Sholat 5 Waktu

tambah sholat sunnah dan tahajud itu malah lebih baik

Guru Berpengalaman dan Sabar Dalam Pengajaran

Siswa - Siswi yang berdedikasi tinggi dan bermotivasi tinggi dalam pembelajaran

Kesabaran Yang Tiada Henti

Tak selamanya hidup ini abadi , hanyalah "perubahan" yang tidak akan berhenti karena sebuah perubahan itu kekal

Rumah kita sendiri

layaknya istana pribadi bila semua kita iklhasi

Pendidikan perlu keimanan

Hidup tanpa iman, sama halnya berjalan menyusuri kegelapan tana arti

Minggu, 04 September 2016

MENJAGA DIRI DARI PENYAKIT HATI
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. QS. An Nisa’:32
Hasad berasal dari bahasa Arab hasada-yahsudu-hasadan. Artinya iri hati atau dengki. Hasad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan dengki. Sedangkan dengki ialah menaruh perasaan benci yang amat sangat ketika melihat kenikmatan yang diberikan Allah kepada oramg lain dan beruasaha menghilangkan kenikmatan itu.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi hasad
(وَالتحقيق ان الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود )
bahwa hasad adalah merasa benci atau tidak suka karena melihat kebaikan atau keberuntungan yang ada pada orang lain.
Adapun tanda tanda hasad adalah:
1. Hatinya panas dan marah ketika orang lain mendapat keberuntungan
2. Merasa sesak dadanya apabila orang lain atau saingannya dipuji orang
3. Berusah mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain
4. Merasa puas kalau orang lain atau saingannya dicela orang
5. Merasa puas kalau saingannya tiada atau meninggal dunia.
Bahaya hasad:
1. Hati risau dan tidak tenang
2. Menghancurkan kesatuan dan persatuan, karena biasanya orang yang hasud akan mengadu domba
3. Menghapus amal kebaikannya, sebagaimana sabda nabi SAW:
“Jauhilah olehmu sifat hasud, karena sesungguhnya sifat hasud itu dapat mengilangkan segala kebaikan sebagaimana api membakar kayu yang kering” (HR. Abu Dawud)

Jumat, 02 September 2016

MATAHARIKU Oleh Ifan Nawawi




MATAHARIKU
Oleh Ifan Nawawi

Setelah mengucapkan salam Pak Hanif keluar dari kelas. Tetapi langkahnya terhenti karena pintu kelas yang baru saja ditutup terdengar dibuka lagi dari dalam.
“Permisi Pak,…. Eeee ini untuk Bapak” Ifa murid tercantik dan terpandai di kelas sepuluh multimedia tiga itu menyerahkan undangan ke Pak Hanief.
“Ulang tahun?” Tanya Pak Hanif setelah membaca undangan di tangannya. Ifa hanya mengangguk.

