”
Pak Rozak dan Pak Hanif tertawa.
“ Bagaimana
bisa lupa wong kamu yang membuatnya, oh ya kenalkan ini isteri saya” Kata Pak
Rozak memperkenalkan isterinya. Pak Hanif juga memperkenalkan ister dan
putranya.
“Anak-anak yatim
inilah sekarang yang menemani dan mengisi hari-hari kami, semuanya berkat kedermawanan
dan ketulusan hati kedua orang tua Hanifah….”
“Maaf Pak Hanif
Pak Rozak,….” Kata Hanifah memotong percakapan Pak Rozak dan Pak Hanif. Saking
asiknya melepas kangen, mereka tidak menyadari kedatangan Hanifah dan kedu
orang tuanya.
Dan alangkah
terkejutnya ketika Pak Hanif menoleh dan melihat kedua orang tua Hanifah.
Tetapi segera ia mengusai diri.
“Dik Hendro,….
Latifah….” Panggil Pak Hanif sambil menatap mereka bergantian. Kemudian
tatapannya di alihkan ke Hanifah. Hanifah pun memandang Pak Hanif dengan heran
lalu menunduk
“Benar Mas,
kamilah orang tua Hanifah, terima kasih atas kedatangan Mas Hanif sekeluarga”
Kata Ayah Hanifah sambil mengulurkan tangan. Pak Hanif menjabatnya erat-erat.
Ibu Hanifah hanya menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum kemudian
menundukkan kepala menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Menahan air
matanya agar tidak jatuh.
“Oh ya ini
perkenalkan ini isteri saya…… Mama, mereka adalah teman sepermainan Ayah” Kata
Pak Hanif.
Latifah segera
memeluk isteri Pak Hanif erat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tumpahkan
dari relung hatinya. Dan air matanya pun menetas karena tak kuat hati
membendungnya,
“Terima
kasih,…. Maafkan saya Mbak” kata Latifah
di telinga isteri Pak Hanif pelan. Hampir tak terdengar.
******
Jam di meja
belajar Hanifah menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Shodaqollahul
‘adziem,….” Hanifah menutup Kitab Suci yang baru selesai dibacanya sejak usai
sholat maghrib tadi dan meletakkan di meja belajarnya. Masih mengenakan mukena
ia keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan makan
malam bersama Bu Siti di ruang makan.
” Boleh Hanifah
bicara sama Ibu?”
“Sepertinya kok
penting, ada apa sayang?”
“Di kamar
Hanifah saja Bu”
Mereka menuju
ke kamar Hanifah. Setelah menutup pintu kamarnya, Hanifah menghampiri ibunya
yang sudah duduk di bibir ranjang. Ia duduk di karpet di depan ibunya. Kedua
tanganya di ditaruh atas kedua lutut ibunya.
“Sejak ultah
Hanifah seminggu yang lalu, Pak Hanif beda banget sama Hanifah Bu,….. beliau
kelihatan gugup kalau Hanifah memberi salam atau menyapa, Hanifah jadi merasa
gak enak dan bersalah “
“Mungkin itu
perasaanmu saja, sayang”
“Tidak Bu,
benar!… Bahkan beliau tadi pagi salah sebut nama, masak yang beliau sebut nama
ibu waktu menyuruhku membaca, untung teman sekelasku gak ada yang tahu nama
Ibu,…”
“Benarkah begitu?....
dia masih masih menyebut namaku?....Ehm, maksud Ibu beliau menyebut nama Ibu?”
“Hehehehe…..
ternyata bukan cuma beliau yang aneh,
Ibu juga aneh,…. Sebenarnya ibu sama Pak Hanif bukan sekedar teman kan?”
Ibu Hanifah
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dengan berat. Hanifah meletakkan
kepalanya di pangkuan ibunya.
“Baiklah, Ibu
akan cerita,... Sejak bayi Ibu dan Pak Rozak tinggal dan di besarkan di pantai
asuhan itu. Ketika kelas satu Tsanawiyah, ada yang mengangkat ibu sebagai anak
asuh untuk disekolahkan di kota”
“Dan Pak Hanif?”
“Pak Hanif adalah anak dari guru Ibu saat di Tsanawiyah, kakak kelas ibu”
“Apakah Ibu
ketemu lagi dengan Pak Hanif?”
