Sholat 5 Waktu

tambah sholat sunnah dan tahajud itu malah lebih baik

Guru Berpengalaman dan Sabar Dalam Pengajaran

Siswa - Siswi yang berdedikasi tinggi dan bermotivasi tinggi dalam pembelajaran

Kesabaran Yang Tiada Henti

Tak selamanya hidup ini abadi , hanyalah "perubahan" yang tidak akan berhenti karena sebuah perubahan itu kekal

Rumah kita sendiri

layaknya istana pribadi bila semua kita iklhasi

Pendidikan perlu keimanan

Hidup tanpa iman, sama halnya berjalan menyusuri kegelapan tana arti

Sabtu, 21 November 2015

AKU BUKAN KYAI – 6 Episode: Pukulan Syaithon, Luar Biasa

AKU BUKAN KYAI -7 Episode: Kitab Walet Jat


AKU BUKAN KYAI -7
Episode: Kitab Walet Jati


Alhamdulillah sudah dua hari ini tidak ada tamu yang datang mengeluhkan tentang penyakit atau masalah keluarga. Aku dan istreiku jadi konsen mengerjakan baju penganten pelanggan. Seperti jam 4 sore ini aku membantu mengawasi pegawai yang sedeng pasang manik-manik agar sesuai dengan gambar desain rancangan isteriku. Hari ini aku minta empat pegawai untuk lembur mengerjakan baju pengantin.
Aku lihat jam yang menempel didinding tepat di atas mesin oberas menunjukkan pukul setengah lima ketika terdengar ucapan salam dari ruang tamu. Isteriku segera bangkit dan menemuinya. Tidak lama kemudian kembali menemuiku memberitahukan ada tamu yang mencariku. Begitu sampai di ruang tamu alangkah kagetnya aku, Pak Tua tersenyum memandangku..
"Jangan kaget Kyai, aku bukan hantu... Aku masih hidup, aku bukan hantu" Kata Mbah  Sastro  alias Pak Tua.
"Subhanallah, benarkah panjenengan Mbah  Sastro ?" Tanyaku belum yakin sambil mengulurkan tangan dan dibalas dengan jabatan erat olehnya.
"Benar Kyai"
"Kalau benar mengapa memanggilku Kyai"
" Maaf Kyai, eh maaf Mas Hanief " Katanya sambil melepaskan tanganku lalu duduk
"Lalu siapa yang tertabrak, semua orang melihat itu panjenengan Mbah "
"Itu orang gila yang tertabrak, aku hanya menggunakan raganya untuk menyerupaiku"
"Apakah orang-orangnya Mbah  tahu kalau Mbah  masih hidup"
"Tidak, dan aku tidak ingin mereka tahu,... Aku juga tahu mereka dendam kepada Mas Hanief, aku juga tahu apa yang terjadai di kedai es jus itu, aku bersyukur kedua murid utamaku telah sadar dan sekarang menjadii murid Kyai Blekok " Katanya menjelaskan.
"Kanapa Mbah ? Maksudku kanapa Mbah  melakukan semua itu?" Tanyaku
"Aku ingin, kembali ke jalan yang benar dan aku sekarang benar -benar telah siap" Kata Mbah  Sastro
"Mbah , mau minum apa?" Tanyaku menyadari tamuku belum disuguhi apapun.
"Apa saja, terimakasih" Jawab Mbah .
"Sebentar ya Mbah , " Kataku sambil bangkit untuk menemui isteriku. Aku minta isteriku membuatkan kopi sekalian menyidiakan makan karena aku kuatir Mbah  belum makan. Aku kembali ke ruang tamu.
"Kalau boleh tahu, apa rencana Mbah  selanjutnya?"
"Tolong bimbinglah saya agar bisa kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah Mbah , tai bukan saya yang akan mengajari, Mbah  akan saya antar ke Kyai Zuhdi di pesantren Sidoresmo setelah maghrib ini kalau Mbah  mau"
"Saya siap Mas, terima kasih"
Isteriku mencul sambil membawa dua gelas kopi. Isteriku mempersilakan Mbah  ke ruang makan karena makanan telah siap. Mbah  menolak, tapi  aku memaksa.
Ketika Maghrib Mbah menolak ke masjid, takut membuat geger karena kemenculannya. Ia minta ijin sholat di rumah. Akhirnya akupun tidak ke Masjid tapi sholat di rumh bersqma Mbah  Sastro . Selsai sholat aku mengantar Mbah  Sastro  menemui Kyai Zuhdi. Mbah  Sastro  menutup wajanya dengan helm berkaca gelapa. Kyai Zuhdi menerima dengan baik. Tentu aku tidak cerita siapa Mbah  Sastro . Aku hanya menyampaikan Mbah  ingin belajar.
Biarlah nanti Kyai tahu siapa santri istimewanya yang sudah berumur lanjut itu dari Mbah  Sastro  sendiri. Aku di minta Kyai Bashori dtg menemuinya dua hari yang lalu. Dlm hati aku menduga pasti tentang rencana menggelar wayang di Masjid tahun depan. Ketika akan pulang, Mbah  Sastro menghampiriku yang sudah duduk di atas sepeda motor,
"Mas Hanief, ajarilah cucuku yang masih ...Sangat muda itu supaya lebih dekat kepada Tuhan"
"Cucu Mbah , bagaimena saya bisa menemuinya?"
"Mas Hanief sudah pernah bertemu dengannya, Ratna Tunggadaewi, ia cucuku juga, kakekanya adalah adik kandungku yang terakhir... Tolong berikan ini untuknya, Katakan jangan smpai siapapan tahu tentang pemberianku. Kelak aku akan menemuinya sendiri.," Kata Mbah  Sastro  sambil meraih pinggang lalu mengluarkan dari balik bajunya sesuatu yang dibungkus sapu tangan putih kecokalatan.
Dugaanku sebuah buku, tapi aku tidak ingin menanyakan. Kuterima bungkusn itu dan aku selipkan di balik bajuku di depan perutku. Lalu aku pamit. Sampai di rumah kebetulan ada Cak Ali yang mencariku karena tadi maghrib dan isaya aku tidak sholat jamaah di Masjid. Katanya Kyai Bashori menanyakan, makanya Cak Ali langsung ke rmhku begitu selesai sholat isya.
"Darimana Kang "
" Pesantren, menemui Kyai Zuhdi"
"Lha Kata isterimu sama orang tua, siapa Kang"
"Ya itu mengantar tamuku, oh ya punya nomor HP Ratna gak Cak"
"Punya, ada apa Kang"
"Tolong hubungi apa dia sekarang di Surabaya, aku ada perlu mendesak"
Cak Ali mengernyitkan Alis. Segera ia mengeluarkan HP dari kantong bajunya dan menghubungiya.
"Di kemayoran" Katanya sambil menutup speaker hp-nya
"Suruh dia ke nasi bebek Bu Tumi, kita temui dia sekarang" Kataku sambil berjalan ke luar menuju sepeda motor.
Dalam perjalan Cak Ali menduga pencopet yang beberpa hari lalu dibuat babak belur akan balas dendam. Aku hanya mengatakan nanti disana akan tahu jawabanya. Begitu aku nyampe ternyata Ratna sudah duduk di warung dengan segelas teh hangat di depanya. Rupanya dia telah pesan karena begitu kami duduk di samping kanan dan kirinya tiga piring nasi bebek segera disediakan.
