Sabtu, 12 Agustus 2017

RAHASIA KITAB PASHOLATAN 3





RAHASIA KITAB PASHOLATAN 3
 episode; Ketika Sang Bupati Ngaji

Pamor pengajian shubuh Mushola Kyai Semar semakin berkibar. Masyarakat dari tetangga desa banyak yang berdatangan. Banyak pula yang datang sebelum maghrib dan bermalam di mushola Kyai Semar hanya ingin duduk di barisan depan agar dapat bertanya. Saking banyaknya warga yang datang mushola Kyai Semar tidak dapat menampung warga yang bermalam.
Penduduk dusun Cemoro Jajar  yang dikomandani Kang Birin dan Kang Warno setelah ijin kepada Kyai Semar membuat dua pendopo yang dilengkapi beberapa kamar mandi. Satu pendopo untuk jamaah laki-laki dan satu pendopo untuk jamaah perempuan. Dua pendopo itu di buat sama besar lebih besar dari rumah Kyai Semar. Yang membedakan, pendopo perempuan di buat agak tetutup. Semuanya di kerjakan secara gotong royong di pekarangan rumah Kyai Semar yang luas itu. Sehingga para jamaah dapat bermalam secara layak. Dan kelengkapan pendopo pun semakin baik karena para jamaah yang menginap selalu menyisihkan uangnya untuk infaq, padahal Kang Birin yang di anggap ketua jamaah tidak pernah minta. Entah siapa yang memulai dan mengatur, di kedua pendopo itu ada baskom yang di lapisi kain mirip surban tempat infak itu selalu penuh dengan uang.
Pengajian shubuh mushola Kyai Semar yang dalam waktu singkat membludak itu juga membawa berkah bagi masyarkat sekitar. Karena setiap malam jum’at sepanjang jalan menuju rumah Kyai Semar berjajar orang menggelar dagangan mulai dari bermacam macam makanan sampai pakaian dan kebutuhan lain. Inilah pasar malam pertama di desa itu atau mungkin di kecamatan itu. Untung Kang Birin sudah mengantipasi dengan membuat aturan, seratus meter kanan kiri dari rumah Kyai tidak boleh ada yang menggelar dagangan.
Nama Kyai Semar semakin berkibar, nama julukanya sebagai Semar telah menenggelamkan nama aslinya. Padahal di KTPnya masih tertulis nama pemberian orang tuanya, Moehammad Jakfar. Entah siapa yang memulai julukan itu, lagi pula dedeg pengadeknya jauh dari Semar tokoh pewayangan gendut tambun dan lamban itu. Kyai Jakfar justru orang yang gagah perkasa meskipun sudah lanjut usia kegagahannya masih nampak. Apalagi kalau tersenyum membuat kawan atau lawan akan tergetar hatinya. Dan karena senyumnya inilah barangkali yang membuat Kyai Jakfar berjuluk Kyai Semar Mesem dan selanjutnya lebih di kenal dengan sebutan Kyai Semar.
Dan malam jumat ini 15 April 1982, masyarakat yang datang tiga kali lipat dari biasanya sampai sampai pendopo dan mushola tidak muat. Maklum besok Shubuh akan datang dalam pengajian Bupati dan Ketua DPRD beserta rombongan. Meskipun demikian Kyai Semar melarang Kang Birin untuk membuat persiapan khusus dengan membuat panggung di luar Mushola. Karena menurut Kyai Semar Bupati dan rombongan memberitahukan melalui ajudannya seminggu lalu akan datang mengaji. Bukan mengadakan acara khusus, bukan pula karena tiga minggu lagi pemerintah akan menggelar PEMILU yang ke-4.
Justru yang kebakaran jenggot adalah Ki Renggo, Lurah cemoro jajar. Bingung bukan main karena Sang Bupati akan datang dan pak camat telah mengintruksikan agar dilayani dengan baik. Segala fasilitas yang ditawarkan Ki Lurah kepada Kyai untuk menyambut Sang Bupati secara halus ditolak oleh Kyai. Alasannya, Bupati telah menyatakan akan datang untuk mengaji cecara pribadi. Jadi apa bedanya dengan yang lain yang juga akan mengaji. Bukankah Bupati, Camat, Lurah, kepala dusun, RT, Hansip adalah jabatan? Tidak ada Jabatan yang ngaji !