“Ya, seteleh
lama berpisah kami bertemu lagi. Saat itu Pak Hanif masih kuliah dan ibu sudah
bertunangan dengan Ayahmu”
“Apakah Ayah
tahu tentang hubungan ibu dengan Pak Hanif?”
“Ayahmu tahu
semuanya, …. Ayahmu mencintai Ibu lebih dari apapun”
“Tapi cinta ibu
hanya Pak Hanif, kan?”
“Kelak kamu
akan tahu bagaimana kamu harus menerima dan memperlakukan cinta dengan syukur
dan hormat”.
Hanifah diam,
mencoba memahami perkataan ibunya. Ia berdiri lalu menuju meja belajar mengambil
pena. Kemudian kembali menghampiri
ibunya dan duduk di sampingnya.
“Oh ya Bu, Pak Hanif
menjadikan Hanifah sebagai mataharinya”
“Matahari?”
Tanya ibunya sambil mengernyitkan kening dan menatap Hanifah. Hanifah
mengaggukkan kepala.
“Ini Bu, beliau
memahatnya di pena ini dan menghadiahkanya padaku” Kata Hanifah sambil
memperlihatkan pena perak berkilau kepada ibunya.
“Subhanallah…..” Puji Ibunya
lirih dengan bibir gemetar.
*****
“… meskipun
selama ini tiada pernah terucap kata cinta, tapi aku tahu dan dapat merasakan
getarannya, walau terkadang ada juga keraguan di hatiku… hingga Mas Hanif
mengatakannya dalam surat yang telah kuterima tiga hari yang lalu. Sungguh,
ucapan itu yang selalu kunanti dan kutunggu.
Maafkan Latifah
Mas Hanif, sungguh bukan, bukan aku tidak cinta, hanya Allah dan Rasulnya
sajalah yang dapat mengalahkan cintaku kepada Mas Hanif.
Aku yakin Mas Hanif pasti mengerti dan mafhum benar
dengan masalah ini, bahwa tidak boleh menghitbah di atas khitbah saudaranya.
Keluarga Mas Hendro telah meminangku seminggu yang lalu. Bukan, bukan aku lebih
memilih Mas Hendro, tetapi aku lebih memilih syari’at yang aku yakini. Aku
berdoa semoga kelak Mas Hanif memperoleh isteri yang lebih cinta dan lebih baik
dariku.
Bersama ini
terimalah juga pena yang kupakai untuk menuliskan surat ini. Meski bukan
jodohku, Mas Hanif akan selalu menjadi matahariku. Selama pena ini masih
disimpan itu pertanda matahariku masih menyinari hatiku dengan cinta, doa dan
kilau kebenaran…”
Pak Hanif
menyalakan korek api, kemudian menyulut surat yang baru dibacanya itu. Api
keunguan melahap kertas yang telah berumur enam belas tahun itu hingga menjadi
abu .
“Ayah, ayah di
sini rupanya, apa yang ayah bakar ?”
Kata Bu Hanif ketika menemukan asal bau sesuatu terbakar di teras
rumahnya. Pak Hanif tidak menjawab. Ia merangkul isterinya dan membibingnya
masuk rumah.
16:43
Surabaya, 02-06-2011
Tanda
cinta boleh musnah
Tapi
cinta takkan punah
Setelah
mengucapkan salam Pak Hanif keluar dari kelas. Tetapi langkahnya terhenti
karena pintu kelas yang baru saja ditutup terdengar dibuka lagi dari dalam.
“Permisi Pak,….
Eeee ini untuk Bapak” Ifa murid tercantik dan terpandai di kelas sepuluh
multimedia tiga itu menyerahkan undangan ke Pak Hanief.
“Ulang tahun?”
Tanya Pak Hanif setelah membaca undangan di tangannya. Ifa hanya mengangguk.
‘Mohon datang
ya Pak, Ifa pingin didoakan bapak”, Jawab Ifa sambil menatap wajah gurunya
penuh harap lalu kembali menunduk. Ifa memang tidak berani berdu mata dengan
Pak Hanif, entah mengapa, sepertinya ada sesuatu di hatinya. Padahal dengan
guru yang lain ifa merasa biasa saja. Bukan, bukan cinta yang dirasakan olehnya.
Sama sekali bukan, tapi sesuatu yang membuatnya hormat dan ingin selalu dekat
karena damai sedamai tatapan ibunya.
