TIADA BAHTERA TANPA MENEMUI OMBAK DAN BADAI
oleh : Ifan Nawawi
Kyai Semar Bodronoyo hanya diam, sekali-kali mengangangguken kepalanya mendegarkan
Tunggadewi mantan santriwatinya yang kini sudah berumah tangga curhat sambil
sesenggukan bersimpuh di depanya. Nila Kusuma yang duduk di sampingnya mngelus-elus
kepala teman karibnya dengan air mata meleleh
pula dipipinya.
"Terima kasih Kyai, rasanya sekarang beban berat di hati saya agak berkurang...
Mohon bimbingan dan doanya Kyai.." Kata tunggadewi
"Tidak mngapa engkau menangis anakku, itulah gunanya air mata, semoga
beprsama titik yang jatuh berkurang pula bebanmu, semga begitu pula org yang mnangis
karena menyesali kesalahan dan dosanya.. Bersyukurlah engkau masih bisa menangis,
itu pertanda hatimu masih lembut dan penuh kasih sayang. Kalau engkau merasa
lega dengan menangis di depanku pastilah engkau akan merasa lebih nyaman lagi jika
mnangis dan mengadu di depan Tuhanmu,
"Tapi Kyai, bagaimana dg suamilku yang..."
"Jangan anakku, aku tidak ingin mendengarnya, lagi pula sebagai isteri engkau
adalah pakainya maka engkau harus jadi penutup segala ai
b dan kekuranganya.
Minta dulu pada Allah, pasti aakn diberi petunjuk, jika tidak ada perubahan dan
merasa didholimi datanglah seminggu lagi bersama ayahmu, mudah mudahan ada
jalan terbaik.. Sekarang pulanglah dan tetap jalankan kewajibanmu sebagai
isteri yang baik, ingatlah anakku tiada bahtera yang tak menemui ombak dan
badai…..”
0 komentar:
Posting Komentar