Sabtu, 21 November 2015
AKU BUKAN KYAI -7 Episode: Kitab Walet Jat
11.20
No comments
AKU BUKAN KYAI -7
Episode: Kitab Walet Jati
Alhamdulillah sudah
dua hari ini tidak ada tamu yang datang mengeluhkan tentang penyakit atau masalah
keluarga. Aku dan istreiku jadi konsen mengerjakan baju penganten pelanggan.
Seperti jam 4 sore ini aku membantu mengawasi pegawai yang sedeng pasang
manik-manik agar sesuai dengan gambar desain rancangan isteriku. Hari ini aku
minta empat pegawai untuk lembur mengerjakan baju pengantin.
Aku lihat jam yang
menempel didinding tepat di atas mesin oberas menunjukkan pukul setengah lima ketika
terdengar ucapan salam dari ruang tamu. Isteriku segera bangkit dan menemuinya.
Tidak lama kemudian kembali menemuiku memberitahukan ada tamu yang mencariku. Begitu
sampai di ruang tamu alangkah kagetnya aku, Pak Tua tersenyum memandangku..
"Jangan
kaget Kyai, aku bukan hantu... Aku masih hidup, aku bukan hantu" Kata Mbah Sastro alias Pak Tua.
"Subhanallah,
benarkah panjenengan Mbah Sastro ?"
Tanyaku belum yakin sambil mengulurkan tangan dan dibalas dengan jabatan erat
olehnya.
"Benar Kyai"
"Kalau benar mengapa memanggilku Kyai"
" Maaf Kyai, eh maaf Mas Hanief " Katanya sambil melepaskan tanganku lalu duduk
"Lalu siapa yang tertabrak, semua orang melihat itu panjenengan Mbah "
"Itu orang gila yang tertabrak, aku hanya menggunakan raganya untuk menyerupaiku"
"Benar Kyai"
"Kalau benar mengapa memanggilku Kyai"
" Maaf Kyai, eh maaf Mas Hanief " Katanya sambil melepaskan tanganku lalu duduk
"Lalu siapa yang tertabrak, semua orang melihat itu panjenengan Mbah "
"Itu orang gila yang tertabrak, aku hanya menggunakan raganya untuk menyerupaiku"
"Apakah orang-orangnya
Mbah tahu kalau Mbah masih hidup"
"Tidak, dan
aku tidak ingin mereka tahu,... Aku juga tahu mereka dendam kepada Mas Hanief,
aku juga tahu apa yang terjadai di kedai es jus itu, aku bersyukur kedua murid
utamaku telah sadar dan sekarang menjadii murid Kyai Blekok " Katanya menjelaskan.
"Kanapa Mbah
? Maksudku kanapa Mbah melakukan semua
itu?" Tanyaku
"Aku
ingin, kembali ke jalan yang benar dan aku sekarang benar -benar telah siap"
Kata Mbah Sastro
"Mbah ,
mau minum apa?" Tanyaku menyadari tamuku belum disuguhi apapun.
"Apa saja,
terimakasih" Jawab Mbah .
"Sebentar
ya Mbah , " Kataku sambil bangkit untuk menemui isteriku. Aku minta isteriku
membuatkan kopi sekalian menyidiakan makan karena aku kuatir Mbah belum makan. Aku kembali ke ruang tamu.
"Kalau
boleh tahu, apa rencana Mbah selanjutnya?"
"Tolong bimbinglah
saya agar bisa kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah Mbah
, tai bukan saya yang akan mengajari, Mbah akan saya antar ke Kyai Zuhdi di pesantren Sidoresmo
setelah maghrib ini kalau Mbah mau"
"Saya siap
Mas, terima kasih"
Isteriku mencul sambil membawa dua gelas kopi. Isteriku mempersilakan Mbah ke ruang makan karena makanan telah siap. Mbah menolak, tapi aku memaksa.
Isteriku mencul sambil membawa dua gelas kopi. Isteriku mempersilakan Mbah ke ruang makan karena makanan telah siap. Mbah menolak, tapi aku memaksa.
Ketika Maghrib
Mbah menolak ke masjid, takut membuat geger karena kemenculannya. Ia minta ijin
sholat di rumah. Akhirnya akupun tidak ke Masjid tapi sholat di rumh bersqma Mbah Sastro . Selsai sholat aku mengantar Mbah Sastro menemui Kyai Zuhdi. Mbah Sastro menutup wajanya dengan helm berkaca gelapa. Kyai
Zuhdi menerima dengan baik. Tentu aku tidak cerita siapa Mbah Sastro . Aku hanya menyampaikan Mbah ingin belajar.
Biarlah nanti Kyai
tahu siapa santri istimewanya yang sudah berumur lanjut itu dari Mbah Sastro sendiri. Aku di minta Kyai Bashori dtg menemuinya
dua hari yang lalu. Dlm hati aku menduga pasti tentang rencana menggelar wayang
di Masjid tahun depan. Ketika akan pulang, Mbah Sastro menghampiriku yang sudah duduk di atas sepeda
motor,
"Mas Hanief,
ajarilah cucuku yang masih ...Sangat muda itu supaya lebih dekat kepada Tuhan"
"Cucu Mbah
, bagaimena saya bisa menemuinya?"
"Mas Hanief
sudah pernah bertemu dengannya, Ratna Tunggadaewi, ia cucuku juga, kakekanya adalah
adik kandungku yang terakhir... Tolong berikan ini untuknya, Katakan jangan
smpai siapapan tahu tentang pemberianku. Kelak aku akan menemuinya sendiri.,"
Kata Mbah Sastro sambil meraih pinggang lalu mengluarkan dari balik
bajunya sesuatu yang dibungkus sapu tangan putih kecokalatan.
Dugaanku
sebuah buku, tapi aku tidak ingin menanyakan. Kuterima bungkusn itu dan aku
selipkan di balik bajuku di depan perutku. Lalu aku pamit. Sampai di rumah kebetulan
ada Cak Ali yang mencariku karena tadi maghrib dan isaya aku tidak sholat
jamaah di Masjid. Katanya Kyai Bashori menanyakan, makanya Cak Ali langsung ke
rmhku begitu selesai sholat isya.
"Darimana Kang "
" Pesantren, menemui Kyai Zuhdi"
"Lha Kata isterimu sama orang tua, siapa Kang"
"Darimana Kang "
" Pesantren, menemui Kyai Zuhdi"
"Lha Kata isterimu sama orang tua, siapa Kang"
"Ya
itu mengantar tamuku, oh ya punya nomor HP Ratna gak Cak"
"Punya,
ada apa Kang"
"Tolong
hubungi apa dia sekarang di Surabaya, aku ada perlu mendesak"
Cak Ali mengernyitkan Alis. Segera ia mengeluarkan HP dari kantong bajunya dan menghubungiya.
Cak Ali mengernyitkan Alis. Segera ia mengeluarkan HP dari kantong bajunya dan menghubungiya.
"Di
kemayoran" Katanya sambil menutup speaker hp-nya
"Suruh dia ke nasi bebek Bu Tumi, kita temui
dia sekarang" Kataku sambil berjalan ke luar menuju sepeda motor.