“Insya Allah, …
bolehkah Bapak mengajak isteri dan anak bapak ?” Tanya Pak Hanif.
“Oh,… dengan
senang hati pak, Ifa senang kalo adik Rizal juga datang”, jawab Ifa sambil
tersenyum dan mencium kedua tanganya sendiri seperti yang ia lakukan setiap
selesai berdoa.
“Ifa kenal
Rizal anak Bapak?” Pak Hanif mengernyitkan keningnya hingga alisnya hampir
bertemu karena merasa heran.
“Ya Pak, Rizal
teman sekelas adik Ifa, namanya Hanif Mahbubie, maaf nama depannya kebetulan
sama dengan nama Bapak,.. mereka sering belajar bersama di rumah kami …..”
“Oh….., apakah
dia nakal?’|”
“Tidak Pak,
bahkan kami sekeluarga sangat senang terutama ibuku,… dik Rizal sangat pandai
dan santun, dua minggu lalu Ifa baru tahu kalau dik Rizal adalah putra Bapak ”
“ Oooo…
begitu….”, Pak hanif mengangguk-anggukkan kepala.
“Mmmm… terima
kasih Pak, atas kesediaan Bapak ,hari Minggu lusa kami tunggu,
Assalamualaikum..” Kata Ifa mengakhiri percakapanya karena Nampak olehnya Bu
Ruri yang akan mengajar jam berikutnya sudah keluar dari kelas sepuluh
multimedia satu menuju ke kelasnya.
“Wa’alaikum
salam warohmah” jawab Pak Hanif kemudian segera berjalan menuju kelas yang baru
saja ditinggalkan Bu Ruri. Ifa pun segera masuk ke kelasnya dengan senyum
dikulum dan wajah lebih cerah.
******
Pak hanif keluar dari kamar sambil melepas kopiyah hitam
dari kepalanya. Nampak rambutnya yang pendek dan rapi itu telah berhias
beberapa uban putih laksana perak berkilau. Di letakannya kopiyah di atas
tumpukan beberapa buku yang berbaris rapi di atas meja kerjanya di ruang tengah
rumah sedrhana itu.
“Ma, Rizal
mana? “ Pak Hanif menanyakan putra
tunggalnya yang masih kelas tujuh itu kepada isterinya sambil melihat arloji
yang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam telah menunjukkan
setengah empat sore. Pak Hanif menggeser kursi kemudian duduk sambil melihat
isterinya yang sedang menyeterika beberapa baju tak jauh dari meja makan dan
meja kerjanya.
“ Tadi pamit
keluar bersama temannya si Hanif, katanya mau menjenguk gurunya yang
sakit”, jawab isterinya tanpa menoleh
karena tanganya sibuk memasukkan baju ke hanger dan mencantilkanya pada paku
yang menancap di dinding di depanya.
“ Hanif ?”,
Tanya Pak Hanif sambil meletakkan gelas teh panas yang baru saj diseruputnya.
“ Ya Yah,…
namanya kok bisa sama dengan ayah ya?”, Kata isterinya sambil menoleh ke Pak
Hanif.
“ Mmmmm…,
mungkin orang tuanya pengagum Imam Abu Hanifah sehingga anaknya yang pertama
diberi nama Hanifah Mahbubati dan anaknya kedua diberi nama Hanif Mahbubi,
kadang begitulah orang kalau sudah kadung kagum dan cinta”, kata pak hanief
sambil bangkit dari kursinya menuju ke tempat isterinya yang sedang
menyeterika. Pak Hanif mengambil tumpukan baju yang sudah di seterika dan
membawanya ke dalam kamar dan meletakannya di dalam lemari.
“ Ayah kenal
keluarganya?”, Tanya isterinya sambil melepaskan sto kontak seterika karena
sudah selesai semua pekerjaanya.
“ Belum, tapi
nanti kita akan mengenalnya, Ayah Cuma kenal kakak Hanif yang namanya Hanifah
Mahbubati itu, dia murid Ayah di kelas sepuluh. Kita minggu lusa akan ke
rumahnya karena di undang Hanifah ulang tahun. Dia minta Ayah mendoakanya”,
jawab Pak Hanif sambil keluar dari kamar menuju ke tempat duduk semula.
“ Kok tumben
Ayah mau dating di acara anak-anak, acara ulang tahun pula”, kata isterinya sambil berjalan ke meja makan
dan mengambil sepiring pisang goreng kemudian di letakkan di meja kerja suaminya.
