Sabtu, 21 November 2015

AKU BUKAN KYAI – 6 Episode: Pukulan Syaithon, Luar Biasa



AKU BUKAN KYAI – 6
Episode: Pukulan Syaithon, Luar Biasa


Cak Ali memacu sepedanya semakin kencang ke jalan Indrapura. Aku mengikutinya hingga surban hitam berumbai perak itu berikibar di leherku. Dugaanku Cak Ali akan makan nasi bebek di warung Bu' Tumi. Ternyata benar, tepat di depan gedung kesehatan kalamin sepeda motor Cak Ali pelan lalu berhenti di warung keber hijau bertuliskan Nasi Bebek Bu’ Tumi. Cak Ali memarkirkan sepedanya. Akupun memarkirkan sepedaku di sampingnya. Tumben warung ini sepi . Ketika kami akan masuk tiba-tiba terdengar suara cukup keras
"Tolong.. Copeett.. Toloong !"
Aku dan Cak Ali melihat ke arah suara. Kira-kira sepuluh meter dari kami berdiri di pinggir jalan dua orang pemuda bersepeda motor sedang berusaha menarik tas seorang gadis berjilbab. Karena gadis itu memprtahankan tasnya dan berteriak pemuda yang memegang setir motor turun, meraih pinggangnya mengluarkan golok dan menyebet lengannya. Untung gadis itu waspada dan dapat menghindarinya. Tasnya terpaksa dilepaskan untuk menghindari sabetan golok. Dan gerakan yang sepontan dari gadis ini menyebabkan pemuda yang menarik tasnya dengan kuat jatuh jatuh dari sepeda motornya.
Melihat temannya jatuh terjengkang. Golok ditanganya disabetkan ke arah dada. Aneh, gadis itu malah maju selangkah setengah berjongkok sambil tangan kirinya menangkis lengan pemuda yang mengayunkan golok ke dadanya serta  memukul dada  penyerang dengantabgan kanannya,
“Buggh..!” Pukulan gadis itu telak mengenai dadanya membuat pemuda itu terjengkang jatuh dengan masih menggenggam goloknya. Dia segera bangkit diikuti temannya yang juga telah memegang clurit kecil ditanganya. Keduanya siap menyerang kambali gadis itu.
" Hentikan !" Teriak Cak Ali. Aneh, ternyata Cak Ali larinya ringan juga hingga sudah sampai di dekat mereka. Aku berlari menyusulnya. Mendegar teriakan Cak Ali pemuda yang memegang golok menoleh ke arahnya sambil mengacungkan golok ke kepadaanya. Cak Ali malah maju,
"Hentikan sebelum kalian ajur !" Hardik Cak Ali. Pemuda itu malah menusukan goloknya ke perut Cak Ali dengan cepat. Entah bagamana caranya Cak Ali bisa menangkap lengan yang memegang golok itu dan memuntirnya. Pemuda itu terbanting di aspal dengan keras. Goloknya terlepas jatuh satu langkah di depanku. Aku singkirkan golok itu dengan menendangnya jatuh di selokan. Pemuda itu memandang ke arahku.
"Pri , lari..." Kata pemuda itu sambil bangun lalu lari menuju sepeda motornya. Mendengar teriakan temannya, pemuda yang dipanggil Pri itu pun mengurungkan menyerang gadis berjilbab itu dan segera melompat ke sepeda motor lalu kabur sambil mengacungkan cluritnya ke Cak Ali. Gadis itu mengambil tasnya kemudian mendekati kami.
"Terima kasih Pak" Katanya. Kami hanya megangguk.
" Adik tidak apa-apa? " Tanya Cak Ali
"Al hamdulillah Pak saya tidak apa-apa berkat pertolonagan Bapak" Jawab gadis itu.
"Hmm kalau saya tidak salah, sepertinya adik tadi menggunakan jurus walet ketiga, boleh tahu siapa adik" tanya Cak Ali
Gadis itu terlihat melongo. Mungkin terkejut dengan petanyaan Cak Ali.
"Bb... benar Pak, saya  Ratna , nama saya  Ratna  Tungga Dewi, maaf apakah bapak juga Pewalet " Tanya  Ratna . Pewalet adalah sebutan anggota perguruan walet. Cak Ali tersenyum, dalam hatinya kagum, bagaimana mungkin gadis belia ini sudah bisa memainkan walet ketiga.
