Sabtu, 12 Agustus 2017
RAHASIA KITAB PASHOLATAN 3
14.42
No comments
episode; Ketika Sang Bupati Ngaji
Pamor pengajian shubuh Mushola Kyai Semar
semakin berkibar. Masyarakat dari tetangga desa banyak yang berdatangan. Banyak
pula yang datang sebelum maghrib dan bermalam di mushola Kyai Semar hanya ingin
duduk di barisan depan agar dapat bertanya. Saking banyaknya warga yang datang
mushola Kyai Semar tidak dapat menampung warga yang bermalam.
Penduduk dusun Cemoro Jajar yang dikomandani Kang Birin dan Kang Warno
setelah ijin kepada Kyai Semar membuat dua pendopo yang dilengkapi beberapa
kamar mandi. Satu pendopo untuk jamaah laki-laki dan satu pendopo untuk jamaah
perempuan. Dua pendopo itu di buat sama besar lebih besar dari rumah Kyai Semar.
Yang membedakan, pendopo perempuan di buat agak tetutup. Semuanya di kerjakan
secara gotong royong di pekarangan rumah Kyai Semar yang luas itu. Sehingga
para jamaah dapat bermalam secara layak. Dan kelengkapan pendopo pun semakin
baik karena para jamaah yang menginap selalu menyisihkan uangnya untuk infaq,
padahal Kang Birin yang di anggap ketua jamaah tidak pernah minta. Entah siapa
yang memulai dan mengatur, di kedua pendopo itu ada baskom yang di lapisi kain
mirip surban tempat infak itu selalu penuh dengan uang.
Pengajian shubuh mushola Kyai Semar yang
dalam waktu singkat membludak itu juga membawa berkah bagi masyarkat sekitar.
Karena setiap malam jum’at sepanjang jalan menuju rumah Kyai Semar berjajar
orang menggelar dagangan mulai dari bermacam macam makanan sampai pakaian dan
kebutuhan lain. Inilah pasar malam pertama di desa itu atau mungkin di
kecamatan itu. Untung Kang Birin sudah mengantipasi dengan membuat aturan,
seratus meter kanan kiri dari rumah Kyai tidak boleh ada yang menggelar
dagangan.
Nama Kyai Semar semakin berkibar, nama
julukanya sebagai Semar telah menenggelamkan nama aslinya. Padahal di KTPnya
masih tertulis nama pemberian orang tuanya, Moehammad Jakfar. Entah siapa yang
memulai julukan itu, lagi pula dedeg pengadeknya jauh dari Semar tokoh
pewayangan gendut tambun dan lamban itu. Kyai Jakfar justru orang yang gagah
perkasa meskipun sudah lanjut usia kegagahannya masih nampak. Apalagi kalau
tersenyum membuat kawan atau lawan akan tergetar hatinya. Dan karena senyumnya
inilah barangkali yang membuat Kyai Jakfar berjuluk Kyai Semar Mesem dan
selanjutnya lebih di kenal dengan sebutan Kyai Semar.
Dan malam jumat ini 15 April 1982,
masyarakat yang datang tiga kali lipat dari biasanya sampai sampai pendopo dan
mushola tidak muat. Maklum besok Shubuh akan datang dalam pengajian Bupati dan
Ketua DPRD beserta rombongan. Meskipun demikian Kyai Semar melarang Kang Birin
untuk membuat persiapan khusus dengan membuat panggung di luar Mushola. Karena
menurut Kyai Semar Bupati dan rombongan memberitahukan melalui ajudannya
seminggu lalu akan datang mengaji. Bukan mengadakan acara khusus, bukan pula
karena tiga minggu lagi pemerintah akan menggelar PEMILU yang ke-4.
Justru yang kebakaran jenggot adalah Ki
Renggo, Lurah cemoro jajar. Bingung bukan main karena Sang Bupati akan datang
dan pak camat telah mengintruksikan agar dilayani dengan baik. Segala fasilitas
yang ditawarkan Ki Lurah kepada Kyai untuk menyambut Sang Bupati secara halus
ditolak oleh Kyai. Alasannya, Bupati telah menyatakan akan datang untuk mengaji
cecara pribadi. Jadi apa bedanya dengan yang lain yang juga akan mengaji.
Bukankah Bupati, Camat, Lurah, kepala dusun, RT, Hansip adalah jabatan? Tidak
ada Jabatan yang ngaji !
Menjelang
shubuh, suara iring-iringan mobil mengagetkan penduduk desa Cemoro Jajar.