‘Mohon datang ya Pak, Ifa pingin didoakan bapak”, Jawab Ifa sambil menatap wajah gurunya penuh harap lalu kembali menunduk. Ifa memang tidak berani berdu mata dengan Pak Hanif, entah mengapa, sepertinya ada sesuatu di hatinya. Padahal dengan guru yang lain ifa merasa biasa saja. Bukan, bukan cinta yang dirasakan olehnya. Sama sekali bukan, tapi sesuatu yang membuatnya hormat dan ingin selalu dekat karena damai sedamai tatapan ibunya.
“Insya Allah, … bolehkah Bapak mengajak isteri dan anak bapak ?” Tanya Pak Hanif.
“Oh,… dengan senang hati pak, Ifa senang kalo adik Rizal juga datang”, jawab Ifa sambil tersenyum dan mencium kedua tanganya sendiri seperti yang ia lakukan setiap selesai berdoa.
“Ifa kenal Rizal anak Bapak?” Pak Hanif mengernyitkan keningnya hingga alisnya hampir bertemu karena merasa heran.
“Ya Pak, Rizal teman sekelas adik Ifa, namanya Hanif Mahbubie, maaf nama depannya kebetulan sama dengan nama Bapak,.. mereka sering belajar bersama di rumah kami …..”
“Oh….., apakah dia nakal?’|”
“Tidak Pak, bahkan kami sekeluarga sangat senang terutama ibuku,… dik Rizal sangat pandai dan santun, dua minggu lalu Ifa baru tahu kalau dik Rizal adalah putra Bapak ”
“ Oooo… begitu….”, Pak hanif mengangguk-anggukkan kepala.
“Mmmm… terima kasih Pak, atas kesediaan Bapak ,hari Minggu lusa kami tunggu, Assalamualaikum..” Kata Ifa mengakhiri percakapanya karena Nampak olehnya Bu Ruri yang akan mengajar jam berikutnya sudah keluar dari kelas sepuluh multimedia satu menuju ke kelasnya.
“Wa’alaikum salam warohmah” jawab Pak Hanif kemudian segera berjalan menuju kelas yang baru saja ditinggalkan Bu Ruri. Ifa pun segera masuk ke kelasnya dengan senyum dikulum dan wajah lebih cerah.
******
Pak hanif  keluar dari kamar sambil melepas kopiyah hitam dari kepalanya. Nampak rambutnya yang pendek dan rapi itu telah berhias beberapa uban putih laksana perak berkilau. Di letakannya kopiyah di atas tumpukan beberapa buku yang berbaris rapi di atas meja kerjanya di ruang tengah rumah sedrhana itu.
“Ma, Rizal mana? “  Pak Hanif menanyakan putra tunggalnya yang masih kelas tujuh itu kepada isterinya sambil melihat arloji yang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam telah menunjukkan setengah empat sore. Pak Hanif menggeser kursi kemudian duduk sambil melihat isterinya yang sedang menyeterika beberapa baju tak jauh dari meja makan dan meja kerjanya.
“ Tadi pamit keluar bersama temannya si Hanif, katanya mau menjenguk gurunya yang sakit”,  jawab isterinya tanpa menoleh karena tanganya sibuk memasukkan baju ke hanger dan mencantilkanya pada paku yang menancap di dinding di depanya.
“ Hanif ?”, Tanya Pak Hanif sambil meletakkan gelas teh panas yang baru saj diseruputnya.
“ Ya Yah,… namanya kok bisa sama dengan ayah ya?”, Kata isterinya sambil menoleh ke Pak Hanif.
“ Mmmmm…, mungkin orang tuanya pengagum Imam Abu Hanifah sehingga anaknya yang pertama diberi nama Hanifah Mahbubati dan anaknya kedua diberi nama Hanif Mahbubi, kadang begitulah orang kalau sudah kadung kagum dan cinta”, kata pak hanief sambil bangkit dari kursinya menuju ke tempat isterinya yang sedang menyeterika. Pak Hanif mengambil tumpukan baju yang sudah di seterika dan membawanya ke dalam kamar dan meletakannya di dalam lemari.
“ Ayah kenal keluarganya?”, Tanya isterinya sambil melepaskan sto kontak seterika karena sudah selesai semua pekerjaanya.
“ Belum, tapi nanti kita akan mengenalnya, Ayah Cuma kenal kakak Hanif yang namanya Hanifah Mahbubati itu, dia murid Ayah di kelas sepuluh. Kita minggu lusa akan ke rumahnya karena di undang Hanifah ulang tahun. Dia minta Ayah mendoakanya”, jawab Pak Hanif sambil keluar dari kamar menuju ke tempat duduk semula.
“ Kok tumben Ayah mau dating di acara anak-anak, acara ulang tahun pula”,  kata isterinya sambil berjalan ke meja makan dan mengambil sepiring pisang goreng kemudian di letakkan di meja kerja suaminya. Kemudian ia mengambil kursi palastik yang tadi di gunakan untuk duduk waktu menyeterika dan meletakkan di dekat suaminya lalu duduk.
“ Ayah juga tidak tahu Ma, tapi Yah pingin sekali dating bersama Mama dan Rizal. Ayah sangat penasaran degan kecerdasan dan sopan santun siswi Ayah yang satu ini…..”
“ Juga cantik kan?” sela  isterinya sambil mengambil sepotong pisang goreng di depanya. Pak Hanif juga telah mengambil sepotong tetapi tanganya terhenti tepat di depan mulutnya karena mendengar pertanyaan isterinya yang di rasa agak aneh di hatinya, Pak Hanif tersenyum.
“ Terima kasih Mama cemburu, itu pertanda Mama sangat mencintai Ayah, murid itu sama dengan anak sendiri Ma,… Ayah sudah mengajar selama dua puluh empat tahun dan umur ayah sudah kepala empat, mendekati setengah abad. Andaikan Ayah harus jatuh cinta lagi, tentu bukan dengan murid sendiri,… “
“ Mama percaya sama Ayah, mama cuman heran tidak biasanya Ayah menaruh perhatian yang begitu istimewa pada murid ayah”, sela isterinya kemudin menggigit pisang goreng yang sudah agak dingin itu pelan-pelan sambil ekor matanya mengerling pertanda ada sesuatu yang dipikir.
“ Apa yang membuat Ayah penasaran?” Tanya isterinya kemudian
“ Ayah hanya ingin tahu seperti apa keluarga mereka,..” Jawab Pak Hanif, tetapi di hatinya ia kurang yakin dengan jawabannya. Yang jelas, ada sesuatu dorongan yang kuat di hatinya yang membuat ia harus dating, ia tidak tahu mengapa.
Nampak isterinya mengangguk-anggukkan kepala. Pak Hanif tidak tahu apakah isternya puas dengan jawabannya ataukah ada sesuatu di pikirannya. Ia segera mengambil gelas teh hangat di depannya dan meminumya sampai habis untuk meredakan debaran hatinya. Ekor matanya melirik isterinya, ada juga perasaan takut debaran jantungnya yang tambah keras terdengar olehnya.