Dalam perjalan
Cak Ali menduga pencopet yang beberpa hari lalu dibuat babak belur akan balas
dendam. Aku hanya mengatakan nanti disana akan tahu jawabanya. Begitu aku
nyampe ternyata Ratna sudah duduk di warung dengan segelas teh hangat di depanya.
Rupanya dia telah pesan karena begitu kami duduk di samping kanan dan kirinya
tiga piring nasi bebek segera disediakan.
"Ada
perlu dengan saya pak?" Tanya Ratna sambil menggeser piring ke depannya
"Ya,
tapai kita makan dulu dengan tenang biar nikmat dan berkah" Jawabku.
Tampak Cak Ali tanganya sudah mssuk koboan lalu segera menyantapanya setelahi membaca
basmalah. Begitu pula Ratna makan dengan lahap. Kami makan tanpa berpakap-cakap.
Hah? Mereka sudah selesai. Padahal punyaku Masih seperempat piring. Mungkin mereka
sudah tidak sabar ingin tahu ada apa. Akupun segera menyelesaikan makanku.
Nikmat rasanya, terutama sambal koreknya. Begitu terasa.
Setelahi
cuci tangan aku segera mengeluarkan buku yang dibungkus sapu tangan putih
kecoklatn itu dr balik bajuku dan meletakkanya di depan Ratna.
"Titipan
dari seseorang untuk kamu" Kataku. Ratna menyentuhnya diikuti pandangn Cak
Ali kebenda trsebut.
"Apa
ini Pak, dari siapa"tanya Ratna.
"Aku
tidak tahu isinya, krn aku tidak punya hak membukanya, dan orang yang memberi
ini minta untuk dirahasiakan, kelak akan menemui Ratna sendiri" jawabku
"Baiklah
terima kasih, mari kita lihat apa isinya" Kata Ratna sambil membuka simpul
ujung sapau tangan yang membungkusnya. Benar dugaanku, buku. Sampulnya warna
biru pudar dimakan usia.
"Apa
ini artinya" Kata Ratna sambil menunjuk tulisn disampul buku itu. Tampak
deretan huruf tulisan tangan TELAW ITAJD. Aku mengernyitkan alis tak tahu maksudnya.
Kami hanya diam saling pandang.
"Walet
jati, bacanya di balik" Kata Cak Ali
"Benar"
Kata Ratna lalu dibukanya buku itu, tampak gambar orang sedang memperagakan
jurus.
"Apakah
pak Ali mengenal gerakan ini."Kata Ratna kepada Cak Ali. Cak Ali menggelengkan
kepala setelah mengamati beberapa halaman.
"Apakah
pak Hanief tahu artinya walet jati, apakah walet yang ada di pohon jati?"
Tanya Ratna
"Jati
yang dimaksud mungkin bukan pohon jati, tapi bahasa jawa jati yang artinya
sesungguhanya atau yang sebenarnya, kalau benar berarti artinya walet yang
sesungguhya"
Cak Ali
dan Ratna mengangguk-anggukan kepala.
"Saya rasa Ratna diminta untuk mempelajari ini, krna pesan pemberi buku ini jangan sampai orang lain tahu meskipun itu kakek Ratna sendiri"
"Baiklah pak Hanief, saya akan menjaga pesan itu, tapi saya akan minta bimbingan Pak Hanief dan pak Ali karena hanya bapak berdua yang tahu masalah ini" Kata Ratna sambil menutup dan membungkus kembali buku itu.
"Saya rasa Ratna diminta untuk mempelajari ini, krna pesan pemberi buku ini jangan sampai orang lain tahu meskipun itu kakek Ratna sendiri"
"Baiklah pak Hanief, saya akan menjaga pesan itu, tapi saya akan minta bimbingan Pak Hanief dan pak Ali karena hanya bapak berdua yang tahu masalah ini" Kata Ratna sambil menutup dan membungkus kembali buku itu.
*****
Hari ini, adalah tepat satu minggu Pak Tua berada di pesantren
Hari ini, adalah tepat satu minggu Pak Tua berada di pesantren
Aku baru
saja sampai di depan rumah setelah habis Isya tadi ke pesantren menemui Kyai Zuhdi
dan Pak Tua Alias Mbah Sastro . Tapi Kyai setelah maghrib tadi sudah berangkat ke Dander
Bojonegoro.
Ada Vario merah parkir di depan rumah, pasti ada tamu pikirku. Ternyata Cak Ali dan Ratna Tunggadaewi sudah duduk di ruang tamu
Ada Vario merah parkir di depan rumah, pasti ada tamu pikirku. Ternyata Cak Ali dan Ratna Tunggadaewi sudah duduk di ruang tamu
"Kemana
aja Kang, HP gak aktfi lagi " Tanya Cak Ali bgitu kpalaku nongol mlewati
pintu.
"Aku gak bawa HP Cak, dari pesantren... Tp Kyai lagi ada pngajian, Bagaimana dengan kitab pusaka itu, apa sdah dipelajari dengan baik" tanyaku kepada Ratna yang duduk di samping isteriku sambil memegang desain bajunya yang barusan digambar isteriku.
"Itulah keperluan saya kemari pak, saya gak paham, Pak Ali juga bingung dengan gerakan yang aku praktekkan dari kitab itu."
"Aku gak bawa HP Cak, dari pesantren... Tp Kyai lagi ada pngajian, Bagaimana dengan kitab pusaka itu, apa sdah dipelajari dengan baik" tanyaku kepada Ratna yang duduk di samping isteriku sambil memegang desain bajunya yang barusan digambar isteriku.
"Itulah keperluan saya kemari pak, saya gak paham, Pak Ali juga bingung dengan gerakan yang aku praktekkan dari kitab itu."
"Lha,..
kalau pendekarnya saja bingung, apa lagi saya yang bukan Pendekar, ....nggak
Pendek dan gak kekar" Kataku sambil melihat Cak Ali. Dia cuman tersenyum
manis. Itulah kehebaan Cak Ali, walau disinggung tetap tersenym manis. Tapi kalau
dia tersinggung, huhh jangan tanya, bisa-bisa ajur mumur kayak bubur sumsum
kesukaanya kalau pas giginya kumat!
(Tak udal udel sampean Cak, dari lontong balapa smpe nangis loro untu, ayo kapok tora?! )
(Tak udal udel sampean Cak, dari lontong balapa smpe nangis loro untu, ayo kapok tora?! )
"Menurut
analisa kalian, aneh dan gak bisa dipahaminya dalam hal apa? Apakah seperti terbalik?"
Tanyaku
"Terbalik?"
Kata Cak Ali dan Ratna berbarengan. Mereka saling pandang. Dan tiba-tiba Ratna berdiri lalu permisi mencari tempat yang
agk longgar. Dia segea kansentrasi lalu memainkan jurus silat yang indah lalu berhenti.
"Benar
pak Ali, terbalik, tapi kenapa tenagaku gak bisa keluar? Seprtinya ini gerakan
penutup?"