Rombongan Bupati telah datang. Mobil-mobil mewah itu berhenti dua ratus meter
dari rumah Kyai Semar. Bupati tidak ingin menerjang kumpulan jamaah yang
membludak dan orang-orang yang menggelar dagangannya di kiri kanan sepanjang
jalan menuju rumah Kyai Semar.
Rombongan Bupati semuanya bersarung dan
berpeci, begitu pula para pengawal dan petugas keamanan dari Polsek dan Koramil
yang membuka jalan. Semuanya seperti santri. Hanya petugas keamanan yang datang
sejak sore tadi yang memakai seragam lengkap. Mereka berjalan mengiringi Sang Bupati
dan Ketua DPRD yang berjalan didepan. Banyak jamah yang menyerbu untuk
bersalaman tapi tiba-tiba ada suara dari corong yang di tangan pengawal
menghentikan langkah jamaah yang ingin bersalaman
“Mohon maaf bapak dan ibu serta sauadara,
tanpa mengurangi rasa hormat kepada para jamaah, mohon untuk tidak bersalaman
dengan Bapak Bupati dan rombongan agar beliau segera sampai ke mushola” Para
jamaah pun menepi memberi jalan kemudian serentak mengikuti menuju mushola.
Di teras mushola tampak Kyai, Mbah
Padlan, Ki Lurah, Pak Camat dan Pak Danramil sudah berdiri menyambut kedatangan
rombongan Bupati. Setelah saling bersalaman mereka masuk ke mushola mengikuti Kyai
dan membentuk shof. Beberapa anggota rombongan ada yang keluar karena lupa
belum wudlu atau wudlu yang dipersiapkan dari penginapan kota kecamatan telah
batal. Sedangkan rombongan Ibu-ibu yang mengiringi Bupati di terima oleh Bu
Nyai Semar di tempat yang berbeda di shof terdepan jamaah perempuan yang yang
letaknya dibelakang Shof paling belakang jamaah laki-laki di halaman Mushola.
Shubuh telah manjing. Rojak pembantu Kyai
yang bersuara merdu mengumandangkan adzan. Kini suaranya tambah merdu karena di
sambung corong dan beberapa speaker yang di pasang di luar mushola. Sejak
jamaah membludak Mushola Kyai di pasang pengeras suara lengkap dengan Accu yang
besar karena listrik belum masuk kampung Cemoro Jajar. Sound Sistem dan corong
speaker dengan kualitas terbaik itu atas bantuan salah seorang jamaah dari
sebelah desa yang tidak ingin disebut namanya. Suara Adzan Rojak mendayu dayu
menyentuh hati menegakkan bulu roma tetapi sekaligus membangkitkan ghiroh
siapapun yang mendengarnya.
Sholat Shubuh yang diimami Kyai Semar
dengan membaca surat Tabarok yang dibagi menjadi dua rakaat itu terdengar merdu
mengharu biru. Indah luar biasa hingga banyak jamaah yang meneteskan air mata
meski tidak tahu artinya. Lantunan ayat suci Al Qur’an yang di baca Kyai Semar
benar-benar menyentuh relung hati yang paling dalam. Setiap jamaah merasakan
damai yang tiada tara.
Selesai Sholat dan dzikir serta doa, Kyai
Semar menuju teras mushola yang sudah berdiri tegak mic batok . Jamaah
yang di dalam mushola yang tadi menghadap kiblat kini serentak berbalik arah
menghadap Kyai yang berdiri di teras mushola sehingga rombongan Bupati kini
berada paling belakang di dekat Imaman. Salah seorang ajudan berdiri untuk
membuat jalan agar Sang Bupati berada di teras dekat Kyai tetapi di cegah oleh Sang
Bupati. Ajudanpun duduk kembali.
Terdengar salam Kyai yang berwibawa yang
disambut oleh seluruh jamaah secara serempak menimbulkan suara gemuruh bagai
ombak sebelum pecah menabrak karang, lalu sejenak senyap. Disusul kemudian
dengan muqodimah yang pendek lalu sapaan Kyai kepada seluruh hadirin dengan
ucapan, “para jama’ah rahimakumullah” tidak ada sapaan penghormatan kepada Sang
Bupati maupun pejabat yang hadir di situ.
“Pada pengajian Shubuh kali ini, saya
hanya ingin menyampaikan... andaikan seratus tahun kita belajar dan seribu
kitab kita kumpulkan, adakah jaminan kita akan mulia di dunia dan mulia di
akhirat?” Kyai diam beberapa detik memberikan waktu kepada jamaah untuk
berpikir. Sejenak sepi lenggang meskipun di benak masing-masing bagaikan ada
perang.