"Bagaimana  kita bicara sambil menikmati bebek di warung itu" ajak Cak Ali.
"Kebetulan sekali pak perut saya lapar". Jawab  Ratna  sambil  makan mereka ngobrol dengan santai.  Ratna  kelihatan sangat senang bertemu saudara sesama Pewalet. Aku hanya menjadi pendengar saja, aku juga tidak biasa makan sambil  bicara. Dari obrolan mereka aku tahu kalau  Ratna  berasal dari cukir Jombang hendak ke rumah kakakanya di Kemayoran. Kakakanya juga pewalet, semua keluarganya pewalet karena Kakeknya guru besar Perguruan Walet. Cak Ali pernah dengar nama kakek  Ratna  Mbah  Sholeh. Tapi belum pernah bertemu.
*****
Sekarang setiap sholat di Masjid dan menghadiri pengajian aku selalu memakai surban pemberian Kyai Muntilan itu. Bukan untuk gagah-gagahan dan terlihat Alim, tetapai agar pemberi surban ini mendapatkan pahala dari setiapa ibadah yang aku lakukan. Dan aku jadi semakin ingat dengan Kyaiku dan ajaran-ajarannya. Aku pun jadi selalu mendoakan Kyaiku setelah mendoakan ortuku. Begitu pula ketika sholat isya' malam ini yang dilanjutkan pengajian.
Aku diminta Abah Kyai Bashori menjadi pembawaa acara karena Ustadz Abdussomad yang biasa memimpin pengajian berhalangan hadir. Sebenarnya aku agak grogi, tapi karena imam Masjid yang minta aku tidak berani menolak. Kapan lagi aku belajar, pikirku. Lagi pula waktu di Aliyah dulu sudah biasa latihan muhadloroh. Tidak lama kemudian Kyai Zubaidi az Zuhdi bersama seorang santrinya dari Sidoresmo yang akan memberikan tausiyah hadir. Jamaah berebut menyalami.
Setelah menyalami jamaah, Kyai menuju ke tempat yang  disediakan diikuti santrinya dimana aku dan Kyai Bashori sudah berdiri menunggu. Kyai Bashori menyalaminya lalu keduanya berpelukan. Akupun menyalaminya. Kyai Zuhdi menatapku sajenak lalu pandangannya dialihkan ke leherku yang berkalung surban. Aku jadi kikuk. Kemudian kami duduk. Aku, Kyai Bashori, Kyai Zuhdi dan santrinya duduk berdampinngan. Pengajianpun dimulai dan berakhir dengan lancar. Selesai pengajian Kyai memanggilku
"Mas, sini duduk di depanku". Aku yang duduk di sebelah Kyai segera merangkak bergeser dan bersila di depan Kyai Zuhdi.
"Boleh saya lihat surban yang Mas pake?" Tanpa menjawab aku langsung mencopot surbanku dan menyerahkan dengan kedua tanganku. Kyai Zuhdi menerimanya lalu dlihatnya dengan teliti kemudian menciumnya
"Persis" Katanya, lalu menyerahkanya kembali padaku.
"Maaf   boleh tahu, darimana Mas..."
" Hanief, Kyai" jawabku
"Darimana Mas Hanief mendapatkannya"
"Ini pemberian dari seseorang, Kyai" jawabku dengan hati berdebar.
"Siapa namanya"
"Maaf  Kyai, saya tidak tahu karena saya tidak berani lancang menanyakan nama beliau, beliau Kyai dari Muntilan"
"Muntilan? Sudah lama?" Tanya Kyai Zuhdi dengan nada kaget.
"Seminggu yang lalu, Kyai"
"Tidak salah dugaanku, Kyai Blekok " Kata Kyai Zuhdi
" Blekok  ?, Kyai Mustofa?" Tanya Kyai Bashori .Rupanya Kyai Bashori juga heran.
"Benar, seminggu yang lalu beliau menginap di pesantrenku untuk membicarakan pertemuan akbar alumni Banten bulan Rojab di pesantrenya, lalu apakah Mas Hanief juga alumni Banten sehingga mengenal beliau?" Tanya Kyai Zuhdi padaku.
"Bukan, Kyai ... saya bertemu di Masajid Al Hilal dan diberi hadiah surban ini" hanya itu yang aku critakan. Kyai Zuhdi dan Kyai Bashori mengangguk-anggukan kepala.
