Rabu, 31 Desember 2014
TERIMA HASIH, ULFA
01.33
No comments
Jam di ruang tamu
baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam, sunyi,
sepi, senyap, dan dingin. Mungkin disebabkan
langit yang sedang menangis sejak maghrib tadi. Meski tidak deras, kesedihannya
merasuk juga di hati Rizal yang sedari tadi duduk di ruang tamu.
Lewat kaca jendela
dapat dilihatnya dengan jelas aneka bunga di taman depan rumahnya seakan menggigil, bukan segar lagi seperti
sore tadi. Juga pohon mangga manalagi
yang kini sudah tinggi,
setinggi dua kali badannya yang sudah berbuah beberapa kali juga tampak kuyup
di pojok kanan halaman depan rumahnya.
Suara gelegar guntur dan kilat
pun kadang-kadang masih terdengar dan menambah rasa resah dan gundah di hatinya.
“Ulfa, manalagimu selalu berbuah lebat,
buahnya selalu kujual dan hasilnya kuberikan kepada panti jompo seperti keinginanmu” Suara Rizal seperti bergumam.
Ingatan Rizal kembali terurai saat menanam pohon itu
lima tahun silam bersama Ulfa, adik sepupu satu-satunya pada waktu liburan panjang
kenaikan kelas. Saat itu Rizal tidak naik kelas enam danUlfa naik kelas lima.
“Ulfa tahu, kakak tidak bodoh, tapi kakak saat ini belum mau jadi orang pandai”kata Ulfa di kamar Rizal.
Rizal menghapus
air matany karena baru dimarahi orang tuanya. Kedua orang tua Rizal sangat kecewa
karena ia tidak naik kelas.
Seluruh nilai mata pelajaran mendapat nilai rata-rata lima kecuali Bahasa Indonesia, sembilan.
“Maafkan kak Rizal, ....Ulfa tidak
jadi keliling Surabaya dan rekreasi ke Malang karena kakak dihukum” Rizal berkata sambil menyeka air matanya.
“Gak apa-apa kak, Ulfa kesini kan mau main
sama Kakak, jadi gak mesti harus keliling kota” Jawab
Ulfa sambil duduk di samping Rizal di tepi tempat tidur lalu digenggamnya tangan Rizal.
“Ayo kak sarapan, nanti setelah itu main di luar, di halaman rumah”
“Males ah, kamu saja sendiri sana!”
“Kalau kakak gak mau,
Ulfa juga gak mau” jawab Ulfa.
“Fa, disuruh mama
sarapan, biarin aja kak Rizal di kamar, dia kan lagi dihukum” Kata
Ana, adik Rizal yang
tiba-tiba nongol dari pintu kamar.
“Gara-gara kakak, liburanku jadi kacau” Sambung Ana dengan ketus. Rizal hanya
menatapnya tajam. Jika tidak ada
Ulfa, tentu Ana sudah dilempar
dengan bantal atau sesuatu yang ada di dekatnya.
“Mbak Ana kok gitu
sih, kasihan kakak kan” Sahut
Ulfa.
“Jangan dikasihani
Fa, ntar tambah manja, mama aja sampe marah” Jawab Ana
“Sudah lah mbak Ana, jangan ngomelin kakak terus dong, … ayo sarapan! “ Ajak Ulfa sambil berdiri dari tempat tidur lalu menarik tangan Ana keluar dari kamar.
Tidak lama kemudian Ulfa sudah kembali ke kamar Rizal
dengan membawa dua piring nasi lengkap dengan lauknya. Juga tidak lupa sebotol
air dingin yang diapit dibawah ketiak lengan kirinya. Dengan terburu buru diletakkan
dua piring nasi dan sebotol air dingin
yang dikempitnya tadi di meja belajar Rizal. Ulfa bergidik sambil
menggerak-gerakkan lengan kirinya karena kedinginan. Rizal tersenyum melihat
tingkah Ulfa.
