AKU BUKAN KYAI – 6
Episode: Pukulan Syaithon, Luar Biasa
Cak Ali memacu
sepedanya semakin kencang ke jalan Indrapura. Aku mengikutinya hingga surban
hitam berumbai perak itu berikibar di leherku. Dugaanku Cak Ali akan makan nasi
bebek di warung Bu' Tumi. Ternyata benar, tepat di depan gedung kesehatan
kalamin sepeda motor Cak Ali pelan lalu berhenti di warung keber hijau
bertuliskan Nasi Bebek Bu’ Tumi. Cak Ali memarkirkan sepedanya. Akupun
memarkirkan sepedaku di sampingnya. Tumben warung ini sepi . Ketika kami akan
masuk tiba-tiba terdengar suara cukup keras
"Tolong..
Copeett.. Toloong !"
Aku dan Cak Ali melihat ke arah suara. Kira-kira sepuluh meter dari kami berdiri
di pinggir jalan dua orang pemuda bersepeda motor sedang berusaha menarik tas
seorang gadis berjilbab. Karena gadis itu memprtahankan tasnya dan berteriak pemuda
yang memegang setir motor turun, meraih pinggangnya mengluarkan golok dan menyebet
lengannya. Untung gadis itu waspada dan dapat menghindarinya. Tasnya terpaksa
dilepaskan untuk menghindari sabetan golok. Dan gerakan yang sepontan dari
gadis ini menyebabkan pemuda yang menarik tasnya dengan kuat jatuh jatuh dari
sepeda motornya.
Melihat temannya
jatuh terjengkang. Golok ditanganya disabetkan ke arah dada. Aneh, gadis itu
malah maju selangkah setengah berjongkok sambil tangan kirinya menangkis lengan
pemuda yang mengayunkan golok ke dadanya serta
memukul dada penyerang
dengantabgan kanannya,
“Buggh..!”
Pukulan gadis itu telak mengenai dadanya membuat pemuda itu terjengkang jatuh
dengan masih menggenggam goloknya. Dia segera bangkit diikuti temannya yang juga
telah memegang clurit kecil ditanganya. Keduanya siap menyerang kambali gadis
itu.
" Hentikan
!" Teriak Cak Ali. Aneh, ternyata Cak Ali larinya ringan juga hingga sudah
sampai di dekat mereka. Aku berlari menyusulnya. Mendegar teriakan Cak Ali pemuda
yang memegang golok menoleh ke arahnya sambil mengacungkan golok ke kepadaanya.
Cak Ali malah maju,
"Hentikan
sebelum kalian ajur !" Hardik Cak Ali. Pemuda itu malah menusukan goloknya
ke perut Cak Ali dengan cepat. Entah bagamana caranya Cak Ali bisa menangkap lengan
yang memegang golok itu dan memuntirnya. Pemuda itu terbanting di aspal dengan
keras. Goloknya terlepas jatuh satu langkah di depanku. Aku singkirkan golok
itu dengan menendangnya jatuh di selokan. Pemuda itu memandang ke arahku.
"Pri ,
lari..." Kata pemuda itu sambil bangun lalu lari menuju sepeda motornya. Mendengar
teriakan temannya, pemuda yang dipanggil Pri itu pun mengurungkan menyerang gadis
berjilbab itu dan segera melompat ke sepeda motor lalu kabur sambil mengacungkan
cluritnya ke Cak Ali. Gadis itu mengambil tasnya kemudian mendekati kami.
"Terima
kasih Pak" Katanya. Kami hanya megangguk.
" Adik
tidak apa-apa? " Tanya Cak Ali
"Al
hamdulillah Pak saya tidak apa-apa berkat pertolonagan Bapak" Jawab gadis
itu.
"Hmm kalau
saya tidak salah, sepertinya adik tadi menggunakan jurus walet ketiga, boleh
tahu siapa adik" tanya Cak Ali
Gadis
itu terlihat melongo. Mungkin terkejut dengan petanyaan Cak Ali.
"Bb...
benar Pak, saya Ratna , nama saya Ratna
Tungga Dewi, maaf apakah bapak juga Pewalet " Tanya Ratna . Pewalet adalah sebutan anggota
perguruan walet. Cak Ali tersenyum, dalam hatinya kagum, bagaimana mungkin gadis
belia ini sudah bisa memainkan walet ketiga.
"Bagaimana kita bicara sambil menikmati bebek di warung
itu" ajak Cak Ali.