"Memang
di buku itu halaman berwpa" tanyaku
"Ya
halaman pertama lah, urut, Masak belajar gak urut... Apalagi ini jurus, gerakan
apa jadainya kalau gak urut" Jawabnya nyerocos. Untung kakeknya udah titip
untuk membimbing, kalau gak sudah tak bungkem
"Buktinya?... Gerakanmu salahkan? Makanya berapa?' Pertama?" Aku tatap wajahnya. Dia mengangguk.
"Cara membacanya adalah seperti Al Quran, halaman pertama adalah pada halaman yang terakhir !"
"Buktinya?... Gerakanmu salahkan? Makanya berapa?' Pertama?" Aku tatap wajahnya. Dia mengangguk.
"Cara membacanya adalah seperti Al Quran, halaman pertama adalah pada halaman yang terakhir !"
"Terma
kasih Pak Hanief, maaf, apakah bapak pewalet juga seperti Pak Ali? Apakah Bapak
juga telah mempelajari buku walet jati itu?" Tanya Ratna
"Bukan,
saya juga bukan orang yang suka mencuri ilmu, saya tahu karena yang memberikan
buku itu tadi memberitahuku untuk memberitahumu bagaimana mempelajarinya"
"Tadi
kang? Bukankah tadi dari Kyai Zuhdi, apakh beliau yang memberikanya?" Tanya
Cak Ali. Rupanya dia penasaran dari mana buku itu
"Bukan,
bukan beliau, itu saja jawabanku karna aku terikat janji" Jawabku kepada Cak
Ali. Cak Ali mengernyitkan Alis, aku tak tahu apa yang dipikirkan
"Baiklah
pak Hanief, saya permisi, saya pulang dulu untuk mempelajari buku itu dengan
baik, terima kasih, Assalaamialaikum" Kata Ratna lalu menemui isteriku untuk
bersalaman dan pulang untuk mempelajari buku walet jati itu.
Aku tidak
banyak belajar ilmu silat ketika muda. Meskipun Kyai shofi pernah mengajari beberapa
gerakan setelah aku menonton beberapa santri berlatih dibawah pengawasanya. Aku
memang kurang tertarik dengan ilmu silat. Aku lebih suka menghafal beberapa
ayat Al Qur'an, Hadits dan doa-doa. Menurut Kyai shofi aku berbakat tapi malas.
*****
Minggu, 04 Oktober 2015
AKU BUKAN KYAI 5
20.30
No comments
AKU BUKAN KYAI 5
Jam
empat sore aku dan Cak Ali ke rumah Kyai Saiful Bachri. Ternyata abah Kyai
tidak ada, menurut salah seorang santrinya abah Kyai sedang kirim terpal ke ke Balai
Kota. Sebab besok malam akan ada istighotsah dan sholawat bersama Habib Syaech.
Maklum selain juragan terpal Abah Kyai juga panitia pengarah yang dibutuhkan
nasehatnya. Akhirnya aku dan Cak Ali meluncur ke jalan Demak untuk minum jus
duren disana. sesampainya di sana aku segera mencari tempat duduk yang nyaman,
sedangkn Cak Ali yang pesan.
Ada beberapa meja yang kosong, aku memilih meja
dengan dua kursi dekat pintu masuk agar dapat mengawasi sepeda yang aku parkir.
Di kedai ini parkir gratis, tapi kalau lengah justru bisa menjadi mahal.
Selesai pesan Cak Ali duduk di kursi depanku di batasi meja menghadap keluar menikamati
lalu lalang kendaraan jalan Demak. Tidak lama Cak Ali duduk, seorang pemuda datang
membawa dua gelas jumbo jus duren dan meletakkanya di depan kami. Cak Ali mengaduk
isi gelas sambil berkata pelan,
"Sepertinya
dari tadi sejak keluar dari gang rumah ada yang membuntuti"
"Motor
Satria?" Jawabku dengan tetap memandang gelas Cak Ali.
“Ya,
dua orang berbaju hitam di seberang jalan depan kios rokok itu, sampean sudah tahu
juga ya Kang"
"Ya,
aku yakin, karena mereka ikut belok ketika kita ke rumah Kyai"
"Siapa
mereka kang"
"Nanti
kita akan tahu" jawabku lalu menyedot jusku Cak Ali juga menikmati jusnya.
"Kang
mereka menyeberang ke sini"
"Biarkan
saja, kita pura-pura saja tidak tahu agar mereka tidak curiga"
Tidak
lama kamudian aku mendengar suara motor parkir dan aku menoleh. Ternyata benar.
Merekaa parkir tepat di sebelah sepeda motorku. Mereka tidak masuk tapi memilih
meja di luar yang berada dua meja di belakangku. Keduanya duduk berdampingan menghadap
punggungku. Cak Ali yang duduk di depanku dapat melihat wajah dan garak gerik
mereka. Seorang pelayan menghampiri mereka dan mencatat pesanan.
Tidak
lama kamudian dua es campur disuguhkan mereka. Sebenarnya sejak mereka duduk
hatiku merasa tidak enak dan was-was. Di hati aku membaca wirid dan berdoa. Karena
degup jantungku terasa agak keras aku bangkit menuju toilet untuk membasuh muka.
Di kamar kecil aku putuskan wudhu sekalian daripada hanya cuci muka, toh juga sama-sama basah. Selesai berwudhu hatiku merasa tenang, lalu kembali ke tempat
dudukku. Cak Ali tampak sedang menikmati tahu petis dan lombok di tangan
kirinya. Aku segera menjauhkan mangkuk kecil berisi lombok itu dari jangkauan
Cak Ali. Kuatir dihabiskan karena Cak Ali punya masalah lambung. Tiba-tiba
gelas kami bergetar. Aku segera membaca laquah dan menyentuh gelasku.
Gelaskupun diam kembali. Gelas Cak Ali tiba-tiba pecah jadi dua di atas meja
disertai suara dua orang terjengkang dari kursi dibelakangku. Cak Ali segera
mengepalkan lengannya tapi aku mencegahanya dan menyuruhanya tetep tenang.
Orang yang berada di kedai pun serentak berdiri memandang ke arah suara dua
orang tadi yang sepertinya terpental bersama kursinya satu meter dari tempat semula.
Aku menoleh ke arah mereka, tampak beberapa orang membantunya berdiri. Rupanya
mereka berdua pingsan.
Orang-orang
pun ribut. Ada yang mengusulkan lapor polisi, ada yang mengusulkan panggil
ambulan karena keracunan. Tapi pemilik kedai minta untuk tidak lapor polisi atau
pnggil ambulan. Kuatir masalahnya tambah panjang dan kedainya tidak laku. Disuruhnya
para pegawai untuk membawa mereka masuk untuk dipanggilkan adiknya yang katanya
dokter di Karang Menjangan. Saat para pegawai kedai dan beberapa pelanggan
membantu membawa mereka masuk, seorang pemuda dua puluh limaan berpakaian koko
dan berwajah bersih ganteng menghampiriku dan Cak Ali sambil tersenyum.
"Mereka
tidak apa-apa sebentar lagi juga siuman" katanya.