"Maaf  saya permisi dulu ada telpon" Kata Kyai Zuhdi lalu keluar, tidak lama kemudian dia telah kembali lagi sambil tersenyum menghampiriku yang masih bersila bersma Kyai Bashori dan santrinya. Pundaku ditepuk-tepuk olehnya. Aku heran. Begitu pula Kyai Bashori dan santrinya.
"Dimas Hanief, nanti bulan Rajab berangkat bersamaku saja , dan  jik ada waktu datanglah ke pesantrenku," Katanya. Aku heran dan bingung. Aku hanya mengangguk.
Setelah Kyai Zuhdi pulang. Kyai Bashori mendekatiku,
"Mas, mulai shubuh lusa gantikan saya menjadi imam. saya akan ke Jakarta selama seminggu. Cucuku menikah"
"Maaf  Abah, saya tidak berani, saya merasa tidak pantas jadi imam, masih ada Kyai Hasan, Ustad Abdussomada dan yang lain, maaf Abah jangan saya"
" Besok sehabis subuh akan aku suruh mereka datang ke rumahku". Aku hanya diam. Abah menepuk pundakku.
"Kalau Kyai Blekok  mengundangmu itu berarti Mas  Hanief diperhitungkan.."
Pulang dari pengajian, di rumah hatiku menjadi tidak enak atas perintah jadi imam tadi. Iseng aku buka facebook. Ada kiriman menarik dari user bernama BeJo. Dia menulis,
Semar Bodronoyo mengumpulkan tiga putranya Gareng, Getruk dan Bagong untuk diberi wejangan.
"Petruk putraku, yang tinggi jangkung... Meski dhedheg pegadaekmu dhuwur, romo percoyo kamu selalu bersifat rendah hati,...Sebab hamba Allah sing disayang iku wong sing lelakune ing dunya iki rendah hati, ora sombong. Wis dijelaske Al Qur'an surat Al Furqon ayat suwidak telu (63)..kowe wis apal tho le?"
"Inggih Romo" Jawab Petruk.
"Coba wacakano supoyo dhulur-dhulu facebook podo eling"  Kata Semar Bodrnoyo. Petruk pun segera membaca ta'awudz lalu membaca ayat itu di luar kepala meski dialekanya tidak sama dengan bacaan Ustadz Muammar ZA.
"Wa ngibadaurahmanil laziena yamsuuna ngalal ardeli haunaa..waiza kotobahumuljahiluuna qooluu salaamaa…, shodaqollahul ngadzieem" saking merdunya suara petruk, kedua adikanya sampai liyer-liyer koyo wong ngantuk.
"Lan seliramu Gareng, putraku sing cilik pendek, lan pincang, ora usah ndresulo marang paringipun Gusti, sebab  Gusti Allah mboten ningali rupa sing bagus. Bagus elek iku Allah kuoso.Nggerr.., Gareng Putraku, mesio mlakumu ora jejeg. Ananging Romo percoyo iman lan islammu kuat lan ajeg. Amergo sliramu lurus aqidahe lan resik syarengate... Ateges ora syirik lan ora seneng bid'ah"
"Eling yo Nggerr,.. Putraku Gareng, yen siro netepi dalane gusti kang shirotol mustqim, insya Allah mesio sikilmu dingklang bakal tekan panggonan kang mulyo yoiku surgo, surgo dunyo lan surgo akhirat, sebab akeh sing sikile sampurno ananging mlakune pinuju neroko.."
"Nggih Romo, insaya Allah" Jawab Gareng
"Bagong putraku.."
"Kulo Romo" jawab Bagong meletakkan telonya di piring lalu menatap Romonya.
" Sliramu patut bersyukur marang gusti Allah, mesio rupamu elek, lambe ndomble ananging diparingi akhlak ingkang sae. Poro pandito lan guru ngendiko, Rongkop rukuding badan kalingan dening solah susilo, artine badan pakaian sing elek bakal ketutup karo kelakuan sing sholeh, akhlak sing mulya
"Inggih romo, rupo kulo pancen elek sebab sponsore yo elek, kulo nerimo kok Romo" jawab Bagong. Semar hanya mesem mendengar jawaban putranya.
"Sejatine kanjeng Nabi Muhammad SAW diutus iku ora liyo mung sopoyo manungso sempurno akhlake, dawuhipun, innmaa bu'istu liutamemima makaarimal akhlak.
"Paham artine le, putraku kabeh?"