Kemudian ia mengambil kursi palastik yang tadi di gunakan untuk duduk waktu
menyeterika dan meletakkan di dekat suaminya lalu duduk.
“ Ayah juga
tidak tahu Ma, tapi Yah pingin sekali dating bersama Mama dan Rizal. Ayah
sangat penasaran degan kecerdasan dan sopan santun siswi Ayah yang satu ini…..”
“ Juga cantik
kan?” sela isterinya sambil mengambil
sepotong pisang goreng di depanya. Pak Hanif juga telah mengambil sepotong
tetapi tanganya terhenti tepat di depan mulutnya karena mendengar pertanyaan isterinya
yang di rasa agak aneh di hatinya, Pak Hanif tersenyum.
“ Terima kasih
Mama cemburu, itu pertanda Mama sangat mencintai Ayah, murid itu sama dengan
anak sendiri Ma,… Ayah sudah mengajar selama dua puluh empat tahun dan umur
ayah sudah kepala empat, mendekati setengah abad. Andaikan Ayah harus jatuh
cinta lagi, tentu bukan dengan murid sendiri,… “
“ Mama percaya
sama Ayah, mama cuman heran tidak biasanya Ayah menaruh perhatian yang begitu
istimewa pada murid ayah”, sela isterinya kemudin menggigit pisang goreng yang
sudah agak dingin itu pelan-pelan sambil ekor matanya mengerling pertanda ada
sesuatu yang dipikir.
“ Apa yang
membuat Ayah penasaran?” Tanya isterinya kemudian
“ Ayah hanya
ingin tahu seperti apa keluarga mereka,..” Jawab Pak Hanif, tetapi di hatinya
ia kurang yakin dengan jawabannya. Yang jelas, ada sesuatu dorongan yang kuat
di hatinya yang membuat ia harus dating, ia tidak tahu mengapa.
Nampak
isterinya mengangguk-anggukkan kepala. Pak Hanif tidak tahu apakah isternya
puas dengan jawabannya ataukah ada sesuatu di pikirannya. Ia segera mengambil
gelas teh hangat di depannya dan meminumya sampai habis untuk meredakan debaran
hatinya. Ekor matanya melirik isterinya, ada juga perasaan takut debaran
jantungnya yang tambah keras terdengar olehnya.
“ Ayah sudah
punya rencana ingin memberi hadiah apa,
biar mama nanti mama belikan sekalian belanja”, Tanya isterinya. Pak Hanif
hanya menggelengkan kepala.
“ Ayah tidak
tahu Ma…., oh ya pena saja Ma,”
“ Pena?”
“ Ya, pena
matahari Ayah”
“ Ayah ?!...”
Kali ini suara isteri pak Hanif agak tinggi karena terkejut hingga tanpa sadar
ia bangkit dari kursinya dan menatap suaminya lekat-lekat.
“ Ayah yakin,…
pena Ayah berpahat Matahariku itu sebagai hadiahnya, Padahal selama ini ayah
sudah tidak pernah menyentuhnya karena Ayah takut menyakiti hati Mama, pena itu
kenagan cinta pertama Ayah,… Ayah yakin itu hadiahnya?” Tanya isterinya sambil memegang kedua pundak
Pak hanief yang masih duduk di kursinya.
“ Mama,… Ayah
mencintai mama lebih dari apapun ,…” Pak hanif bangkit dari kursi dan memeluk
isterinya, di dekat telinga isterinya ia berkata,
“ pena itu
bagian dari cerita lama yang harus ayah akhiri, ayah ingin membuangnya,
menguburnya, tapi benda itu harus bermanfaat untuk seseorang,…. Sejujurnya Ayah
juga tidak tahu mengapa hati ayah tergerak untuk memberikanya,… Mama paling
tahu kan kalau ayah selalu mengikuti kata hati, bukan perasaan ?”
“ Baiklah yah,
Mama menuruti Ayah, bukan karena kewajiban isteri, tapi mama mengenal ayah,
mama percaya dengan ayah,… Ayah tidak pernah menurutkan emosi…”
“ Terima kasih
Ma”, Kata Pak Hanif lirih di telinga isterinya kemudian mencium kening
isterinya dan mempererat pelukannya dengan segenap cinta.