"Ada perlu dengan saya pak?" Tanya Ratna sambil menggeser piring ke depannya
"Ya, tapai kita makan dulu dengan tenang biar nikmat dan berkah" Jawabku. Tampak Cak Ali tanganya sudah mssuk koboan lalu segera menyantapanya setelahi membaca basmalah. Begitu pula Ratna makan dengan lahap. Kami makan tanpa berpakap-cakap. Hah? Mereka sudah selesai. Padahal punyaku Masih seperempat piring. Mungkin mereka sudah tidak sabar ingin tahu ada apa. Akupun segera menyelesaikan makanku. Nikmat rasanya, terutama sambal koreknya. Begitu terasa.
Setelahi cuci tangan aku segera mengeluarkan buku yang dibungkus sapu tangan putih kecoklatn itu dr balik bajuku dan meletakkanya di depan Ratna.
"Titipan dari seseorang untuk kamu" Kataku. Ratna menyentuhnya diikuti pandangn Cak Ali kebenda trsebut.
"Apa ini Pak, dari siapa"tanya Ratna.
"Aku tidak tahu isinya, krn aku tidak punya hak membukanya, dan orang yang memberi ini minta untuk dirahasiakan, kelak akan menemui Ratna sendiri" jawabku
"Baiklah terima kasih, mari kita lihat apa isinya" Kata Ratna sambil membuka simpul ujung sapau tangan yang membungkusnya. Benar dugaanku, buku. Sampulnya warna biru pudar dimakan usia.
"Apa ini artinya" Kata Ratna sambil menunjuk tulisn disampul buku itu. Tampak deretan huruf tulisan tangan TELAW ITAJD. Aku mengernyitkan alis tak tahu maksudnya. Kami hanya diam saling pandang.
"Walet jati, bacanya di balik" Kata Cak Ali
"Benar" Kata Ratna lalu dibukanya buku itu, tampak gambar orang sedang memperagakan jurus.
"Apakah pak Ali mengenal gerakan ini."Kata Ratna kepada Cak Ali. Cak Ali menggelengkan kepala setelah mengamati beberapa halaman.
"Apakah pak Hanief tahu artinya walet jati, apakah walet yang ada di pohon jati?" Tanya Ratna
"Jati yang dimaksud mungkin bukan pohon jati, tapi bahasa jawa jati yang artinya sesungguhanya atau yang sebenarnya, kalau benar berarti artinya walet yang sesungguhya"
Cak Ali dan Ratna mengangguk-anggukan kepala.
"Saya rasa Ratna diminta untuk mempelajari ini, krna pesan pemberi buku ini jangan sampai orang lain tahu meskipun itu kakek Ratna sendiri"
"Baiklah pak Hanief, saya akan menjaga pesan itu, tapi saya akan minta bimbingan Pak Hanief dan pak Ali karena hanya bapak berdua yang tahu masalah ini" Kata Ratna sambil menutup dan membungkus kembali buku itu.
*****
Hari ini, adalah tepat satu minggu Pak Tua berada di pesantren
Aku baru saja sampai di depan rumah setelah habis Isya tadi ke pesantren menemui Kyai Zuhdi dan Pak Tua Alias Mbah  Sastro . Tapi  Kyai setelah maghrib tadi sudah berangkat ke Dander Bojonegoro.
Ada Vario merah parkir di depan rumah, pasti ada tamu pikirku. Ternyata Cak Ali dan Ratna Tunggadaewi sudah duduk di ruang tamu
"Kemana aja Kang, HP gak aktfi lagi " Tanya Cak Ali bgitu kpalaku nongol mlewati pintu.
"Aku gak bawa HP Cak, dari pesantren... Tp Kyai lagi ada pngajian, Bagaimana dengan kitab pusaka itu, apa sdah dipelajari dengan baik" tanyaku kepada Ratna yang duduk di samping isteriku sambil memegang desain bajunya yang barusan digambar isteriku.
"Itulah keperluan saya kemari pak, saya gak paham, Pak Ali juga bingung dengan gerakan yang aku praktekkan dari kitab itu."
"Lha,.. kalau pendekarnya saja bingung, apa lagi saya yang bukan Pendekar, ....nggak Pendek dan gak kekar" Kataku sambil melihat Cak Ali. Dia cuman tersenyum manis. Itulah kehebaan Cak Ali, walau disinggung tetap tersenym manis. Tapi kalau dia tersinggung, huhh jangan tanya, bisa-bisa ajur mumur kayak bubur sumsum kesukaanya kalau pas giginya kumat!
(Tak udal udel sampean Cak, dari lontong balapa smpe nangis loro untu, ayo kapok tora?! )
"Menurut analisa kalian, aneh dan gak bisa dipahaminya dalam hal apa? Apakah seperti terbalik?" Tanyaku
"Terbalik?" Kata Cak Ali dan Ratna berbarengan. Mereka saling pandang. Dan tiba-tiba  Ratna berdiri lalu permisi mencari tempat yang agk longgar. Dia segea kansentrasi lalu memainkan jurus silat yang indah lalu berhenti.
"Benar pak Ali, terbalik, tapi kenapa tenagaku gak bisa keluar? Seprtinya ini gerakan penutup?"
"Memang di buku itu halaman berwpa" tanyaku
"Ya halaman pertama lah, urut, Masak belajar gak urut... Apalagi ini jurus, gerakan apa jadainya kalau gak urut" Jawabnya nyerocos. Untung kakeknya udah titip untuk membimbing, kalau gak sudah tak bungkem
"Buktinya?... Gerakanmu salahkan? Makanya berapa?' Pertama?" Aku tatap wajahnya. Dia mengangguk.
"Cara membacanya adalah seperti Al Quran, halaman pertama adalah pada halaman yang terakhir !"
"Terma kasih Pak Hanief, maaf, apakah bapak pewalet juga seperti Pak Ali? Apakah Bapak juga telah mempelajari buku walet jati itu?" Tanya Ratna
"Bukan, saya juga bukan orang yang suka mencuri ilmu, saya tahu karena yang memberikan buku itu tadi memberitahuku untuk memberitahumu bagaimana mempelajarinya"
"Tadi kang? Bukankah tadi dari Kyai Zuhdi, apakh beliau yang memberikanya?" Tanya Cak Ali. Rupanya dia penasaran dari mana buku itu
"Bukan, bukan beliau, itu saja jawabanku karna aku terikat janji" Jawabku kepada Cak Ali. Cak Ali mengernyitkan Alis, aku tak tahu apa yang dipikirkan
"Baiklah pak Hanief, saya permisi, saya pulang dulu untuk mempelajari buku itu dengan baik, terima kasih, Assalaamialaikum" Kata Ratna lalu menemui isteriku untuk bersalaman dan pulang untuk mempelajari buku walet jati itu.
Aku tidak banyak belajar ilmu silat ketika muda. Meskipun Kyai shofi pernah mengajari beberapa gerakan setelah aku menonton beberapa santri berlatih dibawah pengawasanya. Aku memang kurang tertarik dengan ilmu silat. Aku lebih suka menghafal beberapa ayat Al Qur'an, Hadits dan doa-doa. Menurut Kyai shofi aku berbakat tapi malas.
*****