"Kalau
boleh saya memperkenalkan diri saya Arifin, tapi teman-teman memanggilku
Ipin," Katanya sambil mengulurkan tangan. Kami pun menjabat tangannya dan
mnyebuntukan nama kami masing-masing.
"Tolong
jangan ada yang lapor polisi, mereka tidak keracunan, mulutnya tidak keluar
busa. Hanya sedikit darah dimulutnya. Hari ini samua gratis. Sekli lagi tolong
jangan ada yang lapor polisi" kata pemilik kedai.
"Tidak
apa-apa Pak, tenang saja, mereka akan segera siuman , tolong minta sebotol air
mineral" kata pemuda ganteng yang bernama Ipin.
Pemilik
kedaipun segera memberikan sebotol air mineral . Arifin membuka botol itu dan
menuangkannya di telapak tangan kanannya. Setelah beberapa detik air itu lalu
dicipratkan ke muka mereka. Begitu terkena air mereka siuman, mereka memegangi
dada masing-masing sambil matanya mengelilingi seluruh ruangan. Seakan mencari
sesuatu. Pandanganya kemudian berhenti ke arahku. Merekaa mencoba bangun tapi sepertinya
tak mampu menahan sakit di dadanya. Mereka memaksakan diri berjalan sempoyongan
ke arahku dan Cak Ali. Di depanku mereka terduduk di lantai minta ampun.
"Hey
Cak ! Iki karepmu dhewe opo kongkonan, ayo ngaku !" Cak Ali menghardik.
Mereka bukanya segera menjawab tapi kedua tanagn merekaa memegangi leher masing-masing
dengan mata mendelik seperti orang dicekik. Melihat itu Arifin segera memegang
kedua ubun-ubun mereka. Tanganya bergetar.
"Pak
Hanief, Pak Ali tolong lakukan sesuatu, orang ini dicekik jarak jauh" Kata
Arifin. Aku segera membaca laquah dan meniru meletakkan tanganku diatas telapk tangan
Arifin di atas ubun-ubun mereka. Kedua
orang yang tercekik itu kini melepaskan tanagn mereka dari leher masing-masing
dan menyatukan kedua celah jari-jari tangannya dengan mempertemukan kedua ujung jempol
dan meletakkanya di depan dada. Kaki mereka bersila. Mata terpejam. Mulut komat
kamit. Tidak lama kamudian mereka membuka mata bersamaan dengan Arifin megangkat
tangannya. Akupun mengikutinya.
"Terima kasih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief. Paman guru yang menyurhnya"
"Terima kasih, saya tidak menyangka paman guru hendak mencelakai kami. Maafkan kami Pak Hanief. Paman guru yang menyurhnya"
Karena
orang-orang di kedai berkerumun mengelilingi,
aku merasa tidak enak dijadikan tontonan.
"Sebaiknya
kalian ikut aku sekarang, Mas Arifin mohon untuk ikut kami kalau berkenan."
Kataku. Arifin mengangguk
"Pak
ini untuk bayar es kami berlima," kata Mas Arifin sambil mengeluarkan
selembar uang ratusan.
"Dan
ini untuk ganti gelas pecah dan kursi" kata Cak Ali
"Semuanya
gratis tidak perlu bayar" Kata pemilik kedai. Kami berlima keluar dari
kedai. Ternyata Mas Arifin membawa mobil Ertiga dengan kaca belakang bertuliskan
Pondok Pesantren XXX Muntilan Magelang. Aku jadi menduga-duga mungkin dia
seorang Ustadz atau Kyai muda. Setidak tidaknya dia seorang santri.
Aku
membawa mereka menyusuri jalan Demak lalu putar balik menuju Jalan Purwodadi
ke rumah makan Bamara. Tetapi karena parkiran penuh, aku putuskan untuk lurus menuju
Masjid Al Hilal. Sesampainya di sana,
Masjid sepi. Setelah parkir kami menuju teras masjid. Sebslum duduk aku sholat dua
rokaat. Begitu pula Mas Arifin. Aku tidak perlu wudlu karena tadi wudhuku belum
batal. Mas Arifin juga tidak wudhu. Mungkin dia termasuk orang yang selalu menjaga
wudhu. Selesai sholat aku menghampiri Cak Ali yang sedang duduk bersila bersama
kedua teman barunya. Tidak lama kemudian Mas Arifin juga duduk bersila di sampingku.
Kami duduk melingkar.
"Baiklah,
siapa nama kalian" tanyaku
"Saya
Bagus Kyai" jawab pemuda yang agk kekar itu.
"Saya
Agus, Kyai" jawab pemda satunya yang agak kecil pendek tapi kelihatan
trengginas.
"Panggil
saya Mas atau Pak, saya bukan Kyai,... Mengpa paman gurumu itu menyuruh kalian
mencelakaiku?" Tanyaku
"Karena
guru kami telah Pak Hanief celakai, kami harus menantut balas" jawab Bagus
"Siapa guru kalian itu?, "
"Ki Sastro, di warung kopi itu
" Jawab Agus
"Pulanglah
dan sampaikan kepada pamn guru kalian, aku tidak mencelakainya, banyak
saksinya"
"Kami
tidak berani pulang Pak, pasti paman guru akan mencelakai kami, tadi saja kami
dicekik untung Bapak dan Mas ini berbaik hati pada kami" jawab Agus.
"Kalau
kalian ingin aman dan mau, kalian ikut saya ke pesantren Magelang, tapi sementra
kalian ikut Pak Hanief dan Pak Ali. Saya masih ada keperluan di Pesanteren Sidoresmo,
dua hari lagi datanglah ke Masjid ini setelah isya'" Kata Mas Arifin
"Terima
kasih Kyai"
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adaalah Kyai muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren magelang.
"Baik Mas, terima kasih"e
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, jg nanti di pesantren. KAlian bukan santriku tapi temanku" kata Mas Arifin wibawa sekli.
"Aku juga bukan Kyai, yang dipanggil Kyai adalah Abahku, aku Arifin " kata Mas Arifin. Benar dugaanku ternyata Mas Arifin adaalah Kyai muda. Putra seorang Kyai dari pesanteren magelang.
"Baik Mas, terima kasih"e
"Nah, begitu lebih akrab, ingat panggil saya Mas saja, jg nanti di pesantren. KAlian bukan santriku tapi temanku" kata Mas Arifin wibawa sekli.
"Maaf
Pak Hanief, kalau saya boleh tahu siapakah guru Pak Hanief dan dari pesantren
manakah, sebab maaf kalau saya tidak salah tadi yang diamalkan Pak Hanief
adalah wirid laquah yang sudah lama menyatu sehingga luar biasa pengaruhnya..mungkin
setingkat atau lebih tinggi dengan Abahku" Tanya Mas Arifin dengan sopan.