******
Tampak sebuah
bis pariwisata parkir di jalan depan rumah mewah no17 Jalan Melati. Pak Hanif
tidak menyangka kalau Hanifah berasal dari keluarga yang kaya raya, sebab
penampilanya di sekolah tidak menyolok dan terkesan sederhana. Pak hanif
memarkirkan panthernya tepat dibelakang bis itu dekat gerbang megah rumah
hanifah.
Seorang satpam
seusia pak Hanif telah menunggu di depan pintu gerbang. Ketika melihat Rizal
dan kedua orang tuanya turun dari mobil senyum pak satpam tersunging lebar.
Rizal balas tersenyu dan melambaikan tangan.
“
Assalamu’alaikum Pak No, “ sapa Rizal.
“ Wa’alaikum
salam Nak Rizal” balas pak satpam seraya
berlari kecil menghampiri Rizal.
“ maaf, ini
pasti Bapak dan Ibu Hanif bukan?” Tanya pak
satpam
“ Benar pak, “
jawab pak hanif sambil mengulurkan tangan menjabat tangan pak satpam. Pak hanif
sempat melihat tulisan M. SAMPOERNO di
atas saku baju seragamnya.
“ Silahkan pak,
sudah di tunggu sejak tadi, ”
“ terima kasih,
mari pak “ jawab pak Hanif.
Rizal dan kedua
orangtuanya berjalan melewati taman yang sangat asri di depan rumah megah itu
menuju pintu utama. Belum sampai di depan pintu tampak gadis cantik berjilbab
yang sudah tak sing bagi Pak Hanif berlari-lari kecil menyambut mereka. Hanifah
nampak cerah sekali, Pak Hanif sudah dating bersama keluarganya.
“
Assalamu’alaikum..” Pak Hanif mendahului menyapa
“ Wa’alaikim
salam warahmah “ jawab hanifah sambil sedikit menbungkukan badan dan merapatkan
kedua telapak tangan di atas dada.
“ kenalkan ini
isteri bapak “, pak hanif menoleh ke istrerinya yang sedang tersenyum kagum
atas pesona anak gadis yang menjadi murid suaminya.
“ dia memang
cantik, anggun dan tampak cerdas serta sopan dan santun, pantas ayah sangat
perhatian padanya” isteri pak hanif
membatin dan tanpa sadar mengangguk-anggukan kepala.
Hanifah segera
menghampir isteri gurunya itu dan meraih tangannya, menyalaminya serta
menciumnya. Tanpa sadar, seperti ada yang menggerakkan tangan kiri isteri pak
hanif pun memeluk hanifah dan mencium kening dan kedua pipinya. Hanifah
meraskan ada damai dan perasaan nyaman di hatinya. Ia merasakan seperti di peluk
ibunya ketika hatinya sedang gundah.
“ Selamat ya
nak…”, Kata isteri pak hanif sambil
memegang kedua pundak Hanifah dan memandangnya dengan lekat.
“ Terima kasih
Bu, ” jawab hanifah sambil memandang
wajah isteri gurunya yamg teduh dan keibuan itu lalu menundukkan kepala.
Wibawanya membuat Hanifah merasa jengah untuk memendangnya.
“ Selamat ulang
tahun ya Kak, semoga tambah cantik hehehehe” Kata rizal menyela.
“ Terima kasih
dik Rizaal, tapi masak doainya kakak kok gitu, kakak kan emang dari sononya sudah
cantik, hehehehe” kata hanifah
“ mmmmm…. Yow
is semoga tambah pinter aja “
“
Amien..,” jawab hanifah di ikuti kedua
orang tua Rizal.
“ Oh ya, ini
hadiah dari Rizal, dan yang besar ini mama trus yang kecil ini dari Ayah”, kata Rizal sambil menyerahkan tiga kado untuk
Hanifah.
“ terima
kasih,…” kata hanifah menerima kado dari
tangan Rizal. Kemudian hanifah mempersilahkan mereka masuk .
“Assalamu’alaikum
…” Pak hanif mengucapkan salam begitu
langkanhya sudah sampai di depan pintu.
“ Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakatuh “
Seluruh yang ada diruangan itu menjawab salam. Ada sekitar empat puluhan
anak. Hampir semuanya anak-anak itu seusia
Rizal. Hanya hanya ada empat
orang dewasa sebagai pengasuh atau guru mereka . Pak hanif membatin, mungkin dari
dari sebuah yayasan yatim piatu. Hanifah permisi sebentar untuk masuk ke
kamarnya menaruh kado sekalian memanggil kedua orang tuanya yang masih
menyiapkan amplop untuk anak-anak.