Minggu, 04 Oktober 2015

AKU BUKAN KYAI 5

AKU BUKAN KYAI 5
Episode: Surban Sang Kyai

Jam empat sore aku dan Cak Ali ke rumah Kyai Saiful Bachri. Ternyata abah Kyai tidak ada, menurut salah seorang santrinya abah Kyai sedang kirim terpal ke ke Balai Kota. Sebab besok malam akan ada istighotsah dan sholawat bersama Habib Syaech. Maklum selain juragan terpal Abah Kyai juga panitia pengarah yang dibutuhkan nasehatnya. Akhirnya aku dan Cak Ali meluncur ke jalan Demak untuk minum jus duren disana. sesampainya di sana aku segera mencari tempat duduk yang nyaman, sedangkn Cak Ali yang pesan.
 Ada beberapa meja yang kosong, aku memilih meja dengan dua kursi dekat pintu masuk agar dapat mengawasi sepeda yang aku parkir. Di kedai ini parkir gratis, tapi kalau lengah justru bisa menjadi mahal. Selesai pesan Cak Ali duduk di kursi depanku di batasi meja menghadap keluar menikamati lalu lalang kendaraan jalan Demak. Tidak lama Cak Ali duduk, seorang pemuda datang membawa dua gelas jumbo jus duren dan meletakkanya di depan kami. Cak Ali mengaduk isi gelas sambil berkata pelan,
"Sepertinya dari tadi sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
“Ya, dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu juga ya Kang"
"Ya, aku yakin, karena mereka ikut belok ketika kita ke rumah Kyai"
"Siapa mereka kang"
"Nanti kita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang mereka menyeberang ke sini"
"Biarkan saja, kita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak lama kamudian aku mendengar suara motor parkir dan aku menoleh. Ternyata benar. Merekaa parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak masuk tapi memilih meja di luar yang berada dua meja di belakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan garak gerik mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat pesanan.
Tidak lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sejak mereka duduk hatiku merasa tidak enak dan was-was. Di hati aku membaca wirid dan berdoa. Karena degup jantungku terasa agak keras aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka. Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian daripada hanya cuci muka, toh juga sama-sama basah. Selesai berwudhu hatiku merasa tenang, lalu kembali ke tempat dudukku. Cak Ali tampak sedang menikmati tahu petis dan lombok di tangan kirinya. Aku segera menjauhkan mangkuk kecil berisi lombok itu dari jangkauan Cak Ali. Kuatir dihabiskan karena Cak Ali punya masalah lambung. Tiba-tiba gelas kami bergetar. Aku segera membaca laquah dan menyentuh gelasku. Gelaskupun diam kembali. Gelas Cak Ali tiba-tiba pecah jadi dua di atas meja disertai suara dua orang terjengkang dari kursi dibelakangku. Cak Ali segera mengepalkan lengannya tapi aku mencegahanya dan menyuruhanya tetep tenang. Orang yang berada di kedai pun serentak berdiri memandang ke arah suara dua orang tadi yang sepertinya terpental bersama kursinya satu meter dari tempat semula. Aku menoleh ke arah mereka, tampak beberapa orang membantunya berdiri. Rupanya mereka berdua pingsan.
Orang-orang pun ribut. Ada yang mengusulkan lapor polisi, ada yang mengusulkan panggil ambulan karena keracunan. Tapi pemilik kedai minta untuk tidak lapor polisi atau pnggil ambulan. Kuatir masalahnya tambah panjang dan kedainya tidak laku. Disuruhnya para pegawai untuk membawa mereka masuk untuk dipanggilkan adiknya yang katanya dokter di Karang Menjangan. Saat para pegawai kedai dan beberapa pelanggan membantu membawa mereka masuk, seorang pemuda dua puluh limaan berpakaian koko dan berwajah bersih ganteng menghampiriku dan Cak Ali sambil tersenyum.
"Mereka tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau boleh saya memperkenalkan diri saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku Ipin," Katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan mnyebuntukan nama kami masing-masing.
"Tolong jangan ada yang lapor polisi, mereka tidak keracunan, mulutnya tidak keluar busa. Hanya sedikit darah dimulutnya. Hari ini samua gratis. Sekli lagi tolong jangan ada yang lapor polisi" kata pemilik kedai.
"Tidak apa-apa Pak, tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air mineral" kata pemuda ganteng yang bernama Ipin.
Pemilik kedaipun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan menuangkannya di telapak tangan kanannya. Setelah beberapa detik air itu lalu dicipratkan ke muka mereka. Begitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Merekaa mencoba bangun tapi sepertinya tak mampu menahan sakit di dadanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Hey Cak ! Iki karepmu dhewe opo kongkonan, ayo ngaku !" Cak Ali menghardik. Mereka bukanya segera menjawab tapi kedua tanagn merekaa memegangi leher masing-masing dengan mata mendelik seperti orang dicekik. Melihat itu Arifin segera memegang kedua ubun-ubun mereka. Tanganya bergetar.