“ Pagi yang cerah
!“ Kata Ulfa sambil melirik Rizal
“ Mendung tuch,...” Jawab Rizal
“ Cerahnya
senyum di wajah mengalahkan cerah matahari pagi ! “ Suara Ulfa menirukan sastrawan yang sedang
membaca puisi.
“ Preettt......! “
Rizal memonyongkan mulutnya
“ Itu kan penggalan puisi kakak yang di muat di
Majalah Pendidikan tiga bulan lalu, kakak tuch sebenarnya hebat“ Kata Ulfa sambil menyerahkan sepiring nasi kepada Rizal.
“ Terima kasih, kamu mau membacanya, tapi ayah
kurang suka aku jadi pengarang, ayah pinginya aku pinter matematika dan
IPA katanya biar jadi dokter “ Kata Rizal sambi menerima piring dari Ulfa.
“ Tapi caranya jangan pake ngambek gak mau
belajar, Kakak mesti tunjukin kalau jadi
pengarang kakak juga bisa hebat,... Eit, stop !, baca basmalah dulu dan berdoa,
kita kan bukan kambing, hehehe “ Kata Ulfa
menghentikan sendok nasi Rizal yang hampir masuk mulutnya. Rizal meletakkan
kembali sendoknya di piring lalu berdoa dengan suara keras karena kesal.
“ Bismillaaaahirrohmaaaanirrohiiiiiiim....,
Allahumma bariklana fiimaa rozaktana waqina azaa...bannaaaar..., ” Suara Rizal
sampai terdengar dari ruang makan. Kedua orang tuanya yang sedang makan hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tahu,itu pasti karena ulah Ulfa.
Ulfa yang duduk dimeja belajar Rizal tersenyum
melihat tingkah Rizalyang sedang duduk di tepi ranjang sambil memegang piring.
“ Kak......, Tuhan itu tidak tuli kan? Jadi
do’annya cukup bisa didengar sendiri saja...,”
Tidak lama kemudian tuntaslah nasi dipiring
mereka. Rizal turun dari ranjang menuju meja belajar meletakkan piring dan
mengambil air dingin di botol dan langsung meminumnya. Masih memegang botol Rizal
menggerak-gerakkan lidah diantara dua bibirnya seperti merasakan sesuatu.
“ Ada apa kak ?” Tanya Ulfa yang duduk
disampingnya sambil meletakkan piring diatas piring Rizal.
“ Air minumnya rasanya aneh..........., bau
ketiak....hehehehe....” Kata Rizal sambil memasang wajah serius memperhatikan botol di tangannya. Ketawa Rizal sangat
lepas. Padahal sepuluh menit lalu dia menangis.
”Ulfa..., mama mau jalan-jalan sama Budhe, mau
ikut gak?” Kata mama Ulfa setelah masuk ke kamar Rizal.
“ Ulfa mau main sama kakak saja di rumah, mau
berkebun di halaman rumah “
“ Apa?, berkebun ?”
“ Iya Ma, apa ajalah pokoknya main sama kakak di
rumah “ Jawab Ulfa sambil mengangkat
piring untuk diserahkan Bu Ijah yang sedang beres-beres meja makan.
“ Ya udah, tapi hati-hati ya....., kak Rizal jaga
adik baik-baik ya?” Kata mama Ulfa
kemudian keluar menyusul Ibu Rizal dan Ana yang sudah di garasi.
Sekembalinya dari menaruh piring Ulfa langsung
dicecar pertanyaan oleh Rizal.
“ Apa benar kita mau berkebun? “
“ Ya...,” Jawab Ulfa sambil mengangguk
“Ayah pernah bilang salurkan hobi dengan kegiatan
yang bermanfaat, kan menanam pohon asik juga, lagian kalau berbuah kan ada
hasilnya” SambungUlfa.
“ Ya kalo hidup, kalo mati? “ kata Rizal ketus
“ Gak boleh gitu kak, mesti kita rawat agar hidup,....
kalau kita rajin pasti akan ada hasilnya, kalau malas ya gak dapat apa-apa “
“ Malas ah, “
“ Nah,........ benar kata ayah, malas dan gak
mau mencoba adalah penyebab dari kegagalan, “
“ Iya bu guru....,” kata Rizal sambil memonyongkan
mulutnya.
