"Cepat masuk om, ada tamu penting " aku tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Karena aku tahu bahwa setiap tamu adalah penting. Itulah sebabnya mengapa Nabiku mengajarkan tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhir orang yang tidak menghormati tamu. Siapa pun tamunya, selalu aku perlakukan sama.
"Maaf kalau kalau lama menunggu," kataku sambil mempersilahkan duduk kembali dengan iyarat ujung jempol dengan jari lainnya ditekuk.
"Saya yang minta maaf telah menganggu istirahat Kyai" jawabnya berbasa basi sambil duduk kembali
" Nggih Pak Hanief,,.. Nama saya Hadi Wijaya dari Benowo, saya datang kemari mohon bantuan Kyai, eh maaf, mohon bantuan Pak Hanief"
" Ah bapak ini bisa saja, saya ini orang kecil bantuan apa yang dapat saya berikan untuk Pak Hadi "
Dan Pak Hadipun bercerita tentang keluarganya, usaha mebelnya dan anak prempuanya yang masih kuliah sudah dua bulan ini hilang ingatan. Sama dengan tamu yang lain akhirnya minta didoakan. Aku pun menyanggupinya, wong cuma doa, gak pake modal. Apalagi aku yakin dengan ajaran Nabi kalau kita mendoakan orang maka malaikat akan mengaminkan dan malaikat juga mendoakan dengan ucapan demikian pula untuk yang mendoakan, dan aku yakin doa malaikat di kabulkan Tuhan. Jadi tidak alasan bagiku untuk menolak mendoakan kebaikan orang yang datang dan minta tamu yang lain juga minta didoakan. Jadai tidak alasan bagiku untuk menolak mendoakan kebaikan orang yang datang dan minta. Logikanya, kalau dirinya saja butuh bantuan walaupun hanya sekedar di doakan kok kelakuanya egois dan gak mau bantu orang,., jelas gak nyambung kan? Aku juga pernah dengar Kyai Saiful mengajarkan Hadits qudsi, Anfiq yaa ibna adam, unfiq ilaik. Nah, ternyata bantuan Allah itu tergantung seberapa banyak kita membantu orang lain.
"Ya" kamudian dia menegakkan kembali pundakku agar konsentrasi. Dalam hati aku mengutuk kurang ajar, karena aku merasa tidak pernah bermusuhan dengan orang. Akupun segera membca doa agar santet ini kembali kepada orang yang mengirimnya. Belum selesai aku mmbaca doa, pundaku ditepuk cukup keras.
Ternyata Kyai sudah berdiri di depan pintu sambil merokok ketika aku sampai dirumahnya.
"Assalamualaikum"
"Wa Alaikum salam warohmatullah, ayo masuk"
Kami masuk dan duduk berdampingan di sofa. Setiap aku datang Kyai selalu menyuruhku duduk disampingnya. Bukan, bukan karena akrab tetapi Kyai tahu telingaku agak sombong Alias budeg hehehehe. "Spertinya Kyai sudah tahu kalau saya akan dtang? " Tanyaku mengawali pembicaraan.
" Tidak juga, memangnya aku orang sakti yang serba tahu, lagi pula samapean kan tidak telpon dulu, cuman aku sudah bisa menebak apa yang akan sampean sampaikan, tentang sampean yang tiba-tiba jadi sakti kan?"
" Benar Kyai"
" Tidak ada yang tiba-tiba atau ujug-ujug.semua itu ada sebab musababnya, ada prosesnya... Apa yang trjadai sakarang atau besok adalah akibat dari sebab kemarin dan hari yang lalu" kata Kyai, lalu menghisap rokok mildnya dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan.
"Sampean waktu kejadaian itu bingung dan takut kamudian hanya pasrah dan minta tolong Allah saja kan?" Tanya Kyai melanjutkan ucapanya.
" Benar Kyai "
" Nah itulah rahasia dan jawabannya. Pasrah dan tawakalmu serta ucapan la quahmu itu sebenarnya bukan saat itu saja. Tetapi sudah samapean Lakoni sejak lama. Itulah sebabnya, dan yang terjadi di warung itu adalah akibat saja."
Aku hanya diam mencoba memahami ketrangan Kyai. Beberapa saat kemudian aku bertanya
" Terus, apa hubunganya dengan Pak Tua itu Kyai,, kenal saja tidak, mengapa dia marah dan menyerangku?"
" Hehehehe... " Kyai hanya tertawa sambil mematikan rokoknya di asbak.
" Aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas dia terganggu dengan wirid la quah yang selalu kamu baca dalam hati itu... nah, wiridmu itulah yag mengacaukan mantranya ketika akan digunakan untuk mencelakai orang"
" Kalau begitu brarti ada orang yang akan dicelakainya di warung itu, Kyai?"