"Pak Hanief, Pak Ali tolong lakukan sesuatu, orang ini dicekik jarak jauh" Kata Arifin. Aku segera membaca laquah dan meniru meletakkan tanganku diatas telapk tangan Arifin di atas ubun-ubun  mereka. Kedua orang yang tercekik itu kini melepaskan tanagn mereka dari leher masing-masing dan menyatukan kedua celah jari-jari  tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat kamit. Tidak lama kamudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin megangkat tangannya. Akupun mengikutinya.
"Terima kasih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief. Paman guru yang menyurhnya"
Karena orang-orang  di kedai berkerumun mengelilingi, aku merasa tidak enak dijadikan tontonan.
"Sebaiknya kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan." Kataku. Arifin mengangguk
"Pak ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas Arifin sambil mengeluarkan selembar uang ratusan.
"Dan ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak Ali
"Semuanya gratis tidak perlu bayar" Kata pemilik kedai. Kami berlima keluar dari kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidak tidaknya dia seorang santri.
Aku membawa mereka menyusuri jalan Demak lalu putar balik menuju Jalan Purwodadi ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju Masjid Al Hilal.  Sesampainya di sana, Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sebslum duduk aku sholat dua rokaat. Begitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudhuku belum batal. Mas Arifin juga tidak wudhu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga wudhu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di sampingku. Kami duduk melingkar.
"Baiklah, siapa nama kalian" tanyaku
"Saya Bagus Kyai" jawab pemuda yang agk kekar itu.
"Saya Agus, Kyai" jawab pemda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan trengginas.
"Panggil saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... Mengpa paman gurumu itu menyuruh kalian mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena guru kami telah Pak Hanief celakai, kami harus menantut balas" jawab Bagus
"Siapa guru kalian itu?, "
"Ki Sastro, di warung kopi itu " Jawab Agus
"Pulanglah dan sampaikan kepada pamn guru kalian, aku tidak mencelakainya, banyak saksinya"
"Kami tidak berani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" jawab Agus.
"Kalau kalian ingin aman dan mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementra kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di Pesanteren Sidoresmo, dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah isya'" Kata Mas Arifin
"Terima kasih Kyai"
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adaalah Kyai muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren magelang.
"Baik Mas, terima kasih"e
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, jg nanti di pesantren. KAlian bukan santriku tapi temanku" kata Mas Arifin wibawa sekli.
"Maaf Pak Hanief, kalau saya boleh tahu siapakah guru Pak Hanief dan dari pesantren manakah, sebab maaf kalau saya tidak salah tadi yang diamalkan Pak Hanief adalah wirid laquah yang sudah lama menyatu sehingga luar biasa pengaruhnya..mungkin setingkat atau lebih tinggi dengan Abahku" Tanya Mas Arifin dengan sopan.
Aku gelagepan karena dia tahu wirid yang aku baca. Aku sadar sedang berhadapan dengan orang Alim meski umurnya jauh lebih muda dariku
"Ah Mas Ipin bisa saja, saya kan bukan Kyai tidak pantas dibandingkan dengan abah Mas Ipin, saya di ajari guru saya Kyai Ahmad Shofi Al Marhum pengasuh pesantern Al Amien Pekalongan saat saya kelas dua Tsanawiyah. Kebetulan beliau tetangga dan teman almarhum ayahku" Jawabku.
"Kyai Ahmad Shofi Pekalongan, sepertinya aku pernah dengar dari abahku" kata Mas Ipin sambil manggut-manggut. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Dua hari kemudian. Setelah isya' jam delapan Mas Ipin datang di Masjid Al Hilal. Tidak sendirian, tapi bersamaa seorang bapak yang kira-kira berusia lima puluhan. Pakaian dan celananya serba putih, begitu pula dengan tutup kepalanya. Di pundak kananya berhias surban warna hitam berumbai benang perak. Sangat gagah dan wibawa. Kami berempat segera berdiri menyambut merekaa.
"Assalamualaikum" Aku mendahului mengucapkn salam kepada mereka. Mereka menjawab sambil mengulurkan tangan.
"Dimas Hanief ya?" Kata Kyai sambil menjabat tanganku.
" Nggih Abah Kyai," Jawabku sambil mengangguk takzim.
"Panggil Mas saja, usia kita kan cuman terpaut sedkit, lagi pyla saya jug pernah jadi santrinya Romo Kyai Shofi, gurunya dimas, meski hanya beberarpa bulan sebelum berangkat ke Banten"
"Dimas, saya tidak bisa lama-lama karena jam 10 malal ini ada pengajiann di Gresik, sebagai takzim saya kepada guruku Kyai Shofi terimalah surban ini samoga bermnfaat" katanya
"Oh ya Pak Hanief Pak Ali, saya akan senang jika panjenengan tgl 25 Rajab berkenan hadir ke Magelang" kata Mas Arifin
"Usahakan datang Dimas, saya ingin ngobrol banyak dengan dimas" kata Abah Kyai
" Insaya Allah, dengan senang hati kami akan datang"Jawabku.