“Baiklah, sebagaimana biasanya pengajian
kita tiap shubuh siapa di antara para jamaah yang ingin memberikan tanggapan
atau menyampaikan uneg-uneg dan pertanyaan?” kata Kyai sambil melayangkan
pandangan kepada seluruh jamaah. Kalau biasanya jamaah rebutan mengacungkan
tangan. Kini tak seorang pun ada yang berani mengacungkan tangan. Kyai Semar
mengulangi mempersilahkan tapi seluruh jamaah tambah menunduk menyembunyikan
muka. Jelas tidak ada yang bernyali karena Sang Bupati dan Para Pejabat.
“Ijinkan saya bertanya Kyai,...”
tiba-tiba ada suara dari belakang Kyai dan berdiri orang yang berada di paling belakang
di depan Imaman, Sang Bupati. Kyai pun segera menoleh dan mempersilahkan.
“Silahkan Pak Hadi, silahkan kemari agar
dapat didengar oleh seluruh jamaah “ Kyai memanggil namanya bukan jabatannya. Sang
Bupati pun menuju ke teras mushola dan berdiri di samping Kyai di depan mic
batok yang tegak berdiri. Dan begitu Kyai hendak duduk, Sang Bupati berkata,
“Ijinkan Kyai berdiri mendampingi saya,
atau saya duduk bersama Kyai”
Kyai Semar pun berdiri lagi di samping Sang
Bupati satu langkah agak di belakang.
“Terima kasih Kyai”
“Silahkan” jawab Kyai
“Maaf Kyai, kalau ilmu tidak membuat
orang mulia, apa gunanya didirikan sekolah dan madrasah hingga perguruan
tinggi, dan apa perlunya diadakan majlis-majlis taklim dan pengajian seperti
pengajian shubuh saat ini, maaf, bukankah para jamaah yang datang
berbondong-bondong ini dan saya yang datang kemari karena kemulayaan Kyai yang
disebabkan oleh ilmu Kyai? Lalu bagaimanakah Kyai bisa mengingkari ilmu tidak
dapat membuat orang menjadi mulia, maaf dan mohon bimbingan atas kebodohan saya
Kyai, terima kasih, ijinkan saya kembali ketempat, Kyai” Bupati meninggalkan
teras dan kembali ke tempat semula.
Sejenak seperti ada suara ribuan lebah dari
para jamaah yang bergumam karena kagum. Mereka memuji pertanyaan Sang Bupati,
terlebih sopan santunnya terhadap Kyai, tidak menampakkan seorang Bupati tetapi
seorang jamaah yang sama-sama mengaji. Secara langsung citra Sang Bupati di
depan rakyat naik tinggi. Kalau ini tujuan tujuannya, tercapailah sudah maksud
sang Bupati, menaikkan citranya.
Kyai kembali mendekati mic agar suaranya
dapat didengar jelas oleh hadirin. Denganpenuh wibawa Kyai menjawab pertanyaan
Sang Bupati,
“Saya tidak menyangkal maksud Pak Hadi
menyampaikan betapa pentingnya belajar dan mencari ilmu. Sedikitpun saya tidak
menyangkal.... Sesungguhnya Nabi Kita Muhammad Sholallahu alaihi wasallama
adalah orang yang paling mulia. Bahkan gelar sebagai pengakuan masyarakat atas
kemuliaannya telah disandang jauh sebelum menjadi nabi dan Rasul, gelar Al
amin, setahuku tiada seorangpun yang
pernah ada di bumi ini menyandangnya selain beliau yang mulia. Apa yang
menyebabkan beliau memperoleh gelar yang begitu mulia? Apakah lantaran beliau
dari golongan cerdik cendekia? Orang yang berilmu tinggi menguasai banyak
kitab?.... Padahal kita tahu sejarah mencatat, beliau adalah orang yang tidak
bisa baca tulis !... Para jamaah sekalian, kita dapat belajar dari kenyataan ini,
bahwa lelakulah, perbuatan atau yang disebut akhlakul karimahlah yang
menyebabkan orang menjadi mulia. Ilmu adalah menuntun, ilmu adalah cahaya. maka
celaka dan paling celakalah orang yang berilmu tapi menyesatkan dirinya dan
membiarkan dirinya berkubang dalam kotor dan gelap. Innamaa bu’istu liutammima
makarimal akhlak”
0 komentar:
Posting Komentar