“ Ayah sudah punya rencana ingin  memberi hadiah apa, biar mama nanti mama belikan sekalian belanja”, Tanya isterinya. Pak Hanif hanya menggelengkan kepala.
“ Ayah tidak tahu Ma…., oh ya pena saja Ma,”
“ Pena?”
“ Ya, pena matahari Ayah”
“ Ayah ?!...” Kali ini suara isteri pak Hanif agak tinggi karena terkejut hingga tanpa sadar ia bangkit dari kursinya dan menatap suaminya lekat-lekat.
“ Ayah yakin,… pena Ayah berpahat Matahariku itu sebagai hadiahnya, Padahal selama ini ayah sudah tidak pernah menyentuhnya karena Ayah takut menyakiti hati Mama, pena itu kenagan cinta pertama Ayah,… Ayah yakin itu hadiahnya?”  Tanya isterinya sambil memegang kedua pundak Pak hanief yang masih duduk di kursinya.
“ Mama,… Ayah mencintai mama lebih dari apapun ,…” Pak hanif bangkit dari kursi dan memeluk isterinya, di dekat telinga isterinya ia berkata,
“ pena itu bagian dari cerita lama yang harus ayah akhiri, ayah ingin membuangnya, menguburnya, tapi benda itu harus bermanfaat untuk seseorang,…. Sejujurnya Ayah juga tidak tahu mengapa hati ayah tergerak untuk memberikanya,… Mama paling tahu kan kalau ayah selalu mengikuti kata hati, bukan perasaan ?”
“ Baiklah yah, Mama menuruti Ayah, bukan karena kewajiban isteri, tapi mama mengenal ayah, mama percaya dengan ayah,… Ayah tidak pernah menurutkan emosi…”
“ Terima kasih Ma”, Kata Pak Hanif lirih di telinga isterinya kemudian mencium kening isterinya dan mempererat pelukannya dengan segenap cinta.
******
Tampak sebuah bis pariwisata parkir di jalan depan rumah mewah no17 Jalan Melati. Pak Hanif tidak menyangka kalau Hanifah berasal dari keluarga yang kaya raya, sebab penampilanya di sekolah tidak menyolok dan terkesan sederhana. Pak hanif memarkirkan panthernya tepat dibelakang bis itu dekat gerbang megah rumah hanifah.
Seorang satpam seusia pak Hanif telah menunggu di depan pintu gerbang. Ketika melihat Rizal dan kedua orang tuanya turun dari mobil senyum pak satpam tersunging lebar. Rizal balas tersenyu dan melambaikan tangan.
“ Assalamu’alaikum Pak No, “ sapa Rizal.
“ Wa’alaikum salam Nak Rizal”  balas pak satpam seraya berlari kecil menghampiri Rizal.
“ maaf, ini pasti Bapak dan Ibu Hanif bukan?” Tanya pak  satpam
“ Benar pak, “ jawab pak hanif sambil mengulurkan tangan menjabat tangan pak satpam. Pak hanif sempat melihat tulisan  M. SAMPOERNO di atas saku baju seragamnya.
“ Silahkan pak, sudah di tunggu sejak tadi, ”
“ terima kasih, mari pak “ jawab pak Hanif.
Rizal dan kedua orangtuanya berjalan melewati taman yang sangat asri di depan rumah megah itu menuju pintu utama. Belum sampai di depan pintu tampak gadis cantik berjilbab yang sudah tak sing bagi Pak Hanif berlari-lari kecil menyambut mereka. Hanifah nampak cerah sekali, Pak Hanif sudah dating bersama keluarganya.
“ Assalamu’alaikum..” Pak Hanif mendahului menyapa
“ Wa’alaikim salam warahmah “ jawab hanifah sambil sedikit menbungkukan badan dan merapatkan kedua telapak tangan di atas dada.
“ kenalkan ini isteri bapak “, pak hanif menoleh ke istrerinya yang sedang tersenyum kagum atas pesona anak gadis yang menjadi murid suaminya.
“ dia memang cantik, anggun dan tampak cerdas serta sopan dan santun, pantas ayah sangat perhatian padanya”  isteri pak hanif membatin dan tanpa sadar mengangguk-anggukan kepala.
Hanifah segera menghampir isteri gurunya itu dan meraih tangannya, menyalaminya serta menciumnya. Tanpa sadar, seperti ada yang menggerakkan tangan kiri isteri pak hanif pun memeluk hanifah dan mencium kening dan kedua pipinya. Hanifah meraskan ada damai dan perasaan nyaman di hatinya. Ia merasakan seperti di peluk ibunya ketika hatinya sedang gundah.
“ Selamat ya nak…”,  Kata isteri pak hanif sambil memegang kedua pundak Hanifah dan memandangnya dengan lekat.
“ Terima kasih Bu, ”  jawab hanifah sambil memandang wajah isteri gurunya yamg teduh dan keibuan itu lalu menundukkan kepala. Wibawanya membuat Hanifah merasa jengah untuk memendangnya.
“ Selamat ulang tahun ya Kak, semoga tambah cantik hehehehe” Kata rizal menyela.
“ Terima kasih dik Rizaal, tapi masak doainya kakak kok gitu, kakak kan emang dari sononya sudah cantik, hehehehe” kata hanifah
“ mmmmm…. Yow is semoga tambah pinter aja “
“ Amien..,”  jawab hanifah di ikuti kedua orang tua Rizal.
“ Oh ya, ini hadiah dari Rizal, dan yang besar ini mama trus yang kecil ini dari Ayah”,  kata Rizal sambil menyerahkan tiga kado untuk Hanifah.
“ terima kasih,…” kata hanifah  menerima kado dari tangan Rizal. Kemudian hanifah mempersilahkan mereka masuk .
“Assalamu’alaikum …”  Pak hanif mengucapkan salam begitu langkanhya sudah sampai di depan pintu.
“ Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh “  Seluruh yang ada diruangan itu menjawab salam. Ada sekitar empat puluhan anak. Hampir semuanya anak-anak itu seusia  Rizal.  Hanya hanya ada empat orang dewasa sebagai pengasuh atau guru mereka . Pak hanif membatin, mungkin dari dari sebuah yayasan yatim piatu. Hanifah permisi sebentar untuk masuk ke kamarnya menaruh kado sekalian memanggil kedua orang tuanya yang masih menyiapkan amplop untuk anak-anak.
Seorang laki-laki seusia dirinya berdiri dan  berjalan sambil tersenyum ke arah pak Hanif di ikuti seorang wanita seusia isterinya. Pak Hanif membalas tersenyum meskipun tidak  mengenalnya. Tapi ia yakin itu bukan orang tua Hanifah karena Haniafah tadi akan memanggil kedua orang tuanya yang sedang di kamar.
“ Apa kabar Hanif,.., tentu kamu sudah lupa dengan si sedet,… aku Rozak, Nip “ orang itu menyapa ketika kurang dua langkah dari Pak Hanif.
“ Rozak…!” seru Pak Hanif sambil melangkahkan kaki lalu memeluknya.
“Maaf ya, aku pangling, kamu tambah gemuk dan gagah, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan bekas luka di alismu” Kata Pak Hanif.
“ Hahahaha….” Pak Rozak dan Pak Hanif tertawa.