" Baiklah kami permisi dulu, assalamu'alakum" Pamit Kyai. Setelah bersalaman mereka masuk mobil diikuti Agus dan Bagus. Setelah mobil mereka jalan,aku dan Cak Ali menuju sepeda motor yang kami parkir. Kini Cak Ali mengendarai satria. Sepeda motor milik bagus itu telah dijual kepada Cak Ali untuk bekall di Magelang. Kebetulan saat itu BPKB di bawa di Jok karena  barusaja ditebus dari Pegadaianl. Jadi Cak Ali mau membdlinya dengan harga yang pantas. Aku tersenym melihat Cak Ali nangkring di atas Satria. Sepeda itu terlalu kecil untuknya yang gendut. Eh salah, montok. (kuatir dia protes lagi karena tidak suka dikatain gendut ).

Minggu, 16 Agustus 2015

AKU BUKAN KYAI 4

AKU BUKAN KYAI 4
Episode : Keris Luk  Pitulas, Karya Yang Indah
Bersamaan tangan kananku yang terangkat dengan telapak tangan terbuka, tiba-tiba gadis itu dlosor dari tempat duduknya dan bersimpuh di lantai.
"Ampun..ampun jangan pukuli aku..." Katanya menghiba.
" Kalau begitu sekarang kembalilah ke asalmu dan jangan kembali lagi " kataku. Di hati aku merasa heran juga karena aku tidak merasa memukulinya."Baiklah aku pergi" dan tiba-tiba gadis itu tersungkur lemas di kaki ibunya ayah dan ibunya segera mengangkat gadis itu ke kursi, mendudukanya. Gadis itu lunglai dengan mata terpejam seperti orang yang pingsan. Karena kuatir terjadi sesuatu aku menyentuh pundakya..
”Mbak,.. Mbak " kataku sambil sedikit menggoyang pundaknya. Gadis itu membuka matanya dan melihat ke arah ibunya yang segera memeluknya dengan cucuran air mata. " Kenapa ibu mnangis,
"Gadis itu juga melihat ayahnya seolah-olah minta jawaban, tetapi sang ayah hanya bisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca
"Terima kasih Kyai"
" Maaf Pak, saya bukan Kyai, Ki, dukun atau paranormal,"
"Siapapun bapak, saya sangat berterima kasih"
"Berterima kasih dan bersyukurlah kepada Allah,.. Maaf kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya mulai sekarang kewajiban kepada tuhan lebih utama untuk dikerjakan. Ajaklah isteri dan anak Bapak untuk sholat di belakang bapak, Insya Allah tuhan akan senantiasa melindungi keluarga Bapak,.." Aku menghentikan ucapanku. Karena melihat Pak gendut menteskan air mata dan sesenggukkan menahan tangis.
"Ya allah ampunilah aku dan keluargaku" katanya lalu meraih tanganku, disalaminya dan menatapku lekat-lekat.
" Tolong ajarilah aku Sholat agar bisa jadai imam untuk keluargaku Pak " katanya dengan air mata meleleh.
"Tenanglah Pak, silahkan duduk"
Pak gendut pun duduk kembali. Lalu menyeka air matanya.
"Insayaa allah nantii akan saya sampaikan kepada temanku seorng Ustadz untuk mengajari Bapak" kataku sambil menyerahkan gelas air mineral kepada Pak gendut. Pak gendut menerimanya dan segera meminumnya. Sesenggukanya pun mereda.
" Terima kasih, tapi sayaa ingin baPak sendiri yang mengajari sayaa dan keluarga sayaa,.."
" Maaf Bapak, saya bukan Ustadz, saya penjahit, perkrjaan saya menjahit, rezeki saya melalui mesin jahit" jawabku. aku mencoba memberi alasan yang tepat, bukan aku tidak mau mengajari sholat. Sebab salama beberapa minggu ini jujur saja aku merasa terganggu juga dengan banyakanya tamu. Untungnya penjahitku yang cuman dua orang itu mau lembur. Bahkan isteriku pun mulai mengeluh beberapa hari yang lalu. Tetapi saya yakinkan kepada istriku bahwa aku tidak beralih profesi jadi paranormal dan aku masih normal
"Sekali lagi maaf Pak, bukanya saya tidak mau mengjari sholat Bapak dan keluarga Bapak, tetapi memang belajar itu sebaiknya pada ahlinya, dan yang ahli dalam hal ini adalah para ustdz dan Kyai... Bukan penjahit seperti saya ini.. "
"Ah Bapak ini terlalu merendah..." Kata Pak Gendut sambil tersenyum. tidak lama kamudian merekaa pamit untuk pulang. Aku dan Cak Alie mengntarkannya sampai di mobilnya.
Lha ternyata supirnya adalah Pak Parno yang rumahanya depan gang rumahku. Cak Ali pun segera pulang. Aku masuk ke rumah, tetapi ketika aku sampai pintu aku ingat pada tamuku yang satunya. Seorang bapak berkemeja batik. Kok di teras tidak ada, tadi juga waktu ngantar Pak gendut jg aku tidak melihatnya. Aku clingak clinguk di depan rumah mncarinya, aneh tamu kok pulang tidak pamit. Ah, tidak boleh su'udhon, barang kali aja dia kena diare dan harus segera pulang.
******
Masih pagi, jam setengah tujuh Pak parno tetanggaku yang menjadi supir Pak Gendut datang ke rumah membawa bingkisan. Katanya dari Pak Gendut untukku. Aku persilakan Pak Pak parno duduk dan menerima bingkisan itu.
" Mas Hanief, ada yang ingin saya sampaikan, ada orang yang tanya tentang sampaean beberpa waktu lalu ketika saya mengantar majikan saya kemaren malam itu"
" Apakah orang itu sudah cukup tua dan berbaju batik" tanyaku
"Ya, benar Mas, kok Mas sudah tahu, oh ya ya saya lupa kalau Mas Hanief kan orang sakti, jadi wis weruh sak durunge winarah" kata Pak parno