“ Eit, aku bukan guru,... lagian cita-citaku ingin
jadi dokter yang merawat orang-orang yang sudah tua “
“ Di panti jompo?”
“Ya, aku pernah di ajak ayah ke panti jompo....,
cita-cita kakak apa?” tanya Ulfa. Rizal tidak segera menjawab.
“ Gak tau ah....
“
“Kakak ini bikin Ulfa sebel dech,...”
“ Emang kakak gak tau pasti,..... tapi,....kadang
pingin jadi dokter, kadang polisi, kadang pengarang, kadang ustadz,......”
“ Hehehehehe,....”
“ Ngetawain aku ya”?
“ Ulfa bayangin kakak jadi ustadz, pasti kalau
lagi baca do’a monyong kayak tadi, hehehe...”
“ Dherrr,....... “ Suara petir mengagetkan Rizal
dan membuyarkan lamunannya pada Ulfa.
“ Subhanallah,... “
Rizal menoleh ke arah suara yang memuji Tuhan.
Ternyata mamanya sudah ada disampingnya yang juga kaget oleh suara petir yang
sangat keras tadi.
“ Mmmama?! “
“ Kamu
kenapa nak, senyum-senyum tapi kok menangis....., pasti sedang bahagia karena
besok akan berangkat ke Jakarta menerima penghargaan sastra kan ?” Kata ibunya
sambil duduk di sampingnya lalu mengelus-ngelus bahunya. Rizal tambah terisak.
“ Mama...,Ulfa.... Ma, Rizal kangen sama Ulfa
Ma,...“ Tangis Rizal pecah, dipeluknya mama erat-erat.
“ Astaghfirullah
Rizal...., Istighfar Nak , adikmu Ulfa sudah tentram disisi Tuhan,...
Sudah cukup kamu menangisinya , sudah lima tahun Nak, Jangan ditangisi lagi...,
biarkan adikmu tentram”.
“Mama...,” Tangis Rizal tambah menjadi. Mama
memeluknya dengan erat, dibiarkanya semua perasaan Rizal tumpah. Tidak lama
tangis Rizal pun mulai reda.
“ Tolong Rizal ma..., Rizal ingin berbuat sesuatu
untuk Ulfa, Rizal ingin berterima kasih, karena Ulfalah Rizal sekarang bisa
seperti ini, tolonglah Ma...”
Mama tidak segera menjawab. Mama menarik nafas
dalam-dalam dan dihembuskanya dengan berat, butiran bening meleleh dari sudut
matanya. Mama mengakui Ulfalah yang telah merubah Rizal yang tiada henti memotivasinya
sebelum kecelakaan merenggut nyawanya.
“ Lihatlah
pohon mangga yang kau tanam bersama Ulfa itu, daunnya rindang bisa untuk
berteduh, buahnya lebat dan bermanfaat...., Ulfa ingin kamu bermanfaat Nak,
dengan demkian Ulfa akan selalu tersenyum dan bahagia,... dia akan selalu
bersamamu...., Rizal masih ingat kan, Pengajian habis Maghrib kemarin di
masjid? “ Tanya ibunya. Rizal mengangguk.
“ Pak Ustadz menerangkan Hadits dari Nabi bahwa
siapapun yang membuka jalan kebaikan maka dia akan menerima pahala dan juga
pahala dari orang yang menggunakan jalan itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun...., berterima kasihlah pada Ulfa
dengan memberinya pahala dari setiap kebaikan yang kamu lakukan, dari setiap
kebaikan yang Ulfa inginkan”
Rizal mendengarkan nasehat mamanya dan
meresapinya. Dalam hati, Rizal berjanji akan selalu
berbuat baik dan memberi manfaat kepada sesama. Rizal telah belajar banyak dari
pohon mangga yang di tanam Ulfa.
Untuk adikku Mahiroh
Yang telah dipanggil Tuhan pada usia belia
Karena Tuhan Mencintainya...
0 komentar:
Posting Komentar