“ Bagaimana bisa lupa wong kamu yang membuatnya, oh ya kenalkan ini isteri saya” Kata Pak Rozak memperkenalkan isterinya. Pak Hanif juga memperkenalkan ister dan putranya.
“Anak-anak yatim inilah sekarang yang menemani dan mengisi hari-hari kami, semuanya berkat kedermawanan dan ketulusan hati kedua orang tua Hanifah….”
“Maaf Pak Hanif Pak Rozak,….” Kata Hanifah memotong percakapan Pak Rozak dan Pak Hanif. Saking asiknya melepas kangen, mereka tidak menyadari kedatangan Hanifah dan kedu orang tuanya.
Dan alangkah terkejutnya ketika Pak Hanif menoleh dan melihat kedua orang tua Hanifah. Tetapi segera ia mengusai diri.
“Dik Hendro,…. Latifah….” Panggil Pak Hanif sambil menatap mereka bergantian. Kemudian tatapannya di alihkan ke Hanifah. Hanifah pun memandang Pak Hanif dengan heran lalu menunduk
“Benar Mas, kamilah orang tua Hanifah, terima kasih atas kedatangan Mas Hanif sekeluarga” Kata Ayah Hanifah sambil mengulurkan tangan. Pak Hanif menjabatnya erat-erat. Ibu Hanifah hanya menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum kemudian menundukkan kepala menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Oh ya ini perkenalkan ini isteri saya…… Mama, mereka adalah teman sepermainan Ayah” Kata Pak Hanif.
Latifah segera memeluk isteri Pak Hanif erat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tumpahkan dari relung hatinya. Dan air matanya pun menetas karena tak kuat hati membendungnya,
“Terima kasih,…. Maafkan saya Mbak”  kata Latifah di telinga isteri Pak Hanif pelan. Hampir tak terdengar.
******
Jam di meja belajar Hanifah menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Shodaqollahul ‘adziem,….” Hanifah menutup Kitab Suci yang baru selesai dibacanya sejak usai sholat maghrib tadi dan meletakkan di meja belajarnya. Masih mengenakan mukena ia keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan makan malam bersama Bu Siti di ruang makan.
” Boleh Hanifah bicara sama Ibu?”
“Sepertinya kok penting, ada apa sayang?”
“Di kamar Hanifah saja Bu”
Mereka menuju ke kamar Hanifah. Setelah menutup pintu kamarnya, Hanifah menghampiri ibunya yang sudah duduk di bibir ranjang. Ia duduk di karpet di depan ibunya. Kedua tanganya di ditaruh atas kedua lutut ibunya.
“Sejak ultah Hanifah seminggu yang lalu, Pak Hanif beda banget sama Hanifah Bu,….. beliau kelihatan gugup kalau Hanifah memberi salam atau menyapa, Hanifah jadi merasa gak enak dan bersalah “
“Mungkin itu perasaanmu saja, sayang”
“Tidak Bu, benar!… Bahkan beliau tadi pagi salah sebut nama, masak yang beliau sebut nama ibu waktu menyuruhku membaca, untung teman sekelasku gak ada yang tahu nama Ibu,…”
“Benarkah begitu?.... dia masih masih menyebut namaku?....Ehm, maksud Ibu beliau menyebut nama Ibu?”
“Hehehehe….. ternyata bukan  cuma beliau yang aneh, Ibu juga aneh,…. Sebenarnya ibu sama Pak Hanif bukan sekedar teman kan?”
Ibu Hanifah menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dengan berat. Hanifah meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya.
“Baiklah, Ibu akan cerita,... Sejak bayi Ibu dan Pak Rozak tinggal dan di besarkan di pantai asuhan itu. Ketika kelas satu Tsanawiyah, ada yang mengangkat ibu sebagai anak asuh untuk disekolahkan di kota”
“Dan Pak Hanif?”
“Pak Hanif adalah anak dari guru Ibu saat di Tsanawiyah, kakak kelas ibu”
“Apakah Ibu ketemu lagi dengan Pak Hanif?”
“Ya, seteleh lama berpisah kami bertemu lagi. Saat itu Pak Hanif masih kuliah dan ibu sudah bertunangan dengan Ayahmu”
“Apakah Ayah tahu tentang hubungan ibu dengan Pak Hanif?”
“Ayahmu tahu semuanya, …. Ayahmu mencintai Ibu lebih dari apapun”
“Tapi cinta ibu hanya Pak Hanif, kan?”
“Kelak kamu akan tahu bagaimana kamu harus menerima dan memperlakukan cinta dengan syukur dan  hormat”.
Hanifah diam, mencoba memahami perkataan ibunya. Ia berdiri lalu menuju meja belajar mengambil pena. Kemudian  kembali menghampiri ibunya dan duduk  di sampingnya.
“Oh ya Bu, Pak Hanif menjadikan Hanifah sebagai mataharinya”
“Matahari?” Tanya ibunya sambil mengernyitkan kening dan menatap Hanifah. Hanifah mengaggukkan kepala.
“Ini Bu, beliau memahatnya di pena ini dan menghadiahkanya padaku” Kata Hanifah sambil memperlihatkan pena perak berkilau kepada ibunya.
“Subhanallah…..”  Puji Ibunya  lirih dengan bibir gemetar.
*****
“… meskipun selama ini tiada pernah terucap kata cinta, tapi aku tahu dan dapat merasakan getarannya, walau terkadang ada juga keraguan di hatiku… hingga Mas Hanif mengatakannya dalam surat yang telah kuterima tiga hari yang lalu. Sungguh, ucapan itu yang selalu kunanti dan kutunggu.
Maafkan Latifah Mas Hanif, sungguh bukan, bukan aku tidak cinta, hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang dapat mengalahkan cintaku kepada Mas Hanif.
Aku yakin  Mas Hanif pasti mengerti dan mafhum benar dengan masalah ini, bahwa tidak boleh menghitbah di atas khitbah saudaranya. Keluarga Mas Hendro telah meminangku seminggu yang lalu. Bukan, bukan aku lebih memilih Mas Hendro, tetapi aku lebih memilih syari’at yang aku yakini. Aku berdoa semoga kelak Mas Hanif memperoleh isteri yang lebih cinta dan lebih baik dariku.
Bersama ini terimalah juga pena yang kupakai untuk menuliskan surat ini. Meski bukan jodohku, Mas Hanif akan selalu menjadi matahariku. Selama pena ini masih disimpan itu pertanda matahariku masih menyinari hatiku dengan cinta, doa dan kilau kebenaran…”
Pak Hanif menyalakan korek api, kemudian menyulut surat yang baru dibacanya itu. Api keunguan melahap kertas yang telah berumur enam belas tahun itu hingga menjadi abu .
“Ayah, ayah di sini rupanya, apa yang ayah bakar ?”  Kata Bu Hanif ketika menemukan asal bau sesuatu terbakar di teras rumahnya. Pak Hanif tidak menjawab. Ia merangkul isterinya dan membibingnya masuk rumah.
16:43 Surabaya, 02-06-2011
Tanda cinta boleh musnah
Tapi cinta takkan punah