"Hush !, jangan bilang begitu Pak, aku tahu bukanya punya ilmu tebak jitu, tapi orang itu sudah ke sini .."
"Ooo, tapi kok saya curiga banget Mas, soalnya tanyanya macem-macem"
"Barang kali aja dia pingin kenal tapi malu tanya sendiri padaku, Pak"
" Gak mungkin Mas, tapi waktu itu perasaanku jadi gak enak, pokoknya aneh gitu Mas,.
"Wah, maaf saya pamit dulu, ngantar majikan ke Juanda,.."
"Silakan Pak, tolong sampaikan terima kasih saya ya Pak "
"Inggih Mas, Assalaamualaikum"
" Wa alaikum Salam" aku mengantarkannya keluar sampai teras. Dan ketika aku akan Masuk seseorang memanggilku. Ternyata Cak Ali Sofiri mau mengambil baju anakya.
" Masuk aja Cak, tny istriku di d aku gak tahu dah dijahit apa keluar" kataku pd Cak Ali. Dia pun masuk mengikutiku ketika melewati ruang tamu Cak Ali Sofiri melihat bingkisan yang menarik perhatiannya.
"Punya siapa ini Kang kok di bungkus bagus gini" tny Cak Ali, ia mengira jahitan milik pelanggan yang sudah jadi.
" Dari Pak Gendut"
" Wah, bungkusnya bagus isinya apa ya Kang"
" Gak tahu lah, yang jelas pasti bukan Lontong Balap hehehehe"  Aku berkata begitu karena aku tahu Cak Ali Sofiri hobinya balapan lontong sama sambel sak cowek di Kepanjen.
"Wis Cak, cik no gak penasaran ayo buka bareng" Kataku sambil duduk diikuti Cak Ali yang duduk di sebelahku. Isi bungkusan itu adalah sebuah kotak segi empat yang panjangnya kira-kira. 60 cm dengan lebar 30 cm yang terbuat dari kayu jati berukir motif bunga yang mengelilingi pinggirnya. Di tengahnya terdapat ukiran naga yang menjulurkan lidahnya
"Sik, ojo dibuka dhisik, hatiku gak enak,.. Sepertinya ada sesuatu di dalamnya"
"Ya jelas lah, Masak kosong..." Jawabku
"Aku serius Cak" katanya sambil meletakkan telapak tangan kanannya yang jari tengahanya berhias akik hitam. Aku lihat Cak Ali mulutnya komat kamit entah membaca apa. Tiba-tiba kotak itu bergetar. Aku kaget. Cak Ali keningnya berkerut.
"Iki Jin, Kang !" Kata Cak Ali sambil menangkat tanganya kembali. Aku hanya diam. Cak Ali melihatku dengan wajah menyiratkan seribu pertanyaan.
"Ah, yang benar Cak, masak jin dimasukan kotak?  Kayak pizza saja, lagi pula ngapain Pak Gendut kasih jin padaku" tanyaku.
"Untuk tahu jawbannya ya buka aja Kang"  Jawab Cak Ali. Aku mengangguk. Lalu segera melihat sekeliling kotak untuk mencari tahu bagaimana membukanya. Ternyata ada tombol perak disamping kotak. Kami kaget begitu kotak terbuka. Keris. Di atasnya ada amplop, segera ku ambil dan kubuka. Isinya kertas bertuliskan, benda inilah yang membuatku lupa padaa tuhan, aku selalu mengandalkanya... Sekarang aku serahkan kepadaa Kyai agar tidak menggangguku dan keluargaku. Terima kasih Kyai telah menyadarkan aku.
"Petunjuk apa kang?" Tanya Cak Ali. Aku berikan kertas itu kepada Cak Ali, ia segera membacanya. Aku mengamati keris itu. Warangkanya cokelat tua mengkilap entah dari kayu apa. Gagangnya juga kayu warna cokalt hampir kehitaman berbentuk kepala naga dan bertabur permata merah delima sampai ke leher. Sungguh sebuah karya seni yang indah.
"Keris ini sudah jadi milikamu Kang. Tapi ada jin-nya, hati-hati"  Kata CakAli. Aku ambil keris itu dari kotak dan aku pegang gagangnya dengan tangan kananku. Aku sangat penasaran ingn melihat bentuknya. Srreett..,perlahan gagangnya aku tarik ke atas, tampak besi hitam mengkilat berlekuk, kuamati lekukanya. Kuhitung ada tujuh belas.
" Luk pitulas" kata Cak Ali
" Emang Kenapa Cak" tanyaku
"Panjang"  Jawabnya
" Ya iya lah, ... kalau Sembilan ya pendek. Maha karya seperti ini kok menjauhkan manusia dari Tuhan ya?  Aneh. Seharusnya kan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan bersyukur  diberi kamuampuan yang luar biasa dan dapat menikmuati keindahanya, subhanallah. Begitu ucpan tasbihku selesai, keris ditanganku bergetar hebat, terasa berat dan gagangnya panas. Cak Ali segera kamut kamit lagi dan akupn membaca ta'awudz dan laquah di hati. Kini keris itu tenang dan terasa sangat ringan, bahkan tampak lebih berkilau meski dari besi yang hitam legam.
"Jinnya sudah pergi Kang, sampean memang luar biasa Kang Tadi sebelum kotak dibuka aku coba mengusirnya tapi jinnya mbandel, di tangan sampean langsung lari terbirit-birit. Sampean pake jimat apa to kang "  Tanya Cak Ali ketika aku memasukkan kambali keris itu ke warangkanya
"Gak Pake apa-apa" Jawabku sambil menunjukan ke-10 jariku
"Kalung?" Tanya Cak Ali
"Kalungku aku Pake hanya waktu jahit. Kalungan meteran. Yo iku jimatku, kalau gak dipake bajunya gak jadi..hehehe"
"Berarti Pake wirid, pasti !" Tebak Cak Ali.
"Wiridanya apa kang, masak sama temen sendiri gak mau kasih tau" katanya sambil menatapku serius. Aku diam karena bingung, sebab aku merasa tidak tahu namanya wirid apa. Tapi klo tidak aku jawab aku merasa tidak enak.