   Menjelang shubuh, suara iring-iringan mobil mengagetkan penduduk desa Cemoro Jajar. Rombongan Bupati telah datang. Mobil-mobil mewah itu berhenti dua ratus meter dari rumah Kyai Semar. Bupati tidak ingin menerjang kumpulan jamaah yang membludak dan orang-orang yang menggelar dagangannya di kiri kanan sepanjang jalan menuju rumah Kyai Semar.
Rombongan Bupati semuanya bersarung dan berpeci, begitu pula para pengawal dan petugas keamanan dari Polsek dan Koramil yang membuka jalan. Semuanya seperti santri. Hanya petugas keamanan yang datang sejak sore tadi yang memakai seragam lengkap. Mereka berjalan mengiringi Sang Bupati dan Ketua DPRD yang berjalan didepan. Banyak jamah yang menyerbu untuk bersalaman tapi tiba-tiba ada suara dari corong yang di tangan pengawal menghentikan langkah jamaah yang ingin bersalaman
“Mohon maaf bapak dan ibu serta sauadara, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para jamaah, mohon untuk tidak bersalaman dengan Bapak Bupati dan rombongan agar beliau segera sampai ke mushola” Para jamaah pun menepi memberi jalan kemudian serentak mengikuti menuju mushola.
Di teras mushola tampak Kyai, Mbah Padlan, Ki Lurah, Pak Camat dan Pak Danramil sudah berdiri menyambut kedatangan rombongan Bupati. Setelah saling bersalaman mereka masuk ke mushola mengikuti Kyai dan membentuk shof. Beberapa anggota rombongan ada yang keluar karena lupa belum wudlu atau wudlu yang dipersiapkan dari penginapan kota kecamatan telah batal. Sedangkan rombongan Ibu-ibu yang mengiringi Bupati di terima oleh Bu Nyai Semar di tempat yang berbeda di shof terdepan jamaah perempuan yang yang letaknya dibelakang Shof paling belakang jamaah laki-laki di halaman Mushola.
Shubuh telah manjing. Rojak pembantu Kyai yang bersuara merdu mengumandangkan adzan. Kini suaranya tambah merdu karena di sambung corong dan beberapa speaker yang di pasang di luar mushola. Sejak jamaah membludak Mushola Kyai di pasang pengeras suara lengkap dengan Accu yang besar karena listrik belum masuk kampung Cemoro Jajar. Sound Sistem dan corong speaker dengan kualitas terbaik itu atas bantuan salah seorang jamaah dari sebelah desa yang tidak ingin disebut namanya. Suara Adzan Rojak mendayu dayu menyentuh hati menegakkan bulu roma tetapi sekaligus membangkitkan ghiroh siapapun yang mendengarnya.
Sholat Shubuh yang diimami Kyai Semar dengan membaca surat Tabarok yang dibagi menjadi dua rakaat itu terdengar merdu mengharu biru. Indah luar biasa hingga banyak jamaah yang meneteskan air mata meski tidak tahu artinya. Lantunan ayat suci Al Qur’an yang di baca Kyai Semar benar-benar menyentuh relung hati yang paling dalam. Setiap jamaah merasakan damai yang tiada tara.
Selesai Sholat dan dzikir serta doa, Kyai Semar menuju teras mushola yang sudah berdiri tegak mic batok . Jamaah yang di dalam mushola yang tadi menghadap kiblat kini serentak berbalik arah menghadap Kyai yang berdiri di teras mushola sehingga rombongan Bupati kini berada paling belakang di dekat Imaman. Salah seorang ajudan berdiri untuk membuat jalan agar Sang Bupati berada di teras dekat Kyai tetapi di cegah oleh Sang Bupati. Ajudanpun duduk kembali.
Terdengar salam Kyai yang berwibawa yang disambut oleh seluruh jamaah secara serempak menimbulkan suara gemuruh bagai ombak sebelum pecah menabrak karang, lalu sejenak senyap. Disusul kemudian dengan muqodimah yang pendek lalu sapaan Kyai kepada seluruh hadirin dengan ucapan, “para jama’ah rahimakumullah” tidak ada sapaan penghormatan kepada Sang Bupati maupun pejabat yang hadir di situ.