"Benar, dan suatu saat kamu akan tahu siapa orangnya?"
" Emangnya Kyai tidak tahu siapa orangnya?"
" Lha wong sampean saja yang disana tidak tahu apalagi aku yang tidur di rumah" Aku hanya nyengir mendegar jawaban Kyai.
"Dan mulai skarang samapean harus hati-hat “
"Memangya kenapa Kyai?" Tanyaku was-was
"Karena orangnya Pak tua itu akan mencarimu"
" Wadauh, tambah runyam Kyai"
"Apa sampean takut?"
" Ya jelas Kyai "
" Baguslah kalau samapean takut, karena orang takutlah yang akan punya kekuatan luar biasa".
"Maksud Kyai"
"Kalau sampean takut larilah kepada Allah, emangnya di seluruh dunia ini ada yang mengalahkan Allah ?" Tanya Kyai Saiful Bachri. Aku hanya diam manggut manggut mencerna keterangan Kyai. Dalam hati aku was-was dan tidak tenang.
" Wis oJo dipikir, rokoan ae dhisik, iku ono rokok Sam Soe, sampeyan kan ora seneng Mild " kata Kyai sambil mengambil sebatang rokok mild dan menyulutnya. Akupun membuka bungkus rokok kretek itu karena masih utuh belum dibuka. Setelah mengambil sebatang kuletakkan kembali di atas meja.
" Gowo en ae rokok iku kanggo ngancani awakamu njahit"
"Mmm..begini Pak, anak saya.." Bapak yang Gendut itu menghentikan ucapannya lalu melihat ke Bapak yang berbaju batik, lalu melanjutkan ucapanya,
" Anak saya..."
" Maaf Pak Kyai, bapak dan ibu sebaiknya saya permisi dulu, saya ingin merokok dulu di luar," kata Bapak berbaju batik menyela kemudian keluar. Dia tahu temannya butuh privasi untuk berbicara denganku "Matur nuwun Pak, maaf" kata Pak Gendut merasa tidak enak. Setelah Bapak berbaju batik itu keluar, Pak Gendut bercerita bahwaa anaknya sepulang kuliah mulai minggu lalu bertingkah aneh, sering menyeringai menakutkan dan makannya sampai tiga piring. Keluar selesai Pak Gendut bercerita ada tamu mengucapkan salam. Ternyata tetanggaku Cak Alie Sofiri yang nongol sambil membawa baju seragam sekoleh anaknya legkap dengan badage dan asesoris lain yang elumb terpasang. Begitu Cak Alie masuk gadis tadi menoleh ke arahnya, menyeringai dan tiba-tiba berdiri dan menatapnya dengan nanar. Cak Alie spontan mudur kaget dan spontan mengucapkan allahu akbar dengan keras. Mendengar ucapan Cak Alie gadis itu tambah berontak dari pegangan ibunya hendak menyerang Cak Alie. Aku secara refleks bangkit dan memegang bahunya dengan tangan kananku sambil mngucap la quah dalam hati.
" Tenang ! Duduk lah " kataku. Gadis itu menoleh ke arahku kemudian duduk kembali. Dalam hati aku heran kok mau menurutiku. Mungkin karena aku tuan rumahnya sehingga dia merasa sungkan, hehehehe...
"Cak bajunya dibawa masuk saja, isteriku ada di dalam " kataku. Cak Alie segera masuk sambil melihat gadis tadi. Gadis itupun melihatnya karena dia duduk taeat di samping pintu, tetapi tatapannya biasa saja.
"Mbak, saya Hanief, siapa namamu " gadis itu tidak segera menjawab. Tidak lama kamudian gadis itu perlahan-lahan mengangkat kepalanya mencoba menatapku lalu tertunduk lagi. Entah mengapa dia tidak mau menatapku.
"Namaku Dalbo,"jawabnya dengan suara serak aneh. Kedua orang tuanya sangat kaget. Begitu pula aku. Masak gadis secantik ini namanya Dalbo.
"Jin lakanatullah kurang ajar, jika tidak pergi akan aku hajar kau dengan cicin Kyaiku ini" kata Cak Alie yang ternyata sudah berdiri di belakang kursiku sambil mengepalkan tangan yang jari tengahnya dihiasi cincin warna hitam keunguan sebesar kelereng. Cak Alie Sofiri temanku yang tampangnya manis ini memang temperamental. Janganankan dengan jin yang tadi jelas-jelas menyerangnya, dengan pejabat yang korup saja dia kalau marah-marah di wall facebook tidak ada habisnya. Padahal kenalan saja belum, hehehehe
" Berhenti, duduk!" Kataku sambil mengacungkan tanganku ke arah gadis itu. Ia pun duduk kembali. Cak Alie pun menurunkan tangannya.