"Wirid Sasahidan"   Jawabku sekenanya. Karena samalam aku mendegarkan wayang dari radio pas Pak Manteb sedang menerangkan wirid sasahidan melalui Semar yang sedang menerangkannya kepada anak-anaknya
"Wirid yang sperti apa itu Kang" Tanya  Cak Ali. Belum sempat aku jawab Cak Jo nongol di pintu sambil mmbawa undangan. Ternyata Aqiqah tetangga sebelah rumahanya.
"Nah,.. Kalau mau belajar wirid sebaiknya kepada Cak Jo... Dia kan pernah lama nyantri" Saranku kepada Cak Ali
"Alah tambah payah, wong Cak Mat sama tikus aja lari terbirit-birit" Sahut Cak Ali. Dia memangilnya Cak Mat karena memang namanya Muhammada BeJo Hayat Darroin.
Isteriku dari dapur muncul, sambil membawa teh hangat sama pisang goreng
"Yah, benang sama kain keras habis, sekalian beli minyak obras. Tinggal sedikit"  Kata isteriku sambil meletakkan piring dan gelas di depanku dan Cak Ali.
" Duduk dulu Cak Jo, tak buatkan teh" Kata isteriku lalu menuju dapur.
"Gak usah Nte, mau nganter undangan dulu ".
"Aku jug pulang saja dulu wong sampean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya .
*****
Kukayuh sepeda pancalku yang sudah tua ke toko konfeksi. Sampai di sna ramai pembeli. Terpaksa antri. Aku dduk di bangku panjang di teras toko yang memang disdiakan untuk pelanggan. Sebelum duduk aku perrmisi kepada sebelahku, seorang bapak yang sedang duduk.
"Sudah dari tadi Pak?" Tanyaku basa basi.
" Lumayan Mas, apa itu sepeda sampean" Jawab bapak itu dan balik bertanya sambil mennjuk sepdaku yang aku pakir tidak jauh dari kami duduk.
“Sepeda cantik dan antik, Gazele 70 an”
“Benar Pak, tepatnya 68, lebih tua dari saya “ Jawabku
“Rumahnya dekat sini aja ya Mas?” Tanya bapak itu selanjutnya. Mungkin karena aku hanya ngontel saja ke toko ini.
“Lumayan dekat, Dupak Jaya”
“Ooo kebetulan, apa dekat dengan orang pinter itu Mas”
“Orang yang mana ya Pak, di Dupak memang banyak orang pinter, mulai dokter, dosen sampai aggota dewan” Jawabku.
“Bukan itu maksudnya Mas, tapi orang pinter yang sekarang banyak diceritakan orang dan juga yang diceritakan tetanggaku”
"Emang ceriata ap Pak?"
"Anak gadisnya sembuh dari gangguan mahluk halus hanya dengan disentuh pundaknya, apa Mas tahu rumahanya" Tanya bapak tadi
"Oo.. Ta tahu Pak... Gang empat. bapak nanti disana tanya saja"Jawabku gugup.
"Terima kasih Mas, soalnya saya mau kesana, permisi Mas ternyata isteri saya sudah nunggu" Kata bapak itu sambil menujuk perempuan cantik berjilbab di dekat Innova, tanganya banyak membawa belanjaan dari toko sebelah.
Akhirnya selesai juga aku belanja. Aku tidak langsung pulang tapi mampir dulu makan lontong balap di Kepanjen plus es degan ijo kemudian pulang. Begitu aku sampai di depan pintu rumah hendak masuk berpapasan dengan tamu yang hendak pulang. Lha, ternyata bapak yang tadi sempat ngobrol di toko konfeksi.
"Assalamualakum" Sapaku mendahului.
" Wa'alakum salam, jadi panjenengan to Mas orangnya, maaf ya Mas saya tidak tahu"
Sama-sama Pak, monggo Pak Masuk"
Tamuku memperkenalkan diri, namanya Pak Haji Jakfar. Dan isterinya Bu Hajjah Rahma. Akupun memanggilnya Abah dan Umi. Selain pengusaha konfeksi, ternyata abah adalah guru seni rupa di skolah SMK Muhammadaiyah. Abah juga mempunnyai gerai seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" Jawabku
"Begini Mas, ada lukisan di gerai saya yang aneh, lukisan seorang perempuan ..."  
"Aneh Kenapa bah" tanyaku penasaran seperti para pembaca cerita ini, hehehehe.(Kalau gak penasaran pasti gak baca kan?)
"Sudah 3 kali dibeli orang tapi dikembalikan, mereka takut. Aku diminta mengambilnya kembali tapi uangnya gak mau saya kembalikan. Padahal terakhir laku 18 juta"
"Enak lah bah, rejeki nomplok " Jawabku sekenanya.
"Bukan begitu, Mas... Aku kok mrinding mau cerita, lihat Mas buluku mengkorok samaua".
"Emangnya Kenapa Bah ?" Tanyaku
"Katanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramakan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak prcaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam ya tidak berubah, tetap lukisan wanita cantik. Dan kaemarin malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali tapi sopirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"  
“Kenapa tidak minta bantuan orang pintar, Bah?”
"Saya takut syirik, sejak kecil saya diajarkan untuk tidak percaya dengan dukun atau peramal" Jawab Abah. Makanya saya disaranka istri saya kesini, menemui Mas Hanief, katanya Mas Hanief bukan dukun, bahkan juga tidak mau dipanggil Kyai"
"Benar bah, saya bukan dukun, juga bukan Kyai, saya penjahit seperti yang Abah lihat"
"Lalu menurut Mas Hanief bagaimana dengan lukisan itu" Tanya umi
"Saran saya dimusnahkan saja, daripada nanti disalah gunakan oleh orang, bagaimana menurut Abah?"