“Pada pengajian Shubuh kali ini, saya hanya ingin menyampaikan... andaikan seratus tahun kita belajar dan seribu kitab kita kumpulkan, adakah jaminan kita akan mulia di dunia dan mulia di akhirat?” Kyai diam beberapa detik memberikan waktu kepada jamaah untuk berpikir. Sejenak sepi lenggang meskipun di benak masing-masing bagaikan ada perang.
“Baiklah, sebagaimana biasanya pengajian kita tiap shubuh siapa di antara para jamaah yang ingin memberikan tanggapan atau menyampaikan uneg-uneg dan pertanyaan?” kata Kyai sambil melayangkan pandangan kepada seluruh jamaah. Kalau biasanya jamaah rebutan mengacungkan tangan. Kini tak seorang pun ada yang berani mengacungkan tangan. Kyai Semar mengulangi mempersilahkan tapi seluruh jamaah tambah menunduk menyembunyikan muka. Jelas tidak ada yang bernyali karena Sang Bupati dan Para Pejabat.
“Ijinkan saya bertanya Kyai,...” tiba-tiba ada suara dari belakang Kyai dan berdiri orang yang berada di paling belakang di depan Imaman, Sang Bupati. Kyai pun segera menoleh dan mempersilahkan.
“Silahkan Pak Hadi, silahkan kemari agar dapat didengar oleh seluruh jamaah “ Kyai memanggil namanya bukan jabatannya. Sang Bupati pun menuju ke teras mushola dan berdiri di samping Kyai di depan mic batok yang tegak berdiri. Dan begitu Kyai hendak duduk, Sang Bupati berkata,
“Ijinkan Kyai berdiri mendampingi saya, atau saya duduk bersama Kyai”
Kyai Semar pun berdiri lagi di samping Sang Bupati satu langkah agak di belakang.
“Terima kasih Kyai”
“Silahkan” jawab Kyai
“Maaf Kyai, kalau ilmu tidak membuat orang mulia, apa gunanya didirikan sekolah dan madrasah hingga perguruan tinggi, dan apa perlunya diadakan majlis-majlis taklim dan pengajian seperti pengajian shubuh saat ini, maaf, bukankah para jamaah yang datang berbondong-bondong ini dan saya yang datang kemari karena kemulayaan Kyai yang disebabkan oleh ilmu Kyai? Lalu bagaimanakah Kyai bisa mengingkari ilmu tidak dapat membuat orang menjadi mulia, maaf dan mohon bimbingan atas kebodohan saya Kyai, terima kasih, ijinkan saya kembali ketempat, Kyai” Bupati meninggalkan teras dan kembali ke tempat semula.
 Sejenak seperti ada suara ribuan lebah dari para jamaah yang bergumam karena kagum. Mereka memuji pertanyaan Sang Bupati, terlebih sopan santunnya terhadap Kyai, tidak menampakkan seorang Bupati tetapi seorang jamaah yang sama-sama mengaji. Secara langsung citra Sang Bupati di depan rakyat naik tinggi. Kalau ini tujuan tujuannya, tercapailah sudah maksud sang Bupati, menaikkan citranya.
Kyai kembali mendekati mic agar suaranya dapat didengar jelas oleh hadirin. Denganpenuh wibawa Kyai menjawab pertanyaan Sang Bupati,
“Saya tidak menyangkal maksud Pak Hadi menyampaikan betapa pentingnya belajar dan mencari ilmu. Sedikitpun saya tidak menyangkal.... Sesungguhnya Nabi Kita Muhammad Sholallahu alaihi wasallama adalah orang yang paling mulia. Bahkan gelar sebagai pengakuan masyarakat atas kemuliaannya telah disandang jauh sebelum menjadi nabi dan Rasul, gelar Al amin,  setahuku tiada seorangpun yang pernah ada di bumi ini menyandangnya selain beliau yang mulia. Apa yang menyebabkan beliau memperoleh gelar yang begitu mulia? Apakah lantaran beliau dari golongan cerdik cendekia? Orang yang berilmu tinggi menguasai banyak kitab?.... Padahal kita tahu sejarah mencatat, beliau adalah orang yang tidak bisa baca tulis !... Para jamaah sekalian, kita dapat belajar dari kenyataan ini, bahwa lelakulah, perbuatan atau yang disebut akhlakul karimahlah yang menyebabkan orang menjadi mulia. Ilmu adalah menuntun, ilmu adalah cahaya. maka celaka dan paling celakalah orang yang berilmu tapi menyesatkan dirinya dan membiarkan dirinya berkubang dalam kotor dan gelap. Innamaa bu’istu liutammima makarimal akhlak”

0 komentar:

Posting Komentar