Setelah mengucapkan salam Pak Hanif keluar dari kelas. Tetapi langkahnya terhenti karena pintu kelas yang baru saja ditutup terdengar dibuka lagi dari dalam.
“Permisi Pak,…. Eeee ini untuk Bapak” Ifa murid tercantik dan terpandai di kelas sepuluh multimedia tiga itu menyerahkan undangan ke Pak Hanief.
“Ulang tahun?” Tanya Pak Hanif setelah membaca undangan di tangannya. Ifa hanya mengangguk.
‘Mohon datang ya Pak, Ifa pingin didoakan bapak”, Jawab Ifa sambil menatap wajah gurunya penuh harap lalu kembali menunduk. Ifa memang tidak berani berdu mata dengan Pak Hanif, entah mengapa, sepertinya ada sesuatu di hatinya. Padahal dengan guru yang lain ifa merasa biasa saja. Bukan, bukan cinta yang dirasakan olehnya. Sama sekali bukan, tapi sesuatu yang membuatnya hormat dan ingin selalu dekat karena damai sedamai tatapan ibunya.
“Insya Allah, … bolehkah Bapak mengajak isteri dan anak bapak ?” Tanya Pak Hanif.
“Oh,… dengan senang hati pak, Ifa senang kalo adik Rizal juga datang”, jawab Ifa sambil tersenyum dan mencium kedua tanganya sendiri seperti yang ia lakukan setiap selesai berdoa.
“Ifa kenal Rizal anak Bapak?” Pak Hanif mengernyitkan keningnya hingga alisnya hampir bertemu karena merasa heran.
“Ya Pak, Rizal teman sekelas adik Ifa, namanya Hanif Mahbubie, maaf nama depannya kebetulan sama dengan nama Bapak,.. mereka sering belajar bersama di rumah kami …..”
“Oh….., apakah dia nakal?’|”
“Tidak Pak, bahkan kami sekeluarga sangat senang terutama ibuku,… dik Rizal sangat pandai dan santun, dua minggu lalu Ifa baru tahu kalau dik Rizal adalah putra Bapak ”
“ Oooo… begitu….”, Pak hanif mengangguk-anggukkan kepala.
“Mmmm… terima kasih Pak, atas kesediaan Bapak ,hari Minggu lusa kami tunggu, Assalamualaikum..” Kata Ifa mengakhiri percakapanya karena Nampak olehnya Bu Ruri yang akan mengajar jam berikutnya sudah keluar dari kelas sepuluh multimedia satu menuju ke kelasnya.
“Wa’alaikum salam warohmah” jawab Pak Hanif kemudian segera berjalan menuju kelas yang baru saja ditinggalkan Bu Ruri. Ifa pun segera masuk ke kelasnya dengan senyum dikulum dan wajah lebih cerah.
******
Pak hanif  keluar dari kamar sambil melepas kopiyah hitam dari kepalanya. Nampak rambutnya yang pendek dan rapi itu telah berhias beberapa uban putih laksana perak berkilau. Di letakannya kopiyah di atas tumpukan beberapa buku yang berbaris rapi di atas meja kerjanya di ruang tengah rumah sedrhana itu.
“Ma, Rizal mana? “  Pak Hanif menanyakan putra tunggalnya yang masih kelas tujuh itu kepada isterinya sambil melihat arloji yang yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam telah menunjukkan setengah empat sore. Pak Hanif menggeser kursi kemudian duduk sambil melihat isterinya yang sedang menyeterika beberapa baju tak jauh dari meja makan dan meja kerjanya.
“ Tadi pamit keluar bersama temannya si Hanif, katanya mau menjenguk gurunya yang sakit”,  jawab isterinya tanpa menoleh karena tanganya sibuk memasukkan baju ke hanger dan mencantilkanya pada paku yang menancap di dinding di depanya.
“ Hanif ?”, Tanya Pak Hanif sambil meletakkan gelas teh panas yang baru saj diseruputnya.
“ Ya Yah,… namanya kok bisa sama dengan ayah ya?”, Kata isterinya sambil menoleh ke Pak Hanif.
“ Mmmmm…, mungkin orang tuanya pengagum Imam Abu Hanifah sehingga anaknya yang pertama diberi nama Hanifah Mahbubati dan anaknya kedua diberi nama Hanif Mahbubi, kadang begitulah orang kalau sudah kadung kagum dan cinta”, kata pak hanief sambil bangkit dari kursinya menuju ke tempat isterinya yang sedang menyeterika. Pak Hanif mengambil tumpukan baju yang sudah di seterika dan membawanya ke dalam kamar dan meletakannya di dalam lemari.
“ Ayah kenal keluarganya?”, Tanya isterinya sambil melepaskan sto kontak seterika karena sudah selesai semua pekerjaanya.
“ Belum, tapi nanti kita akan mengenalnya, Ayah Cuma kenal kakak Hanif yang namanya Hanifah Mahbubati itu, dia murid Ayah di kelas sepuluh. Kita minggu lusa akan ke rumahnya karena di undang Hanifah ulang tahun. Dia minta Ayah mendoakanya”, jawab Pak Hanif sambil keluar dari kamar menuju ke tempat duduk semula.
“ Kok tumben Ayah mau dating di acara anak-anak, acara ulang tahun pula”,  kata isterinya sambil berjalan ke meja makan dan mengambil sepiring pisang goreng kemudian di letakkan di meja kerja suaminya. Kemudian ia mengambil kursi palastik yang tadi di gunakan untuk duduk waktu menyeterika dan meletakkan di dekat suaminya lalu duduk.