"Kebetulan sekali pak perut saya lapar". Jawab Ratna sambil makan mereka ngobrol dengan santai. Ratna
kelihatan sangat senang bertemu saudara sesama Pewalet. Aku hanya menjadi
pendengar saja, aku juga tidak biasa makan sambil bicara. Dari obrolan mereka aku tahu kalau Ratna
berasal dari cukir Jombang hendak ke rumah kakakanya di Kemayoran. Kakakanya
juga pewalet, semua keluarganya pewalet karena Kakeknya guru besar Perguruan
Walet. Cak Ali pernah dengar nama kakek
Ratna Mbah Sholeh. Tapi belum pernah bertemu.
*****
Sekarang setiap
sholat di Masjid dan menghadiri pengajian aku selalu memakai surban pemberian Kyai
Muntilan itu. Bukan untuk gagah-gagahan dan terlihat Alim, tetapai agar pemberi
surban ini mendapatkan pahala dari setiapa ibadah yang aku lakukan. Dan aku jadi
semakin ingat dengan Kyaiku dan ajaran-ajarannya. Aku pun jadi selalu mendoakan
Kyaiku setelah mendoakan ortuku. Begitu pula ketika sholat isya' malam ini yang
dilanjutkan pengajian.
Aku diminta
Abah Kyai Bashori menjadi pembawaa acara karena Ustadz Abdussomad yang biasa
memimpin pengajian berhalangan hadir. Sebenarnya aku agak grogi, tapi karena
imam Masjid yang minta aku tidak berani menolak. Kapan lagi aku belajar,
pikirku. Lagi pula waktu di Aliyah dulu sudah biasa latihan muhadloroh. Tidak
lama kemudian Kyai Zubaidi az Zuhdi bersama seorang santrinya dari Sidoresmo yang
akan memberikan tausiyah hadir. Jamaah berebut menyalami.
Setelah menyalami
jamaah, Kyai menuju ke tempat yang disediakan
diikuti santrinya dimana aku dan Kyai Bashori sudah berdiri menunggu. Kyai
Bashori menyalaminya lalu keduanya berpelukan. Akupun menyalaminya. Kyai Zuhdi menatapku
sajenak lalu pandangannya dialihkan ke leherku yang berkalung surban. Aku jadi
kikuk. Kemudian kami duduk. Aku, Kyai Bashori, Kyai Zuhdi dan santrinya duduk berdampinngan.
Pengajianpun dimulai dan berakhir dengan lancar. Selesai pengajian Kyai memanggilku
"Mas, sini
duduk di depanku". Aku yang duduk di sebelah Kyai segera merangkak
bergeser dan bersila di depan Kyai Zuhdi.
"Boleh
saya lihat surban yang Mas pake?" Tanpa menjawab aku langsung mencopot
surbanku dan menyerahkan dengan kedua tanganku. Kyai Zuhdi menerimanya lalu
dlihatnya dengan teliti kemudian menciumnya
"Persis"
Katanya, lalu menyerahkanya kembali padaku.
"Maaf boleh
tahu, darimana Mas..."
"
Hanief, Kyai" jawabku
"Darimana Mas
Hanief mendapatkannya"
"Ini
pemberian dari seseorang, Kyai" jawabku
dengan hati berdebar.
"Siapa
namanya"
"Maaf Kyai, saya tidak tahu karena saya tidak berani
lancang menanyakan nama beliau, beliau Kyai dari Muntilan"
"Muntilan?
Sudah lama?" Tanya Kyai Zuhdi dengan nada kaget.
"Seminggu
yang lalu, Kyai"
"Tidak
salah dugaanku, Kyai Blekok " Kata Kyai Zuhdi
"
Blekok ?,
Kyai Mustofa?" Tanya Kyai Bashori .Rupanya
Kyai Bashori juga heran.
"Benar,
seminggu yang lalu beliau menginap di pesantrenku untuk membicarakan pertemuan
akbar alumni Banten bulan Rojab di pesantrenya, lalu apakah Mas Hanief juga alumni
Banten sehingga mengenal beliau?" Tanya Kyai Zuhdi padaku.
"Bukan, Kyai
... saya bertemu di Masajid Al Hilal dan diberi hadiah surban ini" hanya
itu yang aku critakan. Kyai Zuhdi dan Kyai Bashori mengangguk-anggukan kepala.