Seorang
laki-laki seusia dirinya berdiri dan
berjalan sambil tersenyum ke arah pak Hanif di ikuti seorang wanita
seusia isterinya. Pak Hanif membalas tersenyum meskipun tidak mengenalnya. Tapi ia yakin itu bukan orang
tua Hanifah karena Haniafah tadi akan memanggil kedua orang tuanya yang sedang
di kamar.
“ Apa kabar
Hanif,.., tentu kamu sudah lupa dengan si sedet,… aku Rozak, Nip “ orang itu
menyapa ketika kurang dua langkah dari Pak Hanif.
“ Rozak…!” seru
Pak Hanif sambil melangkahkan kaki lalu memeluknya.
“Maaf ya, aku
pangling, kamu tambah gemuk dan gagah, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan
bekas luka di alismu” Kata Pak Hanif.
“ Hahahaha….”
Pak Rozak dan Pak Hanif tertawa.
“ Bagaimana
bisa lupa wong kamu yang membuatnya, oh ya kenalkan ini isteri saya” Kata Pak
Rozak memperkenalkan isterinya. Pak Hanif juga memperkenalkan ister dan
putranya.
“Anak-anak yatim
inilah sekarang yang menemani dan mengisi hari-hari kami, semuanya berkat kedermawanan
dan ketulusan hati kedua orang tua Hanifah….”
“Maaf Pak Hanif
Pak Rozak,….” Kata Hanifah memotong percakapan Pak Rozak dan Pak Hanif. Saking
asiknya melepas kangen, mereka tidak menyadari kedatangan Hanifah dan kedu
orang tuanya.
Dan alangkah
terkejutnya ketika Pak Hanif menoleh dan melihat kedua orang tua Hanifah.
Tetapi segera ia mengusai diri.
“Dik Hendro,….
Latifah….” Panggil Pak Hanif sambil menatap mereka bergantian. Kemudian
tatapannya di alihkan ke Hanifah. Hanifah pun memandang Pak Hanif dengan heran
lalu menunduk
“Benar Mas,
kamilah orang tua Hanifah, terima kasih atas kedatangan Mas Hanif sekeluarga”
Kata Ayah Hanifah sambil mengulurkan tangan. Pak Hanif menjabatnya erat-erat.
Ibu Hanifah hanya menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum kemudian
menundukkan kepala menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Menahan air
matanya agar tidak jatuh.
“Oh ya ini
perkenalkan ini isteri saya…… Mama, mereka adalah teman sepermainan Ayah” Kata
Pak Hanif.
Latifah segera
memeluk isteri Pak Hanif erat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tumpahkan
dari relung hatinya. Dan air matanya pun menetas karena tak kuat hati
membendungnya,
“Terima
kasih,…. Maafkan saya Mbak” kata Latifah
di telinga isteri Pak Hanif pelan. Hampir tak terdengar.
******
Jam di meja
belajar Hanifah menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Shodaqollahul
‘adziem,….” Hanifah menutup Kitab Suci yang baru selesai dibacanya sejak usai
sholat maghrib tadi dan meletakkan di meja belajarnya. Masih mengenakan mukena
ia keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan makan
malam bersama Bu Siti di ruang makan.
” Boleh Hanifah
bicara sama Ibu?”
“Sepertinya kok
penting, ada apa sayang?”
“Di kamar
Hanifah saja Bu”
Mereka menuju
ke kamar Hanifah. Setelah menutup pintu kamarnya, Hanifah menghampiri ibunya
yang sudah duduk di bibir ranjang. Ia duduk di karpet di depan ibunya. Kedua
tanganya di ditaruh atas kedua lutut ibunya.
“Sejak ultah
Hanifah seminggu yang lalu, Pak Hanif beda banget sama Hanifah Bu,….. beliau
kelihatan gugup kalau Hanifah memberi salam atau menyapa, Hanifah jadi merasa
gak enak dan bersalah “
“Mungkin itu
perasaanmu saja, sayang”
“Tidak Bu,
benar!… Bahkan beliau tadi pagi salah sebut nama, masak yang beliau sebut nama
ibu waktu menyuruhku membaca, untung teman sekelasku gak ada yang tahu nama
Ibu,…”
“Benarkah begitu?....
dia masih masih menyebut namaku?....Ehm, maksud Ibu beliau menyebut nama Ibu?”