Aku
gelagepan karena dia tahu wirid yang aku baca. Aku sadar sedang berhadapan
dengan orang Alim meski umurnya jauh lebih muda dariku
"Ah
Mas Ipin bisa saja, saya kan bukan Kyai tidak pantas dibandingkan dengan abah
Mas Ipin, saya di ajari guru saya Kyai Ahmad Shofi Al Marhum pengasuh pesantern
Al Amien Pekalongan saat saya kelas dua Tsanawiyah. Kebetulan beliau tetangga
dan teman almarhum ayahku" Jawabku.
"Kyai Ahmad Shofi Pekalongan, sepertinya aku pernah dengar dari abahku" kata Mas Ipin sambil manggut-manggut. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
"Kyai Ahmad Shofi Pekalongan, sepertinya aku pernah dengar dari abahku" kata Mas Ipin sambil manggut-manggut. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Dua
hari kemudian. Setelah isya' jam delapan Mas Ipin datang di Masjid Al Hilal.
Tidak sendirian, tapi bersamaa seorang bapak yang kira-kira berusia lima
puluhan. Pakaian dan celananya serba putih, begitu pula dengan tutup kepalanya.
Di pundak kananya berhias surban warna hitam berumbai benang perak. Sangat
gagah dan wibawa. Kami berempat segera berdiri menyambut merekaa.
"Assalamualaikum"
Aku mendahului mengucapkn salam kepada mereka. Mereka menjawab sambil
mengulurkan tangan.
"Dimas
Hanief ya?" Kata Kyai sambil menjabat tanganku.
"
Nggih Abah Kyai," Jawabku sambil mengangguk takzim.
"Panggil
Mas saja, usia kita kan cuman terpaut sedkit, lagi pyla saya jug pernah jadi santrinya
Romo Kyai Shofi, gurunya dimas, meski hanya beberarpa bulan sebelum berangkat
ke Banten"
"Dimas,
saya tidak bisa lama-lama karena jam 10 malal ini ada pengajiann di Gresik, sebagai
takzim saya kepada guruku Kyai Shofi terimalah surban ini samoga bermnfaat"
katanya
"Oh
ya Pak Hanief Pak Ali, saya akan senang jika panjenengan tgl 25 Rajab berkenan
hadir ke Magelang" kata Mas Arifin
"Usahakan
datang Dimas, saya ingin ngobrol banyak dengan dimas" kata Abah Kyai
"
Insaya Allah, dengan senang hati kami akan datang"Jawabku.
"
Baiklah kami permisi dulu, assalamu'alakum" Pamit Kyai. Setelah bersalaman
mereka masuk mobil diikuti Agus dan Bagus. Setelah mobil mereka jalan,aku dan
Cak Ali menuju sepeda motor yang kami parkir. Kini Cak Ali mengendarai satria.
Sepeda motor milik bagus itu telah dijual kepada Cak Ali untuk bekall di Magelang.
Kebetulan saat itu BPKB di bawa di Jok karena barusaja ditebus dari Pegadaianl. Jadi Cak Ali
mau membdlinya dengan harga yang pantas. Aku tersenym melihat Cak Ali nangkring
di atas Satria. Sepeda itu terlalu kecil untuknya yang gendut. Eh salah,
montok. (kuatir dia protes lagi karena tidak suka dikatain gendut ).
Minggu, 16 Agustus 2015
AKU BUKAN KYAI 4
22.01
No comments
Bersamaan tangan kananku yang terangkat dengan telapak tangan terbuka,
tiba-tiba gadis itu dlosor dari tempat duduknya dan bersimpuh di lantai.
"Ampun..ampun jangan pukuli aku..." Katanya menghiba.
" Kalau begitu sekarang kembalilah ke asalmu dan jangan kembali
lagi " kataku. Di hati aku merasa heran juga karena aku tidak merasa memukulinya."Baiklah
aku pergi" dan tiba-tiba gadis itu tersungkur lemas di kaki ibunya ayah
dan ibunya segera mengangkat gadis itu ke kursi, mendudukanya. Gadis itu
lunglai dengan mata terpejam seperti orang yang pingsan. Karena kuatir terjadi sesuatu
aku menyentuh pundakya..
”Mbak,.. Mbak " kataku sambil sedikit menggoyang pundaknya. Gadis
itu membuka matanya dan melihat ke arah ibunya yang segera memeluknya dengan
cucuran air mata. " Kenapa ibu mnangis,
"Gadis itu juga melihat ayahnya seolah-olah minta jawaban, tetapi
sang ayah hanya bisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca
"Terima kasih Kyai"
" Maaf Pak, saya bukan Kyai, Ki, dukun atau paranormal,"
"Siapapun bapak, saya sangat berterima kasih"
"Berterima kasih dan bersyukurlah kepada Allah,.. Maaf kalau
boleh saya menyarankan, sebaiknya mulai sekarang kewajiban kepada tuhan lebih
utama untuk dikerjakan. Ajaklah isteri dan anak Bapak untuk sholat di belakang
bapak, Insya Allah tuhan akan senantiasa melindungi keluarga Bapak,.." Aku
menghentikan ucapanku. Karena melihat Pak gendut menteskan air mata dan
sesenggukkan menahan tangis.
"Ya allah ampunilah aku dan keluargaku" katanya lalu
meraih tanganku, disalaminya dan menatapku lekat-lekat.
" Tolong ajarilah aku Sholat agar bisa jadai imam untuk
keluargaku Pak " katanya dengan air mata meleleh.
"Tenanglah Pak, silahkan duduk"
Pak gendut pun duduk kembali. Lalu menyeka air matanya.
Pak gendut pun duduk kembali. Lalu menyeka air matanya.
"Insayaa allah nantii akan saya sampaikan kepada temanku
seorng Ustadz untuk mengajari Bapak" kataku sambil menyerahkan gelas air
mineral kepada Pak gendut. Pak gendut menerimanya dan segera meminumnya. Sesenggukanya
pun mereda.
" Terima kasih, tapi sayaa ingin baPak sendiri yang mengajari sayaa
dan keluarga sayaa,.."
" Maaf Bapak, saya bukan Ustadz, saya penjahit, perkrjaan saya
menjahit, rezeki saya melalui mesin jahit" jawabku. aku mencoba memberi
alasan yang tepat, bukan aku tidak mau mengajari sholat. Sebab salama beberapa
minggu ini jujur saja aku merasa terganggu juga dengan banyakanya tamu.
Untungnya penjahitku yang cuman dua orang itu mau lembur. Bahkan isteriku pun
mulai mengeluh beberapa hari yang lalu. Tetapi saya yakinkan kepada istriku bahwa
aku tidak beralih profesi jadi paranormal dan aku masih normal
"Sekali lagi maaf Pak, bukanya saya tidak mau mengjari sholat Bapak
dan keluarga Bapak, tetapi memang belajar itu sebaiknya pada ahlinya, dan yang
ahli dalam hal ini adalah para ustdz dan Kyai... Bukan penjahit seperti saya
ini.. "
"Ah Bapak ini terlalu merendah..." Kata Pak Gendut sambil tersenyum. tidak lama kamudian merekaa pamit untuk pulang. Aku dan Cak Alie mengntarkannya sampai di mobilnya.