"Itu karya seni yang indah Mas Hanief" Jawab Abah
"Tapi Abah sudah menjualnya kan?, berarti itu sudah bukan milik Abah lagi"
"Benar Mas Hanief, saya setuju. Bah uangnya juga sebaiknya dikasih ke yatim atau masjid saja ya Bah, lagi pula lukisan itu berbahaya Bah"  Kata isterinya menyela.
" Baiklah saya setuju, terima kasih atas sarannya Mas, sepulang ini akan langsung saya bakar" Kata Abah.
Sepulang Abah dan Umi aku dan isteriku sibuk menjahit bersama dua tukang jahitku. Jam 12 siang baru istirahat. Aku Masuk kamar hendak ganti pakaian untuk sholat jamaah di Masjid. Kedua penjahitku sudah berangkat lebih dahulu ke Masjid. Aku bersyukur karena sekarang mereka rajin sholat jama'ah. Hasil kerjaannya pun tambah baik. Benarlah kiranya bahwa dengan ibadah yang benar akan berpengaruh positif pada pekerjan. Apapun profesinya.
Ketika aku hendak keluar melalui ruang tamu HPku berbunyi. Ternyata Pak Haji Jakfar yang telpon. Beliau minta tolong aku datang ke gerainya karena lukisannya tidak mempan dibakar. Beliau berinisiatif membawa lukisan itu ke rumahkua. Tapi tak sorangpun karyawannya yag mampu mengangkat. Padahal tadi bisa dipindah dari ruang studio ke ruang belakang untuk dibakar.  Saya menyanggupinya untuk datang kira-kira setengah jam lagi setelah sholat. Aku berpesan agar Abah tidak meninggalkan lukisan itu sampai aku datang. Karena aku menduga lukisan itu masih di bawah kekuasaannya.
Akhirnya belum sampai setengah jam aku sudah datang bersama Cak Ali yang aku minta untuk menemani. Ternyata dua orang pegawai Abah sudah menungguku di depan gerai seni itu dan seorang diantara mereka mengajak kami masuk. seorang lainya mengamankan sepeda motor Cak Ali, entah di parkir di mana karena gerai ini sengaja tutup. Kami langsung di bawa ke ruang belakang. Tampak Abah sedang duduk di depan lukisan dan segera berdiri hendak menghampiri dan menyambut kami. Tetapi aku segera memberi isyarat untuk tetap duduk.  
Lukisan gadis cantik membawa gentong air di kepala ini memang indah. Terkesan hidup. Bahkan kebaya transparan yang dipakai benar-benar sperti kain. Karya ini menunjukkan pelukisnya teliti dan detail serta halus. Tiba-tiba lukisan yang ditaruh di lanta bersandar kursi bekas itu bergetar hingga kursi sandarannya ikut bergoyang ketika Cak Ali memegang bingkai kayu bercat hitam itu.
" Hai lakanatullah keluarlah kembali ke asalmu " Kata Cak Ali sambil mengepalkan tangan kanannya yang berhias akik hitam. Lukisan itu diam. Tiba-tiba pegawai perempuan bercelana jean dan berjilbab yang tadi mengantar kami menjerit lalu menyeringai dan melotot ke arah Cak Ali. Entah bagaimana dia mendekat, tiba-tiba tangannya sudah menyerang dan memukul wajah Cak Ali. Meskipun agak gendut ternyata Cak Ali lincah juga. Dengan menggeser kakinya ke samping, pukulan itu mengenai tempat kosong, dan buggh,tendangan menyamping Cak Ali tepat mengnai perutnya. Perempuan itu terjengkang hingga terduduk, lalu segera bangkit lagi tanpa bantuan tangannya dan secepat kilat meluncur berputar seperi baling-baling dengan kedua tangan siap mencengkeram. Cak Ali kelihatan kaget, aku juga terkesiap. Dan detik itu seperti ada yang menggerakkan tanganku yang memegang botol kecil air mineral yang baru saja aku minim  reflek kulemparkan, wussh botol itu tepat mengenai kepalanya membuat perempuan itu terdorong dan jatuh membentur tembok. Air botol tumpah membasahi jilbabnya. Dari tumpahan air itu keluarr asap tebal. Aku melongo heran. Permpuan itu bersimpuh minta ampn kepanasan. Aku Cak Ali dan Abah mendekat.
"Ya lakanatullah, bi idznilah keluar dan pergilah" Kataku. Lalu perempuan itu tidak adarkan diri. Teman-temannya menolong. Saya yakin nanti kalau sadar perutnya akan terasa mual karena tendagan telak Samo Hung tadi.
Aku pulang membawa lukisan itu bersama Cak Ali. Abah Jakfar menyerahkan lukisan itu padaaku. Katanya terserah mau mau dijual atau dipasang di ruang tamu. Tetapi aku merasa enggan untuk memajangnya di rumah, selain lukisan itu mahal dan mewah tidak sesuai dengan rumahku yang jelek aku juga merasa tidak enak karena lukisan itu meski tidak porno tapi menampakkan aurat dan menggoda imajinasi. Akhirnya aku titipkan kepada Cak Ali untuk disimpan. Sepanjang perjalanan Cak Ali masih penasaran dengan  air tadi. Dia tidak percaya kalau aku juga bingung,  kenapa bisa mengeluarkan asap ketika menyiram tubuhanya. Padahal air mineral itu aku ambil dari kulkas yang tadi malam aku dapat dari aqiqah tetangga sebelah. Cak Ali juga hadir dan duduk bersamaku mengapit Abah Kyai Saiful Bachri. Dugaan Cak Ali sama dengan aku. Jangan-jangan Abah Kyai lah yang menyebabkannya.
"Sudah lah Cak gak usah menduga-duga, kita bersyukur saja kepada Allah yang telah melindungi kita"

*****