" Dalbo lakanatullah, bi idznillah aku perintahkan engkau kembali ketempatmu"
"Tidak, aku mncintainya"
"Kalau begitu aku harus menghajarmu sampai remuk" kataku sambil mengangkat tangan kananku. Padahal aku tidak tahu bagaimana cara menghajarnya. Masak gadis cantik ini harus aku pukuli?
".Mbak,.. Mbak " kataku sambil sedikit menggoyang pundaknya. Gadis itu membuka matanya dan melihat ke arah ibunya yang segera memeluknya dengan cucuran air mata.
"Terima kasih Kyai"
" Maaf Pak, saya bukan Kyai, Ki, dukun atau paranormal,"
"Siapapun bapak, saya sangat berterima kasih"
"berterima kasih dan bersyukurlah kepada Allah,.. Maaf kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya mulai sekarang kewajiban kepada tuhan lebih utama untuk dikerjakan. Ajaklah isteri dan anak Bapak untuk sholat di belakang bapak, insyaa allah tuhan akan senantiasa melindungi keluwarga Bapak,.." Aku menghentikan ucapanku. Karena melihat Pak Gendut menteskan air mata dan sesenggukkan menahan tangis.
"Ya allah ampunilah aku dan keluargaku" katanya lalu meraih tanganku, disalaminya dan menatapku lekat2.
" Tolong ajarilah aku Sholat agar bisa jadi imam untuk keluargaku Pak " katanya dengan air mata meleleh.
"Tenanglah Pak, silahkan duduk"
Pak Gendut pun duduk kembali. Lalu menyeka air matanya. "Insyaa allah nanti akan saya sampaikan kepada temanku seorang Ustadz untuk mengajari bapak" kataku sambil menyerahkan gelas air mineral kepada Pak Gendut. Pak Gendut menerimanya dan segera meminumnya. Senggukanya pun mereda.
" Terima kasih, tapi saya ingin bapak sendiri yang mengajari saya dan keluarga saya,.."
" Maaf Bapak, saya bukan Ustadz, saya penjahit, perkerjaan saya menjahit, rezeki saya melalui mesin jahit" jawabku. aku mncoba memberi alasan yang tepat, bukan aku tidak mau mengajari sholat. Sebab selama beberapa minggu ini jujur saja aku merasa terganggu juga dengan banyakanya tamu. Untungnya penjahitku yang cuman dua orang itu mau lembur. Bahkan isteriku pun mulai mengeluh beberapa hari yang lalu. Tetapi saya yakinkan kepada istriku bahwa aku tidak berAlih profesi jadi paranormal dan aku Masih normal
"Ah Bapak ini terlalu merendah..." Kata Pak Gendut sambil teersenyum. tidak lama kemudian mereka pamit untuk pulang. Aku dan Cak Alie mengantarkannya sampai di mobilnya. Lha ternyata supirnya adalah Pak parno yang rumahanya depan gang rumahku. Cak Ali pun segera pulang. Aku masuk ke rumah, tetapi ketika aku sampai pintu aku ingat pada tamuku yang satunya. Seorang bapak berkemeja batik. Kok di teras tidak ada, tadi juga waktu ngantar Pak Gendut juga aku tidak melihatnya. Aku clingak clinguk di depan rumah mencarinya, aneh tamu kok pulang tidak pamit. Ah, tidak boleh su'udhon, barang kali aja dia kena diare dan harus segera pulang. Masih pagi, jam setengah tujuh Pak parno tetanggaku yang menjadi supir Pak Gendut datang ke rumah membawa bingkisan. Katanya dari Pak Gendut untukku. Aku persilakan Pak Pak parno duduk dan menerima bingkisan itu.
" Mas Hanief, ada yang ingin saya sampaikan, ada orang yang tanya tanya tentang sampean beberapa waktu lalu ketika saya mengantar majikan saya kemaren malam itu"
" Apakah orang itu sudah cukup tua dan berbaju batik" tanyaku
"Hush !, jangan bilang begitu Pak, aku tahu bukanya punya ilmu tebak jitu, tapi orang itu sudah ke sini .."
"Ooo, tapi kok saya curiga banget Mas, soalnya tanyanya macem2"
"Barang kali aja dia pingin kenal tapi malu tanya sendiri padaku, Pak"
" Gak Mungkin Mas, tapi waktu itu perasaanku jadi nggak enak,pokoknya aneh gitu Mas,. "Wah, maaf saya pamit dulu, ngantar majikan ke Juanda,.."