"Ah Bapak ini terlalu merendah..." Kata Pak Gendut sambil tersenyum. tidak lama kamudian merekaa pamit untuk pulang. Aku dan Cak Alie mengntarkannya sampai di mobilnya.
Lha ternyata supirnya adalah Pak Parno yang rumahanya depan gang rumahku.
Cak Ali pun segera pulang. Aku masuk ke rumah, tetapi ketika aku sampai pintu
aku ingat pada tamuku yang satunya. Seorang bapak berkemeja batik. Kok di teras
tidak ada, tadi juga waktu ngantar Pak gendut jg aku tidak melihatnya. Aku
clingak clinguk di depan rumah mncarinya, aneh tamu kok pulang tidak pamit. Ah,
tidak boleh su'udhon, barang kali aja dia kena diare dan harus segera pulang.
******
Masih pagi, jam setengah tujuh Pak parno tetanggaku yang menjadi
supir Pak Gendut datang ke rumah membawa bingkisan. Katanya dari Pak Gendut
untukku. Aku persilakan Pak Pak parno duduk dan menerima bingkisan itu.
" Mas Hanief, ada yang ingin saya sampaikan, ada orang yang
tanya tentang sampaean beberpa waktu lalu ketika saya mengantar majikan saya
kemaren malam itu"
" Apakah orang itu sudah cukup tua dan berbaju batik" tanyaku
" Apakah orang itu sudah cukup tua dan berbaju batik" tanyaku
"Ya, benar Mas, kok Mas sudah tahu, oh ya ya saya lupa kalau Mas
Hanief kan orang sakti, jadi wis weruh sak durunge winarah" kata Pak parno
"Hush !, jangan bilang begitu Pak, aku tahu bukanya punya ilmu
tebak jitu, tapi orang itu sudah ke sini .."
"Ooo, tapi kok saya curiga banget Mas, soalnya tanyanya macem-macem"
"Barang kali aja dia pingin kenal tapi malu tanya sendiri padaku,
Pak"
" Gak mungkin Mas, tapi waktu itu perasaanku jadi gak enak, pokoknya
aneh gitu Mas,.
"Wah, maaf saya pamit dulu, ngantar majikan ke Juanda,.."
"Silakan Pak, tolong sampaikan terima kasih saya ya Pak "
"Inggih Mas, Assalaamualaikum"
" Wa alaikum Salam" aku mengantarkannya keluar sampai
teras. Dan ketika aku akan Masuk seseorang memanggilku. Ternyata Cak Ali Sofiri
mau mengambil baju anakya.
" Masuk aja Cak, tny istriku di d aku gak tahu dah dijahit apa
keluar" kataku pd Cak Ali. Dia pun masuk mengikutiku ketika melewati ruang
tamu Cak Ali Sofiri melihat bingkisan yang menarik perhatiannya.
"Punya siapa ini Kang kok di bungkus bagus gini" tny Cak Ali, ia mengira jahitan milik pelanggan yang sudah jadi.
" Dari Pak Gendut"
" Wah, bungkusnya bagus isinya apa ya Kang"
" Gak tahu lah, yang jelas pasti bukan Lontong Balap hehehehe" Aku berkata begitu karena aku tahu Cak Ali Sofiri hobinya balapan lontong sama sambel sak cowek di Kepanjen.
"Punya siapa ini Kang kok di bungkus bagus gini" tny Cak Ali, ia mengira jahitan milik pelanggan yang sudah jadi.
" Dari Pak Gendut"
" Wah, bungkusnya bagus isinya apa ya Kang"
" Gak tahu lah, yang jelas pasti bukan Lontong Balap hehehehe" Aku berkata begitu karena aku tahu Cak Ali Sofiri hobinya balapan lontong sama sambel sak cowek di Kepanjen.
"Wis Cak, cik no gak penasaran ayo buka bareng" Kataku
sambil duduk diikuti Cak Ali yang duduk di sebelahku. Isi bungkusan itu adalah
sebuah kotak segi empat yang panjangnya kira-kira. 60 cm dengan lebar 30 cm yang
terbuat dari kayu jati berukir motif bunga yang mengelilingi pinggirnya. Di
tengahnya terdapat ukiran naga yang menjulurkan lidahnya
"Sik, ojo dibuka dhisik, hatiku gak enak,.. Sepertinya ada
sesuatu di dalamnya"
"Ya jelas lah, Masak kosong..." Jawabku
"Aku serius Cak" katanya sambil meletakkan telapak tangan
kanannya yang jari tengahanya berhias akik hitam. Aku lihat Cak Ali mulutnya
komat kamit entah membaca apa. Tiba-tiba kotak itu bergetar. Aku kaget. Cak Ali
keningnya berkerut.
"Iki Jin, Kang !" Kata Cak Ali sambil menangkat tanganya kembali.
Aku hanya diam. Cak Ali melihatku dengan wajah menyiratkan seribu pertanyaan.
"Ah, yang benar Cak, masak jin dimasukan kotak? Kayak pizza saja, lagi pula ngapain Pak Gendut
kasih jin padaku" tanyaku.
"Untuk tahu jawbannya ya buka aja Kang" Jawab Cak Ali. Aku mengangguk. Lalu segera melihat
sekeliling kotak untuk mencari tahu bagaimana membukanya. Ternyata ada tombol
perak disamping kotak. Kami kaget begitu kotak terbuka. Keris. Di atasnya ada
amplop, segera ku ambil dan kubuka. Isinya kertas bertuliskan, benda inilah yang
membuatku lupa padaa tuhan, aku selalu mengandalkanya... Sekarang aku serahkan kepadaa
Kyai agar tidak menggangguku dan keluargaku. Terima kasih Kyai telah menyadarkan
aku.
"Petunjuk apa kang?" Tanya Cak Ali. Aku berikan kertas
itu kepada Cak Ali, ia segera membacanya. Aku mengamati keris itu. Warangkanya
cokelat tua mengkilap entah dari kayu apa. Gagangnya juga kayu warna cokalt
hampir kehitaman berbentuk kepala naga dan bertabur permata merah delima sampai
ke leher. Sungguh sebuah karya seni yang indah.
"Keris ini sudah jadi milikamu Kang. Tapi ada jin-nya, hati-hati"
Kata CakAli. Aku ambil keris itu dari
kotak dan aku pegang gagangnya dengan tangan kananku. Aku sangat penasaran ingn
melihat bentuknya. Srreett..,perlahan gagangnya aku tarik ke atas, tampak besi
hitam mengkilat berlekuk, kuamati lekukanya. Kuhitung ada tujuh belas.
" Luk pitulas" kata Cak Ali
" Emang Kenapa Cak" tanyaku
"Panjang" Jawabnya
" Ya iya lah, ... kalau Sembilan ya pendek. Maha karya seperti
ini kok menjauhkan manusia dari Tuhan ya? Aneh. Seharusnya kan lebih mendekatkan diri pada
Tuhan. Dengan bersyukur diberi kamuampuan
yang luar biasa dan dapat menikmuati keindahanya, subhanallah. Begitu ucpan
tasbihku selesai, keris ditanganku bergetar hebat, terasa berat dan gagangnya
panas. Cak Ali segera kamut kamit lagi dan akupn membaca ta'awudz dan laquah di
hati. Kini keris itu tenang dan terasa sangat ringan, bahkan tampak lebih berkilau
meski dari besi yang hitam legam.