"Paham romo " Jawab mereka serempak
"Romo, apa saya boleh tanya" Kata Petruk mengacungkan jari.
"Takon opo tho le?"
"Saya heran, dengan para wakil rakyat, di tipi di radaio, di koran kok beritane lelakune elek, padahal iku kabeh satrio pinilih, poro sarJono,.. Opo maneh  nyimak komentar pengamat politik terutama komentare Profesor Mbah  Gendut Ali Sofiri, koyo- koyo ora ono benere.. Ada apa dengan wakil rakyat ya Romo?"
" OJo percoyo seratus persen karo berita opo maneh komentar,... Isik akeh poro wakil rakyat sing apik lelakune kok le, opo maneh komentare Mbah  gendut Ali sofiri iku, soale beliau nyalon bolak balik ora dadi.. Mulo le, mending dadi presiden daripada wakile, mending dadi bupatine daripada jadi wakile,.. Ugo mending dadi rakyat daripada dadai wakile..., wish le ora usah ngkrasani, ayo podo ndungo bae mugo-mugo sandang pangan murah,…”
Aku geser krusorku ke bawah, ternyata wejangan ki Semar habis. Aku sedikit kecewa.
*****
Petang ini hujan hanya berenti beberapa menit saat adzan Maghrib. Mungkin memberikan waktu sejenak agar orang dapat pergi ke Masjid. Dan tidak lama ketika kami salam mengakhiri sholat, wirid pun belum usai hujan kembali turun dengan lebat dan semakin lebat di sertai angin yang cukup kenc­ang. Meski membawa paying. banyak di antara jamaah yang enggan pulang, akhirnya mereka duduk melingkar. Ada Kyai Hasan, Ust. Abdussomad, Cak Jo, Cak Ali dan beberapa jamaah yang lain.
"Mas Hanief, dulu satu pondok dengan Kyai Zuhdi? Waktu di Lirboyo apa di Banten ? Tanya Ustad Abdusshomad. Mungkin dia lebih muda dariku dua atau tiga tahun. Ustad ini pernah mondok di Lirboyo jadi santri Gus Maksum.
"Tidak, saya tidak pernah mondok di Lirboyo maupun Banten" Jawabku
"Saya pamit dulu, assalaamualaikum" Kata Kyai Hasan tiba-tiba berdiri lalu menatapku sejenak dan bangkit keluar dengan langkah tergesa.
Hampir semua yang di situ heran dengan sikap Kyai Hasan sehingga tidak segera menjawab salamnya. Baru setelah berjalan beberapa langkah kami segera sadar dan menjawab dengan kompak. Aku sebenarnya mengerti mungkin dia kurang suka aku menjadi imam selama dua hari ini. Sebab selama ini beliau yang selalu menggntikan Kyai Bashori.
" Sudah Mas Hanief jangan dipikirkan, memang ketika kemarin lusa kami dipanggil abah Kyai Bashori, Kyai Hasan keberatan Mas jadi  imam.
" Akalau begitu, nanti subuh beliau yang jadi imam"
"Jangan..." Kata mereka
" Nanti Abah Kyai marah Mas" Kata pak Parlan
"Bapak-bapak saya permisi dulu" Kataku sambil berdiri
" Masih hujan Mas, lagi pula sebentar lagi isya' " Kata Ustad Abdussomad.
"Saya bawa payung Ustad, Assalamualaikum"  Aku segera melangkah keluar diikuti Cak Ali dan Cak Jo. Dalam perjalanan Cak Ali dan Cak Jo menyarankan agar aku tetap menjadi imam. Mereka beralasan  kalau aku yang jadi imam berarti mereka masih makmum Kyai Bashori, karena beliau yang menunjukku. Tapi  aku punya pikiran sendiri. Punya rencana  untuk masalah ini. Yang jelas aku tidak mau punya masalah dengan orang. Apa lagi dengan orang Alim yang aku hormati. Makanya aku tidak komentar apapun dengan saran-saran Cak Ali dan Cak Jo. Aku langsung masuk rumah dan begitu pula mereka. Tidak lama duduk di meja makan, adazan isaya berkumandang. Tapi kuteruskan saja makan dengan santai.