"Maaf saya permisi dulu ada telpon" Kata Kyai Zuhdi
lalu keluar, tidak lama kemudian dia telah kembali lagi sambil tersenyum menghampiriku
yang masih bersila bersma Kyai Bashori dan santrinya. Pundaku ditepuk-tepuk olehnya.
Aku heran. Begitu pula Kyai Bashori dan santrinya.
"Dimas Hanief,
nanti bulan Rajab berangkat bersamaku saja , dan jik ada waktu datanglah ke pesantrenku,"
Katanya. Aku heran dan bingung. Aku hanya mengangguk.
Setelah Kyai Zuhdi
pulang. Kyai Bashori mendekatiku,
"Mas,
mulai shubuh lusa gantikan saya menjadi imam. saya akan ke Jakarta selama seminggu.
Cucuku menikah"
"Maaf Abah, saya tidak berani, saya merasa tidak pantas
jadi imam, masih ada Kyai Hasan, Ustad Abdussomada dan yang lain, maaf Abah jangan
saya"
" Besok sehabis
subuh akan aku suruh mereka datang ke rumahku". Aku hanya diam. Abah menepuk
pundakku.
"Kalau
Kyai Blekok mengundangmu itu berarti Mas
Hanief diperhitungkan.."
Pulang dari pengajian,
di rumah hatiku menjadi tidak enak atas perintah jadi imam tadi. Iseng aku buka
facebook. Ada kiriman menarik dari user bernama BeJo. Dia menulis,
Semar Bodronoyo mengumpulkan tiga putranya Gareng, Getruk dan Bagong untuk
diberi wejangan.
"Petruk
putraku, yang tinggi jangkung... Meski dhedheg pegadaekmu dhuwur, romo percoyo
kamu selalu bersifat rendah hati,...Sebab hamba Allah sing disayang iku wong
sing lelakune ing dunya iki rendah hati, ora sombong. Wis dijelaske Al Qur'an
surat Al Furqon ayat suwidak telu (63)..kowe wis apal tho le?"
"Inggih Romo"
Jawab Petruk.
"Coba wacakano
supoyo dhulur-dhulu facebook podo eling" Kata Semar Bodrnoyo. Petruk pun segera membaca
ta'awudz lalu membaca ayat itu di luar kepala meski dialekanya tidak sama
dengan bacaan Ustadz Muammar ZA.
"Wa ngibadaurahmanil
laziena yamsuuna ngalal ardeli haunaa..waiza kotobahumuljahiluuna qooluu
salaamaa…, shodaqollahul ngadzieem" saking merdunya suara petruk, kedua adikanya
sampai liyer-liyer koyo wong ngantuk.
"Lan seliramu
Gareng, putraku sing cilik pendek, lan pincang, ora usah ndresulo marang
paringipun Gusti, sebab Gusti Allah
mboten ningali rupa sing bagus. Bagus elek iku Allah kuoso.Nggerr.., Gareng Putraku,
mesio mlakumu ora jejeg. Ananging Romo percoyo iman lan islammu kuat lan ajeg.
Amergo sliramu lurus aqidahe lan resik syarengate... Ateges ora syirik lan ora
seneng bid'ah"
"Eling yo Nggerr,..
Putraku Gareng, yen siro netepi dalane gusti kang shirotol mustqim, insya Allah
mesio sikilmu dingklang bakal tekan panggonan kang mulyo yoiku surgo, surgo
dunyo lan surgo akhirat, sebab akeh sing sikile sampurno ananging mlakune pinuju
neroko.."
"Nggih Romo,
insaya Allah" Jawab Gareng
"Bagong
putraku.."
"Kulo Romo"
jawab Bagong meletakkan telonya di piring lalu menatap Romonya.
" Sliramu
patut bersyukur marang gusti Allah, mesio rupamu elek, lambe ndomble ananging
diparingi akhlak ingkang sae. Poro pandito lan guru ngendiko, Rongkop rukuding
badan kalingan dening solah susilo, artine badan pakaian sing elek bakal
ketutup karo kelakuan sing sholeh, akhlak sing mulya
"Inggih
romo, rupo kulo pancen elek sebab sponsore yo elek, kulo nerimo kok Romo" jawab
Bagong. Semar hanya mesem mendengar jawaban putranya.
"Sejatine
kanjeng Nabi Muhammad SAW diutus iku ora liyo mung sopoyo manungso sempurno
akhlake, dawuhipun, innmaa bu'istu liutamemima makaarimal akhlak.
"Paham
artine le, putraku kabeh?"