“ Ayah juga tidak tahu Ma, tapi Yah pingin sekali dating bersama Mama dan Rizal. Ayah sangat penasaran degan kecerdasan dan sopan santun siswi Ayah yang satu ini…..”
“ Juga cantik kan?” sela  isterinya sambil mengambil sepotong pisang goreng di depanya. Pak Hanif juga telah mengambil sepotong tetapi tanganya terhenti tepat di depan mulutnya karena mendengar pertanyaan isterinya yang di rasa agak aneh di hatinya, Pak Hanif tersenyum.
“ Terima kasih Mama cemburu, itu pertanda Mama sangat mencintai Ayah, murid itu sama dengan anak sendiri Ma,… Ayah sudah mengajar selama dua puluh empat tahun dan umur ayah sudah kepala empat, mendekati setengah abad. Andaikan Ayah harus jatuh cinta lagi, tentu bukan dengan murid sendiri,… “
“ Mama percaya sama Ayah, mama cuman heran tidak biasanya Ayah menaruh perhatian yang begitu istimewa pada murid ayah”, sela isterinya kemudin menggigit pisang goreng yang sudah agak dingin itu pelan-pelan sambil ekor matanya mengerling pertanda ada sesuatu yang dipikir.
“ Apa yang membuat Ayah penasaran?” Tanya isterinya kemudian
“ Ayah hanya ingin tahu seperti apa keluarga mereka,..” Jawab Pak Hanif, tetapi di hatinya ia kurang yakin dengan jawabannya. Yang jelas, ada sesuatu dorongan yang kuat di hatinya yang membuat ia harus dating, ia tidak tahu mengapa.
Nampak isterinya mengangguk-anggukkan kepala. Pak Hanif tidak tahu apakah isternya puas dengan jawabannya ataukah ada sesuatu di pikirannya. Ia segera mengambil gelas teh hangat di depannya dan meminumya sampai habis untuk meredakan debaran hatinya. Ekor matanya melirik isterinya, ada juga perasaan takut debaran jantungnya yang tambah keras terdengar olehnya.
“ Ayah sudah punya rencana ingin  memberi hadiah apa, biar mama nanti mama belikan sekalian belanja”, Tanya isterinya. Pak Hanif hanya menggelengkan kepala.
“ Ayah tidak tahu Ma…., oh ya pena saja Ma,”
“ Pena?”
“ Ya, pena matahari Ayah”
“ Ayah ?!...” Kali ini suara isteri pak Hanif agak tinggi karena terkejut hingga tanpa sadar ia bangkit dari kursinya dan menatap suaminya lekat-lekat.
“ Ayah yakin,… pena Ayah berpahat Matahariku itu sebagai hadiahnya, Padahal selama ini ayah sudah tidak pernah menyentuhnya karena Ayah takut menyakiti hati Mama, pena itu kenagan cinta pertama Ayah,… Ayah yakin itu hadiahnya?”  Tanya isterinya sambil memegang kedua pundak Pak hanief yang masih duduk di kursinya.
“ Mama,… Ayah mencintai mama lebih dari apapun ,…” Pak hanif bangkit dari kursi dan memeluk isterinya, di dekat telinga isterinya ia berkata,
“ pena itu bagian dari cerita lama yang harus ayah akhiri, ayah ingin membuangnya, menguburnya, tapi benda itu harus bermanfaat untuk seseorang,…. Sejujurnya Ayah juga tidak tahu mengapa hati ayah tergerak untuk memberikanya,… Mama paling tahu kan kalau ayah selalu mengikuti kata hati, bukan perasaan ?”
“ Baiklah yah, Mama menuruti Ayah, bukan karena kewajiban isteri, tapi mama mengenal ayah, mama percaya dengan ayah,… Ayah tidak pernah menurutkan emosi…”
“ Terima kasih Ma”, Kata Pak Hanif lirih di telinga isterinya kemudian mencium kening isterinya dan mempererat pelukannya dengan segenap cinta.
******
Tampak sebuah bis pariwisata parkir di jalan depan rumah mewah no17 Jalan Melati. Pak Hanif tidak menyangka kalau Hanifah berasal dari keluarga yang kaya raya, sebab penampilanya di sekolah tidak menyolok dan terkesan sederhana. Pak hanif memarkirkan panthernya tepat dibelakang bis itu dekat gerbang megah rumah hanifah.
Seorang satpam seusia pak Hanif telah menunggu di depan pintu gerbang. Ketika melihat Rizal dan kedua orang tuanya turun dari mobil senyum pak satpam tersunging lebar. Rizal balas tersenyu dan melambaikan tangan.
“ Assalamu’alaikum Pak No, “ sapa Rizal.
“ Wa’alaikum salam Nak Rizal”  balas pak satpam seraya berlari kecil menghampiri Rizal.
“ maaf, ini pasti Bapak dan Ibu Hanif bukan?” Tanya pak  satpam
“ Benar pak, “ jawab pak hanif sambil mengulurkan tangan menjabat tangan pak satpam. Pak hanif sempat melihat tulisan  M. SAMPOERNO di atas saku baju seragamnya.
“ Silahkan pak, sudah di tunggu sejak tadi, ”
“ terima kasih, mari pak “ jawab pak Hanif.
Rizal dan kedua orangtuanya berjalan melewati taman yang sangat asri di depan rumah megah itu menuju pintu utama. Belum sampai di depan pintu tampak gadis cantik berjilbab yang sudah tak sing bagi Pak Hanif berlari-lari kecil menyambut mereka. Hanifah nampak cerah sekali, Pak Hanif sudah dating bersama keluarganya.