Selesai makan aku tidak segera beranjak Tapi  malah mengambil sebatang Dji Sam Soe. Isteriku melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin dia heran mlihatku tidak segera ke Masjid. Begitu rokok aku nikmati beberapa sedotan terdengar kumandang iqomah. Aku segera bergegas ke msajid untuk sholat berjama'ah. Dan begitulah sampai Kyai Bashori pulang, aku baru ke Masjid setelah iqomah. Dan Kyai Hasan yang jadi imam. Aku sudah siap menjawab jika kelak Kyai Bashori menanyakan.
Syaethan memang luar biasa !
Jangankan orang biasa, ahli ibadah saja masih dapat diperdaya. Membisikkan permusuhan dan syak wasangka, mengangkat ego dan mengiming-imingi kehormatan dan kemuliaan. Berusaha keras agar ibadah orang tidak ikhlash, sehingga sia-sia... Na'udzubillahi min dzaalik
Aku jadi ingat ucapan guruku Kyai Shofi saat aku membantunya mengupas singkong dibelakang rumahnya.
"Nif, jangan tertipu dengan gamis dan surban yang putih, singkong ini pakaianya kotor tapi isinya bersih. Alim itu lelakunya, bukan ilmunya, bukan banyak kitabnya, bahkan ijazahnya apalagi pakainnya, ukuran Alim itu adalah takutnya kepada Tuhan, bukan rentetan gelar. Nanti setelah Mabgrib bukalah surat Faathir ayat 28, bacalah sampai paham.. "
Sudah seminggu Abah Kyai Bashori mengimami lagi. Tapi  beliau tidak menanyaiku masalah imam. Aku jadi lega, berarti Abah Kyai tidak marah padaku. Sehabis Shubuh, Kyai Bashori  mendekatiku yang sedang membaca Tabarok dengan hafalan, akupun segera menghentikan.
"Menurut Mas Hanief bagaimana  Muharram tahun depan kita nanggap wayang sebagai sarana dakwah," Kata Abah. Aku diam..
"Banyak orang yang disekitar masjid ini yang belum mau ke masjid terutama orang tua, dengan wayang mereka pasti akan mendekat,
"Ide yang baik Abah Kyai, Tapi  apakah nanti tidak jadi masalah, masjid kok nanggap wayang?"  Tanyaku.
"Jangan ragu dengan niat baik meski banyak hujatan, lagi pula apa ada larangan masjid berdakwah dengan media wayang?" Tanya Abah Kyai.
"Lalu siapa dhalangnya yang pas Kyai?"
"Ki Enthus, dan kamu sama Mas Ali yang saya minta menghubunginya, jangan kuatir nanti bulan Rajab Kyai Zuhdi biar bicara dengan Kyai Blekok .  Kyai Blekok  yang minta pasti Ki Enthus tidak berani nolak".
"Karena ini untuk tahun depan, sebaikanya cuman aku dan Mas Hanief saja yang tahu"
"Biayanya kan lumayan Kyai"
"Jangan kuatir Mas Hanief, berapapaun tersedia, aku sudah bicara dengan anakku saat di Jakarta" Kata Abah Kyai menjelaskan.
”Semua atas biaya Abah ?”
"Bukan, ketika lahir aku telanjang, tidak punya apa-apa.  Aku punya usaha itu bukan untuk kaya, Tapi  supaya orang lain bisaa kerja, punya penghasilan. Doaku terkabul karyawanku sudah 918 orang, merekalah nanti yang akan membayarnya"
Aku hanya mengangguk angguk, dalam hati aku merasa kagum.
"Tolong bantu saya. Mas Hanief, aku Masih punya ke inginan bagaimana caranya orang mau Masuk Masjid... Sholat berjamaah penuh. Apa gunanya Masjid aku bangun, madarasah dan sekolah aku dirikan tapi yang sholat jamaah tidak ada. Padahal sekitar Masjid ini semuanya muslim, makanya Mas Hanief aku tidak akan mbangun fisik lagi... Aku akan cari cara bagaimana agar orang mau bangun ke Masjid"
"Insya Allah akan saya bantu sekuat saya, mohon bimbinganya Kyai"
" Mas Hanief sudah ada ide untuk menarik jama'ah segera bicarakan dengan saya"
"Nggih Kyai,"
"Oh ya, jangan risau dengan Kyai Hasan. Ambilah pelajaran darinya, saya pulang dulu, Assalaamu 'alaikum"
"Wa alaikum salam warohmah". Kyai keluar Masjid. Aku mengikutinya.

0 komentar:

Posting Komentar