"Silakan Pak, tolong sampaikan terima kasih saya ya Pak "
"Inggih Mas, Assalaamualaikum"
" Wa alaikum Salam" aku mengantarkannya keluar sampai teras. Dan ketika aku akan masuk ssorang memanggilku. Ternyata Cak Alie Sofiri mau mengambil baju anaknya.
" masuk aja Cak, tanya istriku di aku gak tahu udah dijahit apa keluar" kataku pada Cak Ali. Dia pun masuk mengikutiku ketika melewati ruang tamu Cak Ali Sofiri melihat bingkisan yang mnarik perhatiannya.
"Punya siapa ini Kang kok di bungkus bagus gini" tanya Cak Ali, ia mengira jahitan milik pelanggan yang sudah jadi.
" Dari Pak Gendut"
" Wah, bungkusnya bagus isinya apa ya kang"
" Gak tahu lah, yang jelas pasti bukan lontong Balap hehehehe" aku berkata begitu karena aku tahu Cak Alie Sofiri hobinya balapan lontong sama sambel sak cowek di Kepanjen.
"Ya jelas lah, Masak kosong..." Jawabku
"Aku serius Cak" katanya sambil meletakkan telapak tangan kanannya yang jari tengahnya berhias akik hitam. Aku lihat Cak Alie mulutnya komat kamit entah membaca apa. Tiba-tiba kotak itu bergetar. Aku kaget. Cak Ali keninya berkerut.
"Iki jin kang !" Kata Cak Ali sambil mengangkat tanganya kembali. Aku hanya diam. Cak Ali melihatku dengan wajah menyiratkan seribu pertanyaan.
"Ah, yang benar Cak, Masak jin di masukan kotak?, kayak pizza saja, lagi pula ngapain Pak Gendut kasih jin padaku" tanyaku.
"Untuk tahu jawabannya ya buka aja kang" jawab Cak Ali. Aku mengangguk. Lalu segera melihat sekeliling kotak untuk mencari tahu bagaimana membukanya. Ternyata ada tombol perak disamping kotak. Kami kaget begitu kotak terbuka. Keris. diatasnya ada amplop, segera ku ambil dan kubuka. Isinya kertas bertuliskan, benda inilah yang membuatku lupa pada tuhan, aku selalu mengandalkanya... Sekarang aku serahkan kepada Kyai agar tidak menggangguku dan keluwargaku. Terima kasih Kyai telah menyadarkan aku.
"Keris ini sudah jadi milikmuu kang. Tapi ada jinya, hati2" kata Cak So. Aku ambil keris itu dari kotak dan aku pegang aku pegang gagangnya dengan tangan kananku. Aku sangat penasaran ingin melihat bentuknya. Srreett..,perlahan gagangnya aku tarik ke bawah, temak besi hitam mengkilat berlekuk, ku amati lekukanya. Kuhitung ada tujuh belas.
" Luk pitulas" kata Cak Ali
" Emang Kenapa Cak" tanyaku
"Panjang" jawabnya
" Ya iya lah, ... Maha karya seperti ini kok menjauhkan manusia dari tuhan ya?, aneh. Seharusnya kan lebih mendekatkan diri pada tuhan. Dengan bersyukur diberi kemampuan yang luar biasa dan dapat dinikmati keindahanya, subhanallah. Begitu ucapan tasbihku selesai, keris ditanganku bergetar hebat, tersa berat dan gagangnya panas. Cak Ali segera komat kamit lagi dan akupun membaca ta'awudz dan laquah di hati. Kini keris itu tenang dan terasa sangat ringan, bahkan lebih berkilau meski dari besi yang hitam legam.
"Jinnya sudah pergi kang, sampean memang luar biasa kang Tadi sekeluar kotak dibuka aku coba mengusirnya tapi jinnya bandel, ditangan sampean langsung lari terbirit2. Sampean pake jimat apa to kang " tanya Cak Ali ketika aku masukkan kembali keris itu ke warangkanya
"Gak Pake apa2" kataku sambil menujukan ke-10 jariku
"Kalung" tanya Cak Ali
"Kalungku aku Pake cuman waktu jahit. Kalungan meteran. Yo Iku jimatku, kalo gak Pakebajunya gak jadi..hehehe"
"Wiridanya apa kang, Masak sama temen sendiri gak mau kasih tau" katanya sambil menatapku serius. Aku diam karena bingung, sebab aku merasa tidak tahu namanya wirid apa. Tapi kalo tidak aku jawab aku merasa tidak enak.
"Wirid sasahidan" jawabku sekenanya. Karena semalam aku mendegarkan wayang dari radio pas Pak Manteb sedang menerangkan wirid sasahidan melalui Semar yang sedang menerangkannya kepada anak-anaknya