"Jinnya sudah pergi Kang, sampean memang luar biasa Kang Tadi sebelum kotak dibuka aku coba mengusirnya tapi jinnya mbandel, di tangan sampean langsung lari terbirit-birit. Sampean pake jimat apa to kang " Tanya Cak Ali ketika aku memasukkan kambali keris itu ke warangkanya
"Jinnya sudah pergi Kang, sampean memang luar biasa Kang Tadi sebelum kotak dibuka aku coba mengusirnya tapi jinnya mbandel, di tangan sampean langsung lari terbirit-birit. Sampean pake jimat apa to kang " Tanya Cak Ali ketika aku memasukkan kambali keris itu ke warangkanya
"Gak Pake apa-apa" Jawabku sambil menunjukan ke-10 jariku
"Kalung?" Tanya Cak Ali
"Kalungku aku Pake hanya waktu jahit. Kalungan meteran. Yo iku
jimatku, kalau gak dipake bajunya gak jadi..hehehe"
"Berarti Pake wirid, pasti !" Tebak Cak Ali.
"Wiridanya apa kang, masak sama temen sendiri gak mau kasih
tau" katanya sambil menatapku serius. Aku diam karena bingung, sebab aku merasa
tidak tahu namanya wirid apa. Tapi klo tidak aku jawab aku merasa tidak enak.
"Wirid Sasahidan" Jawabku sekenanya. Karena samalam aku mendegarkan
wayang dari radio pas Pak Manteb sedang menerangkan wirid sasahidan melalui Semar
yang sedang menerangkannya kepada anak-anaknya
"Wirid yang sperti apa itu Kang" Tanya Cak Ali. Belum sempat aku jawab Cak Jo nongol
di pintu sambil mmbawa undangan. Ternyata Aqiqah tetangga sebelah rumahanya.
"Nah,.. Kalau mau belajar wirid sebaiknya kepada Cak Jo... Dia
kan pernah lama nyantri" Saranku kepada Cak Ali
"Alah tambah payah, wong Cak Mat sama tikus aja lari terbirit-birit"
Sahut Cak Ali. Dia memangilnya Cak Mat karena memang namanya Muhammada BeJo Hayat
Darroin.
Isteriku dari dapur muncul, sambil membawa teh hangat sama pisang
goreng
"Yah, benang sama kain keras habis, sekalian beli minyak
obras. Tinggal sedikit" Kata
isteriku sambil meletakkan piring dan gelas di depanku dan Cak Ali.
" Duduk dulu Cak Jo, tak buatkan teh" Kata isteriku lalu
menuju dapur.
"Gak usah Nte, mau nganter undangan dulu ".
"Aku jug pulang saja dulu wong sampean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya .
"Aku jug pulang saja dulu wong sampean mau beli benang " kata Cak Ali setelah menghabiskan tehnya .
*****
Kukayuh sepeda pancalku yang sudah tua ke toko konfeksi. Sampai di
sna ramai pembeli. Terpaksa antri. Aku dduk di bangku panjang di teras toko yang
memang disdiakan untuk pelanggan. Sebelum duduk aku perrmisi kepada sebelahku,
seorang bapak yang sedang duduk.
"Sudah dari tadi Pak?" Tanyaku basa basi.
" Lumayan Mas, apa itu sepeda sampean" Jawab bapak itu dan
balik bertanya sambil mennjuk sepdaku yang aku pakir tidak jauh dari kami duduk.
“Sepeda cantik dan antik, Gazele 70 an”
“Benar Pak, tepatnya 68, lebih tua dari saya “ Jawabku
“Rumahnya dekat sini aja ya Mas?” Tanya bapak itu selanjutnya.
Mungkin karena aku hanya ngontel saja ke toko ini.
“Lumayan dekat, Dupak Jaya”
“Ooo kebetulan, apa dekat dengan orang pinter itu Mas”
“Orang yang mana ya Pak, di Dupak memang banyak orang pinter, mulai
dokter, dosen sampai aggota dewan” Jawabku.
“Bukan itu maksudnya Mas, tapi orang pinter yang sekarang banyak
diceritakan orang dan juga yang diceritakan tetanggaku”
"Emang ceriata ap Pak?"
"Anak gadisnya sembuh dari gangguan mahluk halus hanya dengan
disentuh pundaknya, apa Mas tahu rumahanya" Tanya bapak tadi
"Oo.. Ta tahu Pak... Gang empat. bapak nanti disana tanya saja"Jawabku
gugup.
"Terima kasih Mas, soalnya saya mau kesana, permisi Mas
ternyata isteri saya sudah nunggu" Kata bapak itu sambil menujuk perempuan
cantik berjilbab di dekat Innova, tanganya banyak membawa belanjaan dari toko sebelah.
Akhirnya selesai juga aku belanja. Aku tidak langsung pulang tapi mampir
dulu makan lontong balap di Kepanjen plus es degan ijo kemudian pulang. Begitu
aku sampai di depan pintu rumah hendak masuk berpapasan dengan tamu yang hendak
pulang. Lha, ternyata bapak yang tadi sempat ngobrol di toko konfeksi.
"Assalamualakum" Sapaku mendahului.
" Wa'alakum salam, jadi panjenengan to Mas orangnya, maaf ya Mas
saya tidak tahu"
Sama-sama Pak, monggo Pak Masuk"
Tamuku memperkenalkan diri, namanya Pak Haji Jakfar. Dan isterinya Bu
Hajjah Rahma. Akupun memanggilnya Abah dan Umi. Selain pengusaha konfeksi, ternyata
abah adalah guru seni rupa di skolah SMK Muhammadaiyah. Abah juga mempunnyai gerai
seni di pusat kota.
"Begini Pak.." Kata abah agak kikuk.
"Panggil Mas saja bah, biar lebih enak" Jawabku
"Begini Mas, ada lukisan di gerai saya yang aneh, lukisan
seorang perempuan ..."
"Aneh Kenapa bah" tanyaku penasaran seperti para pembaca
cerita ini, hehehehe.(Kalau gak penasaran pasti gak baca kan?)
"Sudah 3 kali dibeli orang tapi dikembalikan, mereka takut.
Aku diminta mengambilnya kembali tapi uangnya gak mau saya kembalikan. Padahal
terakhir laku 18 juta"
"Enak lah bah, rejeki nomplok " Jawabku sekenanya.
"Bukan begitu, Mas... Aku kok mrinding mau cerita, lihat Mas buluku mengkorok samaua".
"Bukan begitu, Mas... Aku kok mrinding mau cerita, lihat Mas buluku mengkorok samaua".