“ Assalamu’alaikum..” Pak Hanif mendahului menyapa
“ Wa’alaikim salam warahmah “ jawab hanifah sambil sedikit menbungkukan badan dan merapatkan kedua telapak tangan di atas dada.
“ kenalkan ini isteri bapak “, pak hanif menoleh ke istrerinya yang sedang tersenyum kagum atas pesona anak gadis yang menjadi murid suaminya.
“ dia memang cantik, anggun dan tampak cerdas serta sopan dan santun, pantas ayah sangat perhatian padanya”  isteri pak hanif membatin dan tanpa sadar mengangguk-anggukan kepala.
Hanifah segera menghampir isteri gurunya itu dan meraih tangannya, menyalaminya serta menciumnya. Tanpa sadar, seperti ada yang menggerakkan tangan kiri isteri pak hanif pun memeluk hanifah dan mencium kening dan kedua pipinya. Hanifah meraskan ada damai dan perasaan nyaman di hatinya. Ia merasakan seperti di peluk ibunya ketika hatinya sedang gundah.
“ Selamat ya nak…”,  Kata isteri pak hanif sambil memegang kedua pundak Hanifah dan memandangnya dengan lekat.
“ Terima kasih Bu, ”  jawab hanifah sambil memandang wajah isteri gurunya yamg teduh dan keibuan itu lalu menundukkan kepala. Wibawanya membuat Hanifah merasa jengah untuk memendangnya.
“ Selamat ulang tahun ya Kak, semoga tambah cantik hehehehe” Kata rizal menyela.
“ Terima kasih dik Rizaal, tapi masak doainya kakak kok gitu, kakak kan emang dari sononya sudah cantik, hehehehe” kata hanifah
“ mmmmm…. Yow is semoga tambah pinter aja “
“ Amien..,”  jawab hanifah di ikuti kedua orang tua Rizal.
“ Oh ya, ini hadiah dari Rizal, dan yang besar ini mama trus yang kecil ini dari Ayah”,  kata Rizal sambil menyerahkan tiga kado untuk Hanifah.
“ terima kasih,…” kata hanifah  menerima kado dari tangan Rizal. Kemudian hanifah mempersilahkan mereka masuk .
“Assalamu’alaikum …”  Pak hanif mengucapkan salam begitu langkanhya sudah sampai di depan pintu.
“ Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh “  Seluruh yang ada diruangan itu menjawab salam. Ada sekitar empat puluhan anak. Hampir semuanya anak-anak itu seusia  Rizal.  Hanya hanya ada empat orang dewasa sebagai pengasuh atau guru mereka . Pak hanif membatin, mungkin dari dari sebuah yayasan yatim piatu. Hanifah permisi sebentar untuk masuk ke kamarnya menaruh kado sekalian memanggil kedua orang tuanya yang masih menyiapkan amplop untuk anak-anak.
Seorang laki-laki seusia dirinya berdiri dan  berjalan sambil tersenyum ke arah pak Hanif di ikuti seorang wanita seusia isterinya. Pak Hanif membalas tersenyum meskipun tidak  mengenalnya. Tapi ia yakin itu bukan orang tua Hanifah karena Haniafah tadi akan memanggil kedua orang tuanya yang sedang di kamar.
“ Apa kabar Hanif,.., tentu kamu sudah lupa dengan si sedet,… aku Rozak, Nip “ orang itu menyapa ketika kurang dua langkah dari Pak Hanif.
“ Rozak…!” seru Pak Hanif sambil melangkahkan kaki lalu memeluknya.
“Maaf ya, aku pangling, kamu tambah gemuk dan gagah, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan bekas luka di alismu” Kata Pak Hanif.
“ Hahahaha….” Pak Rozak dan Pak Hanif tertawa.
“ Bagaimana bisa lupa wong kamu yang membuatnya, oh ya kenalkan ini isteri saya” Kata Pak Rozak memperkenalkan isterinya. Pak Hanif juga memperkenalkan ister dan putranya.
“Anak-anak yatim inilah sekarang yang menemani dan mengisi hari-hari kami, semuanya berkat kedermawanan dan ketulusan hati kedua orang tua Hanifah….”
“Maaf Pak Hanif Pak Rozak,….” Kata Hanifah memotong percakapan Pak Rozak dan Pak Hanif. Saking asiknya melepas kangen, mereka tidak menyadari kedatangan Hanifah dan kedu orang tuanya.
Dan alangkah terkejutnya ketika Pak Hanif menoleh dan melihat kedua orang tua Hanifah. Tetapi segera ia mengusai diri.
“Dik Hendro,…. Latifah….” Panggil Pak Hanif sambil menatap mereka bergantian. Kemudian tatapannya di alihkan ke Hanifah. Hanifah pun memandang Pak Hanif dengan heran lalu menunduk
“Benar Mas, kamilah orang tua Hanifah, terima kasih atas kedatangan Mas Hanif sekeluarga” Kata Ayah Hanifah sambil mengulurkan tangan. Pak Hanif menjabatnya erat-erat. Ibu Hanifah hanya menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum kemudian menundukkan kepala menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Oh ya ini perkenalkan ini isteri saya…… Mama, mereka adalah teman sepermainan Ayah” Kata Pak Hanif.
Latifah segera memeluk isteri Pak Hanif erat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tumpahkan dari relung hatinya. Dan air matanya pun menetas karena tak kuat hati membendungnya,