"Paham
romo " Jawab mereka serempak
"Romo, apa
saya boleh tanya" Kata Petruk mengacungkan jari.
"Takon opo
tho le?"
"Saya
heran, dengan para wakil rakyat, di tipi di radaio, di koran kok beritane
lelakune elek, padahal iku kabeh satrio pinilih, poro sarJono,.. Opo maneh nyimak komentar pengamat politik terutama
komentare Profesor Mbah Gendut Ali Sofiri,
koyo- koyo ora ono benere.. Ada apa dengan wakil rakyat ya Romo?"
" OJo
percoyo seratus persen karo berita opo maneh komentar,... Isik akeh poro wakil
rakyat sing apik lelakune kok le, opo maneh komentare Mbah gendut Ali sofiri iku, soale beliau nyalon
bolak balik ora dadi.. Mulo le, mending dadi presiden daripada wakile, mending
dadi bupatine daripada jadi wakile,.. Ugo mending dadi rakyat daripada dadai
wakile..., wish le ora usah ngkrasani, ayo podo ndungo bae mugo-mugo sandang
pangan murah,…”
Aku geser
krusorku ke bawah, ternyata wejangan ki Semar habis. Aku sedikit kecewa.
*****
Petang ini
hujan hanya berenti beberapa menit saat adzan Maghrib. Mungkin memberikan waktu
sejenak agar orang dapat pergi ke Masjid. Dan tidak lama ketika kami salam mengakhiri
sholat, wirid pun belum usai hujan kembali turun dengan lebat dan semakin lebat
di sertai angin yang cukup kencang. Meski membawa paying. banyak di antara
jamaah yang enggan pulang, akhirnya mereka duduk melingkar. Ada Kyai Hasan, Ust.
Abdussomad, Cak Jo, Cak Ali dan beberapa jamaah yang lain.
"Mas Hanief,
dulu satu pondok dengan Kyai Zuhdi? Waktu di Lirboyo apa di Banten ? Tanya Ustad
Abdusshomad. Mungkin dia lebih muda dariku dua atau tiga tahun. Ustad ini pernah
mondok di Lirboyo jadi santri Gus Maksum.
"Tidak, saya
tidak pernah mondok di Lirboyo maupun Banten" Jawabku
"Saya
pamit dulu, assalaamualaikum" Kata Kyai Hasan tiba-tiba berdiri lalu menatapku
sejenak dan bangkit keluar dengan langkah tergesa.
Hampir semua yang
di situ heran dengan sikap Kyai Hasan sehingga tidak segera menjawab salamnya.
Baru setelah berjalan beberapa langkah kami segera sadar dan menjawab dengan
kompak. Aku sebenarnya mengerti mungkin dia kurang suka aku menjadi imam selama
dua hari ini. Sebab selama ini beliau yang selalu menggntikan Kyai Bashori.
" Sudah Mas
Hanief jangan dipikirkan, memang ketika kemarin lusa kami dipanggil abah Kyai Bashori, Kyai Hasan keberatan
Mas jadi imam.
" Akalau begitu,
nanti subuh beliau yang jadi imam"
"Jangan..."
Kata mereka
" Nanti Abah
Kyai marah Mas" Kata pak Parlan
"Bapak-bapak
saya permisi dulu" Kataku sambil berdiri
" Masih hujan
Mas, lagi pula sebentar lagi isya' " Kata Ustad Abdussomad.
"Saya
bawa payung Ustad, Assalamualaikum" Aku segera melangkah keluar diikuti Cak Ali dan
Cak Jo. Dalam perjalanan Cak Ali dan Cak Jo menyarankan agar aku tetap menjadi
imam. Mereka beralasan kalau aku yang jadi imam berarti mereka masih makmum Kyai Bashori, karena
beliau yang menunjukku. Tapi aku punya
pikiran sendiri. Punya rencana untuk masalah
ini. Yang jelas aku tidak mau punya masalah dengan orang. Apa lagi dengan orang
Alim yang aku hormati. Makanya aku tidak komentar apapun dengan saran-saran Cak
Ali dan Cak Jo. Aku langsung masuk rumah dan begitu pula mereka. Tidak lama
duduk di meja makan, adazan isaya berkumandang. Tapi kuteruskan saja makan dengan
santai.