“Hehehehe…..
ternyata bukan cuma beliau yang aneh,
Ibu juga aneh,…. Sebenarnya ibu sama Pak Hanif bukan sekedar teman kan?”
Ibu Hanifah
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dengan berat. Hanifah meletakkan
kepalanya di pangkuan ibunya.
“Baiklah, Ibu
akan cerita,... Sejak bayi Ibu dan Pak Rozak tinggal dan di besarkan di pantai
asuhan itu. Ketika kelas satu Tsanawiyah, ada yang mengangkat ibu sebagai anak
asuh untuk disekolahkan di kota”
“Dan Pak Hanif?”
“Pak Hanif adalah anak dari guru Ibu saat di Tsanawiyah, kakak kelas ibu”
“Apakah Ibu
ketemu lagi dengan Pak Hanif?”
“Ya, seteleh
lama berpisah kami bertemu lagi. Saat itu Pak Hanif masih kuliah dan ibu sudah
bertunangan dengan Ayahmu”
“Apakah Ayah
tahu tentang hubungan ibu dengan Pak Hanif?”
“Ayahmu tahu
semuanya, …. Ayahmu mencintai Ibu lebih dari apapun”
“Tapi cinta ibu
hanya Pak Hanif, kan?”
“Kelak kamu
akan tahu bagaimana kamu harus menerima dan memperlakukan cinta dengan syukur
dan hormat”.
Hanifah diam,
mencoba memahami perkataan ibunya. Ia berdiri lalu menuju meja belajar mengambil
pena. Kemudian kembali menghampiri
ibunya dan duduk di sampingnya.
“Oh ya Bu, Pak Hanif
menjadikan Hanifah sebagai mataharinya”
“Matahari?”
Tanya ibunya sambil mengernyitkan kening dan menatap Hanifah. Hanifah
mengaggukkan kepala.
“Ini Bu, beliau
memahatnya di pena ini dan menghadiahkanya padaku” Kata Hanifah sambil
memperlihatkan pena perak berkilau kepada ibunya.
“Subhanallah…..” Puji Ibunya
lirih dengan bibir gemetar.
*****
“… meskipun
selama ini tiada pernah terucap kata cinta, tapi aku tahu dan dapat merasakan
getarannya, walau terkadang ada juga keraguan di hatiku… hingga Mas Hanif
mengatakannya dalam surat yang telah kuterima tiga hari yang lalu. Sungguh,
ucapan itu yang selalu kunanti dan kutunggu.
Maafkan Latifah
Mas Hanif, sungguh bukan, bukan aku tidak cinta, hanya Allah dan Rasulnya
sajalah yang dapat mengalahkan cintaku kepada Mas Hanif.
Aku yakin Mas Hanif pasti mengerti dan mafhum benar
dengan masalah ini, bahwa tidak boleh menghitbah di atas khitbah saudaranya.
Keluarga Mas Hendro telah meminangku seminggu yang lalu. Bukan, bukan aku lebih
memilih Mas Hendro, tetapi aku lebih memilih syari’at yang aku yakini. Aku
berdoa semoga kelak Mas Hanif memperoleh isteri yang lebih cinta dan lebih baik
dariku.
Bersama ini
terimalah juga pena yang kupakai untuk menuliskan surat ini. Meski bukan
jodohku, Mas Hanif akan selalu menjadi matahariku. Selama pena ini masih
disimpan itu pertanda matahariku masih menyinari hatiku dengan cinta, doa dan
kilau kebenaran…”
Pak Hanif
menyalakan korek api, kemudian menyulut surat yang baru dibacanya itu. Api
keunguan melahap kertas yang telah berumur enam belas tahun itu hingga menjadi
abu .
“Ayah, ayah di
sini rupanya, apa yang ayah bakar ?”
Kata Bu Hanif ketika menemukan asal bau sesuatu terbakar di teras
rumahnya. Pak Hanif tidak menjawab. Ia merangkul isterinya dan membibingnya
masuk rumah.
16:43
Surabaya, 02-06-2011
Tanda
cinta boleh musnah
Tapi
cinta takkan punah
0 komentar:
Posting Komentar