"Emangnya Kenapa Bah ?" Tanyaku
"Katanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramakan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak prcaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam ya tidak berubah, tetap lukisan wanita cantik. Dan kaemarin malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali tapi sopirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"
"Katanya wajah lukisan itu kadang berubah menyeramakan seperti nenek sihir, kadang seperti muka hancur penuh darah, mulanya aku tidak prcaya, makanya sampai aku jual 3 kali. Ternyata ceritanya sama. Padahal pernah saya pelototi sampai sehari semalam ya tidak berubah, tetap lukisan wanita cantik. Dan kaemarin malam aku bersama sopirku di gerai...sama aku gak lihat perubahan sama sekali tapi sopirku pingsan ketika kutinggal kencing sebentar"
“Kenapa tidak minta bantuan orang pintar, Bah?”
"Saya takut syirik, sejak kecil saya diajarkan untuk tidak percaya
dengan dukun atau peramal" Jawab Abah. Makanya saya disaranka istri saya kesini,
menemui Mas Hanief, katanya Mas Hanief bukan dukun, bahkan juga tidak mau
dipanggil Kyai"
"Benar bah, saya bukan dukun, juga bukan Kyai, saya penjahit seperti
yang Abah lihat"
"Lalu menurut Mas Hanief bagaimana dengan lukisan itu" Tanya
umi
"Saran saya dimusnahkan saja, daripada nanti disalah gunakan
oleh orang, bagaimana menurut Abah?"
"Itu karya seni yang indah Mas Hanief" Jawab Abah
"Tapi Abah sudah menjualnya kan?, berarti itu sudah bukan
milik Abah lagi"
"Benar Mas Hanief, saya setuju. Bah uangnya juga sebaiknya
dikasih ke yatim atau masjid saja ya Bah, lagi pula lukisan itu berbahaya Bah"
Kata isterinya menyela.
" Baiklah saya setuju, terima kasih atas sarannya Mas, sepulang
ini akan langsung saya bakar" Kata Abah.
Sepulang Abah dan Umi aku dan isteriku sibuk menjahit bersama dua
tukang jahitku. Jam 12 siang baru istirahat. Aku Masuk kamar hendak ganti pakaian
untuk sholat jamaah di Masjid. Kedua penjahitku sudah berangkat lebih dahulu ke
Masjid. Aku bersyukur karena sekarang mereka rajin sholat jama'ah. Hasil
kerjaannya pun tambah baik. Benarlah kiranya bahwa dengan ibadah yang benar
akan berpengaruh positif pada pekerjan. Apapun profesinya.
Ketika aku hendak keluar melalui ruang tamu HPku berbunyi. Ternyata
Pak Haji Jakfar yang telpon. Beliau minta tolong aku datang ke gerainya karena
lukisannya tidak mempan dibakar. Beliau berinisiatif membawa lukisan itu ke
rumahkua. Tapi tak sorangpun karyawannya yag mampu mengangkat. Padahal tadi
bisa dipindah dari ruang studio ke ruang belakang untuk dibakar. Saya menyanggupinya untuk datang kira-kira setengah
jam lagi setelah sholat. Aku berpesan agar Abah tidak meninggalkan lukisan itu
sampai aku datang. Karena aku menduga lukisan itu masih di bawah kekuasaannya.
Akhirnya belum sampai setengah jam aku sudah datang bersama Cak Ali
yang aku minta untuk menemani. Ternyata dua orang pegawai Abah sudah menungguku
di depan gerai seni itu dan seorang diantara mereka mengajak kami masuk. seorang
lainya mengamankan sepeda motor Cak Ali, entah di parkir di mana karena gerai
ini sengaja tutup. Kami langsung di bawa ke ruang belakang. Tampak Abah sedang
duduk di depan lukisan dan segera berdiri hendak menghampiri dan menyambut
kami. Tetapi aku segera memberi isyarat untuk tetap duduk.
Lukisan gadis cantik membawa gentong air di kepala ini memang
indah. Terkesan hidup. Bahkan kebaya transparan yang dipakai benar-benar sperti
kain. Karya ini menunjukkan pelukisnya teliti dan detail serta halus. Tiba-tiba
lukisan yang ditaruh di lanta bersandar kursi bekas itu bergetar hingga kursi
sandarannya ikut bergoyang ketika Cak Ali memegang bingkai kayu bercat hitam itu.
" Hai lakanatullah keluarlah kembali ke asalmu " Kata Cak
Ali sambil mengepalkan tangan kanannya yang berhias akik hitam. Lukisan itu
diam. Tiba-tiba pegawai perempuan bercelana jean dan berjilbab yang tadi mengantar
kami menjerit lalu menyeringai dan melotot ke arah Cak Ali. Entah bagaimana dia
mendekat, tiba-tiba tangannya sudah menyerang dan memukul wajah Cak Ali.
Meskipun agak gendut ternyata Cak Ali lincah juga. Dengan menggeser kakinya ke samping,
pukulan itu mengenai tempat kosong, dan buggh,tendangan menyamping Cak Ali tepat
mengnai perutnya. Perempuan itu terjengkang hingga terduduk, lalu segera bangkit
lagi tanpa bantuan tangannya dan secepat kilat meluncur berputar seperi baling-baling
dengan kedua tangan siap mencengkeram. Cak Ali kelihatan kaget, aku juga terkesiap.
Dan detik itu seperti ada yang menggerakkan tanganku yang memegang botol kecil
air mineral yang baru saja aku minim reflek kulemparkan, wussh botol itu tepat mengenai
kepalanya membuat perempuan itu terdorong dan jatuh membentur tembok. Air botol
tumpah membasahi jilbabnya. Dari tumpahan air itu keluarr asap tebal. Aku melongo
heran. Permpuan itu bersimpuh minta ampn kepanasan. Aku Cak Ali dan Abah mendekat.
"Ya lakanatullah, bi idznilah keluar dan pergilah" Kataku.
Lalu perempuan itu tidak adarkan diri. Teman-temannya menolong. Saya yakin nanti
kalau sadar perutnya akan terasa mual karena tendagan telak Samo Hung tadi.
Aku pulang membawa lukisan itu bersama Cak Ali. Abah Jakfar menyerahkan
lukisan itu padaaku. Katanya terserah mau mau dijual atau dipasang di ruang
tamu. Tetapi aku merasa enggan untuk memajangnya di rumah, selain lukisan itu
mahal dan mewah tidak sesuai dengan rumahku yang jelek aku juga merasa tidak
enak karena lukisan itu meski tidak porno tapi menampakkan aurat dan menggoda
imajinasi. Akhirnya aku titipkan kepada Cak Ali untuk disimpan. Sepanjang perjalanan
Cak Ali masih penasaran dengan air tadi.
Dia tidak percaya kalau aku juga bingung, kenapa bisa mengeluarkan asap ketika menyiram
tubuhanya. Padahal air mineral itu aku ambil dari kulkas yang tadi malam aku dapat
dari aqiqah tetangga sebelah. Cak Ali juga hadir dan duduk bersamaku mengapit Abah
Kyai Saiful Bachri. Dugaan Cak Ali sama dengan aku. Jangan-jangan Abah Kyai lah
yang menyebabkannya.
"Sudah lah Cak gak usah menduga-duga, kita bersyukur saja kepada
Allah yang telah melindungi kita"
*****