“Terima kasih,…. Maafkan saya Mbak”  kata Latifah di telinga isteri Pak Hanif pelan. Hampir tak terdengar.
******
Jam di meja belajar Hanifah menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Shodaqollahul ‘adziem,….” Hanifah menutup Kitab Suci yang baru selesai dibacanya sejak usai sholat maghrib tadi dan meletakkan di meja belajarnya. Masih mengenakan mukena ia keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan makan malam bersama Bu Siti di ruang makan.
” Boleh Hanifah bicara sama Ibu?”
“Sepertinya kok penting, ada apa sayang?”
“Di kamar Hanifah saja Bu”
Mereka menuju ke kamar Hanifah. Setelah menutup pintu kamarnya, Hanifah menghampiri ibunya yang sudah duduk di bibir ranjang. Ia duduk di karpet di depan ibunya. Kedua tanganya di ditaruh atas kedua lutut ibunya.
“Sejak ultah Hanifah seminggu yang lalu, Pak Hanif beda banget sama Hanifah Bu,….. beliau kelihatan gugup kalau Hanifah memberi salam atau menyapa, Hanifah jadi merasa gak enak dan bersalah “
“Mungkin itu perasaanmu saja, sayang”
“Tidak Bu, benar!… Bahkan beliau tadi pagi salah sebut nama, masak yang beliau sebut nama ibu waktu menyuruhku membaca, untung teman sekelasku gak ada yang tahu nama Ibu,…”
“Benarkah begitu?.... dia masih masih menyebut namaku?....Ehm, maksud Ibu beliau menyebut nama Ibu?”
“Hehehehe….. ternyata bukan  cuma beliau yang aneh, Ibu juga aneh,…. Sebenarnya ibu sama Pak Hanif bukan sekedar teman kan?”
Ibu Hanifah menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dengan berat. Hanifah meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya.
“Baiklah, Ibu akan cerita,... Sejak bayi Ibu dan Pak Rozak tinggal dan di besarkan di pantai asuhan itu. Ketika kelas satu Tsanawiyah, ada yang mengangkat ibu sebagai anak asuh untuk disekolahkan di kota”
“Dan Pak Hanif?”
“Pak Hanif adalah anak dari guru Ibu saat di Tsanawiyah, kakak kelas ibu”
“Apakah Ibu ketemu lagi dengan Pak Hanif?”
“Ya, seteleh lama berpisah kami bertemu lagi. Saat itu Pak Hanif masih kuliah dan ibu sudah bertunangan dengan Ayahmu”
“Apakah Ayah tahu tentang hubungan ibu dengan Pak Hanif?”
“Ayahmu tahu semuanya, …. Ayahmu mencintai Ibu lebih dari apapun”
“Tapi cinta ibu hanya Pak Hanif, kan?”
“Kelak kamu akan tahu bagaimana kamu harus menerima dan memperlakukan cinta dengan syukur dan  hormat”.
Hanifah diam, mencoba memahami perkataan ibunya. Ia berdiri lalu menuju meja belajar mengambil pena. Kemudian  kembali menghampiri ibunya dan duduk  di sampingnya.
“Oh ya Bu, Pak Hanif menjadikan Hanifah sebagai mataharinya”
“Matahari?” Tanya ibunya sambil mengernyitkan kening dan menatap Hanifah. Hanifah mengaggukkan kepala.
“Ini Bu, beliau memahatnya di pena ini dan menghadiahkanya padaku” Kata Hanifah sambil memperlihatkan pena perak berkilau kepada ibunya.
“Subhanallah…..”  Puji Ibunya  lirih dengan bibir gemetar.
*****
“… meskipun selama ini tiada pernah terucap kata cinta, tapi aku tahu dan dapat merasakan getarannya, walau terkadang ada juga keraguan di hatiku… hingga Mas Hanif mengatakannya dalam surat yang telah kuterima tiga hari yang lalu. Sungguh, ucapan itu yang selalu kunanti dan kutunggu.
Maafkan Latifah Mas Hanif, sungguh bukan, bukan aku tidak cinta, hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang dapat mengalahkan cintaku kepada Mas Hanif.
Aku yakin  Mas Hanif pasti mengerti dan mafhum benar dengan masalah ini, bahwa tidak boleh menghitbah di atas khitbah saudaranya. Keluarga Mas Hendro telah meminangku seminggu yang lalu. Bukan, bukan aku lebih memilih Mas Hendro, tetapi aku lebih memilih syari’at yang aku yakini. Aku berdoa semoga kelak Mas Hanif memperoleh isteri yang lebih cinta dan lebih baik dariku.
Bersama ini terimalah juga pena yang kupakai untuk menuliskan surat ini. Meski bukan jodohku, Mas Hanif akan selalu menjadi matahariku. Selama pena ini masih disimpan itu pertanda matahariku masih menyinari hatiku dengan cinta, doa dan kilau kebenaran…”
Pak Hanif menyalakan korek api, kemudian menyulut surat yang baru dibacanya itu. Api keunguan melahap kertas yang telah berumur enam belas tahun itu hingga menjadi abu .
“Ayah, ayah di sini rupanya, apa yang ayah bakar ?”  Kata Bu Hanif ketika menemukan asal bau sesuatu terbakar di teras rumahnya. Pak Hanif tidak menjawab. Ia merangkul isterinya dan membibingnya masuk rumah.
16:43 Surabaya, 02-06-2011
Tanda cinta boleh musnah
Tapi cinta takkan punah