Selesai makan
aku tidak segera beranjak Tapi malah mengambil
sebatang Dji Sam Soe. Isteriku melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin dia heran
mlihatku tidak segera ke Masjid. Begitu rokok aku nikmati beberapa sedotan terdengar
kumandang iqomah. Aku segera bergegas ke msajid untuk sholat berjama'ah. Dan begitulah
sampai Kyai Bashori pulang, aku baru ke Masjid setelah iqomah. Dan Kyai Hasan yang
jadi imam. Aku sudah siap menjawab jika kelak Kyai Bashori menanyakan.
Syaethan memang
luar biasa !
Jangankan orang biasa, ahli ibadah saja masih dapat diperdaya. Membisikkan
permusuhan dan syak wasangka, mengangkat ego dan mengiming-imingi kehormatan dan
kemuliaan. Berusaha keras agar ibadah orang tidak ikhlash, sehingga sia-sia...
Na'udzubillahi min dzaalik
Aku jadi ingat
ucapan guruku Kyai Shofi saat aku membantunya mengupas singkong dibelakang rumahnya.
"Nif, jangan
tertipu dengan gamis dan surban yang putih, singkong ini pakaianya kotor tapi
isinya bersih. Alim itu lelakunya, bukan ilmunya, bukan banyak kitabnya, bahkan
ijazahnya apalagi pakainnya, ukuran Alim itu adalah takutnya kepada Tuhan, bukan
rentetan gelar. Nanti setelah Mabgrib bukalah surat Faathir ayat 28, bacalah sampai
paham.. "
Sudah seminggu Abah
Kyai Bashori mengimami lagi. Tapi beliau
tidak menanyaiku masalah imam. Aku jadi lega, berarti Abah Kyai tidak marah padaku. Sehabis Shubuh,
Kyai Bashori mendekatiku yang sedang membaca
Tabarok dengan hafalan, akupun segera menghentikan.
"Menurut Mas
Hanief bagaimana Muharram tahun depan kita
nanggap wayang sebagai sarana dakwah," Kata Abah. Aku diam..
"Banyak orang yang disekitar masjid ini yang belum mau ke masjid terutama orang
tua, dengan wayang mereka pasti akan mendekat,
"Ide yang
baik Abah Kyai, Tapi apakah nanti tidak jadi
masalah, masjid kok nanggap wayang?" Tanyaku.
"Jangan
ragu dengan niat baik meski banyak hujatan, lagi pula apa ada larangan masjid berdakwah
dengan media wayang?" Tanya Abah Kyai.
"Lalu siapa
dhalangnya yang pas Kyai?"
"Ki Enthus,
dan kamu sama Mas Ali yang saya minta menghubunginya, jangan kuatir nanti bulan
Rajab Kyai Zuhdi biar bicara dengan Kyai Blekok . Kyai Blekok yang minta pasti Ki Enthus tidak berani
nolak".
"Karena
ini untuk tahun depan, sebaikanya cuman aku dan Mas Hanief saja yang tahu"
"Biayanya
kan lumayan Kyai"
"Jangan
kuatir Mas Hanief, berapapaun tersedia, aku sudah bicara dengan anakku saat di Jakarta"
Kata Abah Kyai menjelaskan.
”Semua atas
biaya Abah ?”
"Bukan, ketika
lahir aku telanjang, tidak punya apa-apa. Aku punya usaha itu bukan untuk kaya, Tapi supaya orang lain bisaa kerja, punya penghasilan.
Doaku terkabul karyawanku sudah 918 orang, merekalah nanti yang akan membayarnya"
Aku hanya
mengangguk angguk, dalam hati aku merasa kagum.
"Tolong bantu
saya. Mas Hanief, aku Masih punya ke inginan bagaimana caranya orang mau Masuk Masjid...
Sholat berjamaah penuh. Apa gunanya Masjid aku bangun, madarasah dan sekolah
aku dirikan tapi yang sholat jamaah tidak ada. Padahal sekitar Masjid ini semuanya
muslim, makanya Mas Hanief aku tidak akan mbangun fisik lagi... Aku akan cari
cara bagaimana agar orang mau bangun ke Masjid"
"Insya Allah
akan saya bantu sekuat saya, mohon bimbinganya Kyai"
" Mas Hanief
sudah ada ide untuk menarik jama'ah segera bicarakan dengan saya"
"Nggih Kyai,"
"Oh ya,
jangan risau dengan Kyai Hasan. Ambilah pelajaran darinya, saya pulang dulu, Assalaamu
'alaikum"
"Wa
alaikum salam warohmah". Kyai keluar Masjid.
Aku mengikutinya.
0 komentar:
Posting Komentar